Kamis, 05 September 2019

KAMISPUISI :Teruntuk, Renjana.

hujan tiba tanpa doa-doa,
menyusuri jejak rasa dalam telaga,
memeluk hangat membungkam semesta,
hanya sementara

rasakan renjanaku yang memberontak,
mengkoyak-koyak,
teriak-teriak,
rasakan renajanaku yang terbawa ombak,
memeluk riak,
membungkam kerak,

bila di sana hujan mulai reda,
jangan berdoa pada Dia,
sebab takdir semesta telah berbeda.
rasa kita ada, tapi kita tiada.

5sep19

Note:

terimakasih untuk Af, sebuah kata untuk menambah kosa kata :)

Sabtu, 29 Juni 2019

Puan, Senja adalah kamu.

tak ada kata, tak ada sua, tak ada upaya
sebuah sapa, sebuah suara, sebuah cara
jarak terdekat yang tercipta seakan lenyap
jarak terintim yang mencandu seakan berlalu

bukan tanpa alasan aku dan kamu menjadi asing
bukan tanpa harapan, aku dan kamu membuang doa lampau
kita tidak lagi menjadi bagian yang saling mengindahkan
kita tidak lagi menjadi bagian yang saling mendoakan

tempat itu, cerita kita, kamu timbun sepenuhnya bersama dia
tak lagi kamu sisahkan
layaknya api yang membakar habis
layaknya angin yang melenyapkan
layaknya hujan yang menenggelamkan
layaknya mentari yang menguapkan

semua salahku,
rindu yang selalu kusembunyikan,
kebencian yang selalu kuciptakan,
kesempatan yang telah kusiakan,
adalah benar jika, meninggalkan menjadi sebuah pilihan
keputusanmu padaku.

aku adalah pengecut dengan semua salah
aku adalah pengecut yang tak berani,
mengirim kata,
mengumbar sua,
mencipta upaya,

kamu adalah senja, yang kubungkus dalam teduhnya hujan, didampingi kopi yang selalu membuatku jatuh cinta.

aku menyayangimu, selalu
dalam hati, pikiran, doa dan masa lalu.

18 Juni 2019

Kamis, 25 Oktober 2018

#KAMISAN SEASON 4 : SO4E03 - RAWON

"Ibu aku mau makan ini dong." 

Seorang anak kecil berlari menghampiri perempuan yang dipanggilnya ibu. Menyodorkan selembar kertas bergambar makanan lengkap dengan judul makanan dan cara membuatnya. 

Perempuan yang dipanggilnya ibu, mengambil kertas dari tangan anak kecil tersebut. Gambar itu diamatinya. Air mengalir dari matanya, tiada suara isak terdengar. Adalah bukti dari usaha keras sang ibu, tidak ingin ada yang mengetahui bahwa ada tangis yang terjadi.

"Ibu bisa 'kan bikinin aku makanan itu ?" tanya anak kecil itu kembali. 

Tiada jawaban dari pertanyaan itu, hanya sebuah pelukan begitu erat yang bisa dilakukan perempuan itu kepada anak kecil dihadapannya.


******

"Ibu, jika aku menjadi anak baik. Apakah ibu mau membuatkan aku makanan ini ?" Suatu hari anak kecil itu membawa lagi sebuah gambar dan menyerahkan pada ibunya.

Gambar itu diambilnya dari tangan anaknya, gambar sama yang diberikan sang anak beberapa hari yang lalu. Gambar itu di simpannya lagi di dalam bajunya. 

"Semoga saja ya nak' begitulah doanya ketika memeluk anaknya.


******

Sore itu mendung sedang mendominasi. Hujan datang perlaham dan kemudian menjadi semakin deras. Dari kejauhan seorang perempuan berlari menghampiri anak kecil dengan sebuah bungkusan berplastik hitam.

Sang anak terlihat riang menerima pemberian plastik hitam itu dari ibunya. Sang anak menebak, plastik yang dibawakan ibunya adalah berisi makanan. Makanan yang bercampur dengan kuah.

Ibu pergi dan datang kembali membawakan sebuah wadah berbahan plastik. Diambilnya bungkusan plastik dari tangan sang anak. Dibukanya bungkusan itu. Sebuah aroma menyerbak ke udara. Aroma kaldu yang begitu kental bercampur dengan bau kecambah berdesakan di depan hidung untuk minta dihirup sedalam-dalamnya. 

Aroma itu membuat sang anak menghampiri ibunya. Dia melihat makanan apakah itu yang harumnya begitu memenuhi penciumannya. 

Sang anak memerhatikan makanan itu dengan teliti. Meski tidak sama seperti gambar yang sering kali ia berikan ke pada ibunya beberapa hari kemarin. Anak itu menyadari bahwa yang dibawakan ibunya adalah rawon. Sebuah makanan yang begitu ingin di makannya. Makanan yang belum pernah dimakannya dan ia begitu penasaran seperti apa rasanya.

Dia memakan makanan itu dengan lahap. Anak itu tidak bertanya dan tidak memperdulikan dari manakah ibunya mendapatkan makanan enak tersebut. Anak itu merasa bahwa hari ini adalah hari paling bahagia yang pernah dia rasakan sepanjang seluruh hidup yang di lewatinya. 

"Terima kasih ibu." 

Anak kecil itu memeluk ibunya. Sang ibu hanya mampu tersenyum sambil mengusap-usap kepala anaknya.

********

Perempuan bisu ditemukan tewas tidak jauh dari Kedai Rawon Bang Krut. Berdasarkan saksi penyebab tewasnya karena dipukuli oleh warga sekitar. Berawal dari pemilik kedai yang berteriak 'maling', warga yang mendengar keributan tersebut pun ikut mengadili masal. Masih diselidiki oleh pihak kepolisian terkait pengeroyokan tersebut. 



25 Oktober 2018


Kamis, 04 Oktober 2018

#KAMISAN SEASON 4 : S04E02 - GALAU

Pic @jimmykhoo
Mengapa kopi menjadi candu?

Awalnya dia hanya kujadikan alasan melarikan diri darimu. Dia hanya jadi alasanku pada pengharapan pertemuan denganmu yang berakhir menjadi ruang kosong.

Mengapa kopi menjadi candu?
Ketika awalnya aku tak bisa merasakan nikmatnya, ketika awalnya aku hanya menikmati efeknya-terjaga semalam suntuk-. Setiap malam telah kutandaskan bergelas-gelas media kafein itu, bayangmu tak terbenam dan kian melekat.

I’m jealous of the rain
That falls upon your skin
Its closer than my hand have been
Owh I’m jealous of the rain

Awalnya aku ingin menghilang dari hidupmu, tepat ketika terakhir pertemuan di acara pernikahanmu. Sebuah pesta pernikahan sederhana. Taman yang beralaskan rumput hijau yang nyaman, beratapkan langit yang biru teduh. Berhiaskan bunga anggrek kesukaanmu pada latar pelaminanmu dan jua dinding ditiap sudut. Tak lupa lagu Perfect – Ed Sharon menjadi pengiring kemeriahaan kebahagianmu. Sebuah rangkaian sempurna yang sering kamu ceritakan padaku, ketika kamu akan menikah nanti. Dulu, betapa ingin sekali aku mewujudkannya. Aku selalu berharap, akulah yang ada dipelaminan itu bersamamu. Aku selelu berharap, akulah yang bisa membahagiakanmu tidak ada yang lainnya.

Dalam hati yang sakit, pikiran yang tak berfokus aku berdoa pada alam. Berharap gerimis itu tiba pada bahagiamu. Bukan sebagai gerimis yang romantis, tapi sebagai penanda bahwa ada yang terluka pada hari bahagiamu.

I’m jealous of the wind
That ripples throught your clothes
Its closer than your shadow
I’m jealous of the wind

Hari dimana aku mendapat kabar akan pernikahanmu. Aku berkhayal haruskah kugagalkan. Mungkin aku akan berlari menghadangmu sebelum kamu menuju ke altar, sebelum kamu di genggam oleh kekasihmu. Aku akan menarikmu, membawamu mendekap dalam pelukanku. Lalu aku berkata, bahwa selama ini ada yang memerhatikanmu lebih dari sekedar teman, ada yang menyayangimu lebih besar dari rasa sayang kekasihmu. Aku mohon padamu, jangan menikahinya.

Berulang kali aku memikirkan banyak cara untuk menggagalkannya. Akhirnya aku menyerah, aku mencoba tidak egois. Aku ingin lebih memikirkan perasaanmu. Bukankah kamu yang telah memilihnya, kamu yang sudah menjalani hubungan bersamanya selama dua tahun terakhir ini. Sedikitnya pembicaraan tentangnya saat bersamaku, kadang membuatku berfikir bahwa rasa yang aku miliki mungkin tidak hadir sendiri. Bahwa mungkin rasa yang aku miliki satu frekuensi dengan rasa yang kamu miliki. Nyatanya aku telah salah, semua pengharapan-pengharapanku tertepis. Saat kabar bahagia itu kamu utarakan, kabar yang menjadikan nyata bahwa rasa yang kumiliki telah pupus.

Berkali-kali aku membayangkan bersama siapakah, aku harus datang menghadirinya. Aku sering berkhayal, akan datang pada acaramu dengan menggandeng mesra seorang wanita. Seorang wanita yang kuharap dapat membuatmu cemburu ketika melihatnya. Aku berikan senyum terbaikku pada saat mengucapkan selamat padamu. Lalu aku akan berkata pada kekasihmu ‘tolong jaga dia dan buat dia bahagia’.

Atau aku tidak akan datang ke acaramu. Dengan alasan berpura-pura lupa atau sedang menghadiri acara lain yang kebetulan waktunya bersamaan. Atau dengan alasan aku sibuk pada pekerjaanku yang membuatku tidak memiliki waktu untuk dapat hadir dipernikahanmu. Bukankah itu cara-cara balas dendam yang normal. Cara membalas rasa kesal ketika mendapat kabar, perihal pernikahan seseorang yang sangat disayang.

Banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang aku bayangkan, tanpa sadar aku telah menyakiti diriku sendiri. Aku telah mengoyak-ngoyak perasaanku sendiri. Adakah yang lebih bodoh dari ini ?

I wished you the best of
All this world could give
And I told you when you left me
There's nothing to forgive

Dulu, bagiku kopi hanya pelampiasanku pada rasa tertekan yang menyesakkan, pada rasa kesal yang sulit kuredakan. Kopi hitam yang saat ini aku konsumsi, sesungguhnya tidak cocok padaku. Tidak hanya membuatku berdebar-debar tidak karuan, tapi juga membuat pencernaanku terganggu. Biasanya aku lebih memilih kopi jenis cappucino untuk menghilangkan suntuk-suntuk perihal pekerjaan yang kadang menyebalkan. Ketika pekerjaan membuatku sangat tertekan aku akan lari ke kopi hitam kemasan dan itupun akan sangat jarang sekali terjadi. Dan aku tidak pernah bisa menghabiskannya.

Sejak kabar pernikahanmu datang, aku tidak lagi merasa cocok dengan kopi kemasan termasuk kopi hitamnya. Kopi kemasan yang semula sedikit pahit mendadak rasanya jadi terasa begitu manis. Bahkan terlalu manis. Aku beralih ke kopi bubuk yang kuracik sendiri takaran kopi dan gulanya. Kuseduh dengan caraku, air untuk menyeduhnya kubiarkan mendidih selama lima menit.

Caraku mengkonsumsi kopi telah berbeda. Dulu aku pernah berkata padamu, aku begitu tidak bersahabat dengan kopi terlebih lagi dengan kopi hitam. Bersamamu aku lebih menyukai senja dan hujan. Namun sejak hujan dan senja tidak lagi memihakku untuk hadir diacara pernikahanmu. Aku memilih untuk melepasnya, kemudian berteman dengan kopi dan bintang. Kini setiap pagi kujadikan kopi hitam temanku untuk menantang hari dan penyemangat diri bahwa pahitnya kopi telah memelukku demikian erat pada rasaku padamu yang melekat. Dan bintang menjadi sahabatku kala kenangan-kenangan bersamamu merampok sisa-sisa kesadaranku.

But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Heartbreak and misery
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
You're happy without me

Tiba saatnya hari pernikahanmu, aku tidak bisa memuat alasan untuk tidak menghadirinya meskipun aku memilikinya. Hari pernikahanmu sebenarnya sama dengan acara pernikahan temanku diluar kota. Bukankah itu alasan yang sangat bagus untukku, sebuah acara diluar kota sehingga aku tidak harus datang ke acaramu. Bodohnya aku tidak melakukannya, aku lebih memilih untuk hadir di acara yang melukaiku. Acara yang beberapa minggu lalu terus menerus datang ditiap malamku, membayangkan hal-hal seperti apa yang akan kulakukan untuk menggagalkannya.

Rencana-rencana yang awalnya aku pikirkan. Salah satunya itu hadir bersama wanita yang akan kugandeng dengan mesra. Seseorang yang kuharap kehadirannya bisa membuat api cemburu padamu, berharap pula bahwa pilihanmu menikah dengannya adalah salah. Lihatlah, aku datang seorang diri. Aku tidak membawanya bukan karena tidak ada. Aku tidak tahu mengapa aku tidak jadi melakukannya. Aku sendiri pun tidak mengerti alasannya, termasuk rencana mengatakan pada kekasihmu untuk berjanji membahagiakanmu dan menjagamu. Semua terasa kelu. Rencana-rencana itu luntur tanpa tindakan.

Ada rasa perih-perih di hatiku melihat tawamu,  mendengar ucapan terima kasihmu pada tamu yang hadir menyalamimu. Tiba saatnya ketika aku berjalan menuju pelaminan, haruskah aku memelukmu dan berucap selamat. Atau haruskah aku menepuk pundak kekasihmu dan berkata sesuai sekenario yang kupikirkan yakni berkata untuk menjaga dan membahagiakanmu. Lamat-lamat aku berfikir seperti orang bodoh saja bila mengucapkannya. Bukankah itu memang sudah menjadi kewajibannya untuk membahagiakan dan menjagamu.

Aku menyalami orang tuamu, aku mengucapkan selamat. Ibumu mengucapkan terima kasih atas kedatanganku. Memelukku dengan begitu erat dan berbisik, “lekas menyusul ya”. Aku tersenyum palsu untuk tidak mengecewakan hati ibumu.

Andai saja aku bisa berkata, tante andai bisa aku ingin menikahi putrimu. Lidah ini kelu, aku terlalu pengecut.  Jalan selangkah lagi, aku menyalamimu. Mengucapkan selamat, entah selamat untuk apa. Selamat untuk kebahagiaanmu ataukah selamat untuk rasaku yang pupus. Saat tangan ini menggenggam tanganmu, kamu menarik tubuhku, memelukku dan berbisik. “jangan pulang, kita foto dulu untuk kenang-kenangan”. Tidak ada senyuman, tidak ada kata-kata meluncur pada bibir ini. Hanya seuntas senyum dipaksakan yang bisa kupersembahkan.

Foto bersama katamu, untuk kenang-kenangan katamu. Haruskah luka ini kukenang. Aku ingin pulang secepatnya. Aku ingin meninggalkan segera tempat terkutuk ini. Masih adakah alasanku untuk bertahan. Aku tidak tahu harus menyebut diriku sendiri ini sebagai orang bodoh, tolol atau dungukah. Saat aku memutuskan untuk berdiri disampingnya dan mengabadikan moment itu menjadi sebuah gambar bersama dengan kekasihnya.

I'm jealous of the nights
That I don't spend with you
I'm wondering who you lay next to
Oh, I'm jealous of the nights
I'm jealous of the love
Love that was in here
Gone for someone else to share
Oh, I'm jealous of the love

Katanya jika kita mencintai seseorang, cintailah ia habis-habisan meski kadang yang kita lakukan justru melukai kita. Karena dengan cara begitu akan lahir keikhlasan. Rasa - rasa yang tidak lagi tersisa dan akan tiba waktunya  memutuskan untuk melepasnya. Telah kulakukan cara tersebut, namun rasa ini tidak pernah tandas dan selalu tersisa yang menyebabkannya selalu bertambah. Rasa itu memang tidak bisa dipaksa, tapi rasa juga tak bisa dilenyapkan semudah seperti yang dikatakan oleh teori.

Adakah yang lebih candu selain merindumu, meski kutahu bahwa semua rasamu tak pernah tersaji untukku dan tak pernah tercipta untukku. Adakah yang lebih menyiksa selain membiarkan rasa ini selalu tumbuh meski sering kali kubunuh. Sudah beberapa bulan sejak hari pernikahanmu kuhadiri, sejak beberapa bulan itu pula aku terus menghindarimu mencoba melenyapkan rasa-rasa yang pernah kusiram dengan begitu subur.

Kuberlari kesana dan kemari, menyibukkan diri dengan segala hal yang bukan tentangmu. Begitulah kamu yang menjadi candu, semakin kupergi untuk menjauh semakin pula rindu-rindu ini mencak-mencak untuk mengintip kabarmu. Hingga pelarian darimu pun gagal kulakukan, aku kembali memeluk kenangan bersamamu dalam sepi bersama kopi hitam yang pekat.

Aku melihat-lihat foto-foto kenang-kenangan tentang kita, aku merasa waktu begitu singkat untuk kita. Menghabiskan waktu bersama, saling bertukar cerita tanpa celah hingga yang tersisa hanyalah tawa-tawa. Tidak ada temu yang tercipta pada hari terakhir dipelaminan itu, tidak kamu juapun aku untuk berinisiatif menawarkan ajakan jumpa. Seolah masing-masing kita telah menarik diri dan menciptakan tembok yang bernama orang asing.

As I sink in the sand
Watch you slip through my hands
Oh, as I die here another day, yeah
'Cause all I do is cry behind this smile

Mungkinkah ini cara terbaik sebagai langkah awal untuk saling melupakan. Mungkinkah ini pula langkah tepat untuk tidak lagi menciptakan rasa-rasa yang seharusnya terlarang. Aku tidak tahu dan sungguh aku tidak mengerti, hingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap menjalaninya saja. Menjalani sisa-sisa rasa yang masih saja sulit untuk ditenggelamkan.

Sudah tiga tahun berlalu sejak hari sialan itu, hari terakhir aku bertemu denganmu. Kopi dan bintang masih menjadi teman setiaku. Tak pernah kulepaskan diriku tanpa seharipun untuk menyesap kopi hitam. Termasuk hari ini saat aku sedang duduk menikmati pemandangan gunung Gede yang menjulang dengan cantiknya. Berhiaskan cahaya lampu-lampu yang terpancar dari rumah-rumah yang bermukin ditubuhnya. 

Malam ini aku sendiri menikmatinya. Tempat dimana, dulu aku menghabiskan banyak cerita bersamamu. Sungguh malang diriku yang masih saja bermain-main pada kenangan yang tak bisa kulupakan. Setiap kali bereuforia dengan perasaan itu, aku hanya bisa tersenyum kecut sambil memandang bintang buatan dimuka bumi. Aku telah mencintamu begitu banyak hingga tak ada lagi yang tersisa untukku, untuk mencintai diriku sendiri.

Lamunan-lamunanku terhenti ketika lenganku tersentuh oleh seseorang. Seorang anak kecil yang jatuh disampingku. Dia sedang bermain sambil berlari dan tidak sengaja menabrak di tempatku sedang duduk. Aku dengan spontan menghentikan lamunanku dan membantu membangunkan anak tersebut. Tidak seperti anak kebanyakan yang menangis ketika terjatuh. Anak ini sungguh kuat dia hanya tersenyum lalu mengucapkan permintaan maaf padaku.

Otomatis senyumku mengembang, tersenyum padanya dengan tingkahnya. Aku membantu mengusap lututnya yang mungkin saja kotor dan mengelus rambutnya seraya berkata, “tidak apa-apa lain kali hati-hati ya”. Tidak lama ada suara yang hadir memanggilnya. Anak tersebut langsung berlari menuju suara itu berasal. Aku merasa familiar dengan suara ini, suara yang mungkin begitu lama aku rindukan. Aku memberanikan diri untuk membalikkan tubuhku.

Seperti adegan dalam sebuah film, pertemuan yang tidak terduga dengan seseorang yang baru saja aku kenang. Aku memandangnya dengan begitu lekat, kerinduan yang hanya bisa aku tunjukkan pada mata ini. Adakah kamu juga merasakannya, merasakan rindu yang begitu lama terbenam. Kamu tersenyum, ah sebuah senyum yang selalu kurindui. Kamu bertanya akan kabarku, sebuah basa basi yang biasa dilakukan oleh dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Tidak luput diriku jua menanyakan perihal yang sama. Sebuah basa basi busuk yang menurutku telah meruntuhkan seluruh kerinduan yang selama ini kubendung. Aku bertanya padamu apakah dia anakmu, kamu mengangguk, sebuah jawaban tanpa kata.

Kamu memanggil anakmu untuk menghampiriku, memintanya untuk memperkenalkan diri. Anak itu menyebutkan sebuah nama yang membuatku tertegun. Nama yang sama denganku. Aku terkejut mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-petanyaan dalam kepalaku. Aku memandangi anak kecil itu dan kamu. Namun jawaban itu masih menimbulkan kebingungan yang belum kupahami. Tanpa memberikanku sebuah penjelasan, kamu berpamitan padaku. Meninggalkanku yang masih dalam kebingungan pada peristiwa yang baru saja terjadi.

Anak kecil itu berlari menghampiriku kembali, meninggalkan ibunya. “Tante lain kali main sama aku ya.”

Sebuah kertas diberikannya padaku, katanya dari ibunya. Dia tersenyum dan meninggalkanku sambil melambaikan tangannya. Sebuah senyum riang yang tak bisa kulupakan. Aku membuka lipatan kertas yang diberikannya.

Tidak ada yang setuju pada sebuah rasa yang tercipta diantara kita. Tidak mereka, tidak jua Tuhan. Kita hanya bisa membenamkan rasa itu pada doa. Doa yang menjadikan dirimu dan diriku bersatu.  

 Song : Labrinth - Jealous
04 Oktober 2018

Kamis, 27 September 2018

#KAMISAN SEASON 4 : SO4E01 - SEPEDA



Aku menunggunya, selalu menunggu pengendara sepeda tua. Sepeda tua dengan merk Fongers, yang kurasa sepeda tersebut merupakan barang tiruan. Mengapa aku bisa berkata seperti itu, karena terlihat dari ukiran atau lambang emblemnya yang terdapat tempelan lambang sepeda aslinya.

Pengendara sepeda itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dengan pundak bidang serta otot-ototnya yang terlihat pada lengan dengan kaos yang membelit tubuhnya. Wajah yang tirus dengan sedikit bulu pada bawah hidungnya, mata yang terlihat mengantuk dan hal yang paling selalu kurasa adalah sedikit aroma tembakau datang pada  pagi saat pertama kali kedatangannya. Senyum khas yang tidak terlalu manis selalu menjadi awal sapaan ketika bertemu denganku.

Kehadirannya memberikanku sepotong roti adalah salah satu keajaiban yang hadir dalam hidupku. Makanan yang diberikannya menjadi penyemangatku untuk bertahan hidup dan selalu menantikan kehadirannya. Kedatangannya dengan roti itu membuatku tidak perlu repot-repot mangais-gais tempat sampah, tempat yang membuatku berharap ada orang baik yang sengaja kenyang terlebih dahulu sebelum makanan yang dibelinya habis dilahap.

Kadang ada satu waktu dia datang membawakan nasi, meski itu jarang sekali terjadi. Sebungkus nasi dengan lauk sederhana seperti tahu tempe sambal sayur oyong. Makanan itu dia bagi berdua denganku. Meski aku tahu masih ada rasa lapar pada dirinya dan aku pun tahu bahwa aku tidak menyukai nasi, namun aku pun tetap malahapnya. Karena kebaikan hatinya begitu terasa dalam tiap makanan yang kumakan.

Kadang ada satu waktu pula dia datang dengan sebuah cerita dan sebungkus permen, permen dengan rasa yang terlalu manis buatku, yang kadang rasanya membuatku mual. Namun kupaksa memakannya semata-mata karena aku tak ingin dirinya kecewa bila pemberiannya aku abaikan. Pada beberapa waktu ketika ada orang lain yang lewat dihadapanku atau ketika aku melihat ada orang lain yang membuang bungkus permen yang serupa. Aku mencuri dengar, dan aku mengetahui bahwa permen yang dia berikan adalah permen yang cukup mahal. Sesungguhnya aku ingin kamu tidak perlu repot-repot memberiku permen yang sangat keterlaluan manisnya itu. Sayang sekali bila uangnya dipakai hanya untuk membeli permen yang banyaknya tidak seberapa itu.

Kadang disuatu waktu dia datang tanpa makanan, dia hanya menceritakan sebuah kisah yang membuatknya tertawa-tawa. Tentang betapa bodohnya ia ketika teman-temannya mengucapkan ayam kentucky namun dia mendengarnya kentang hati. Atau sebuah cerita ketika dia begitu semangat membuat mie kemasan, namun saat air sudah dituangkan ternyata air dispensernya tidak panas. Sesungguhnya aku tidak mengerti cerita-ceritanya, yang aku mengerti adalah ketika dia tertawa disitu terlihat begitu bahagianya dan aku pun ikut bahagia. Aku baru sadar ternyata bahagia itu menular.

Hari itu tidak seperti biasanya, langit tidak memaparkan sinarnya dengan terik. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya, tidak seperti biasanya. Selama apapun dia pergi tidak pernah selama ini. Andai dia tahu ada rindu yang tiada lagi dapat kubendung. Aku selalu berdoa pada Tuhan, semoga dia tidak ada apa-apa. Sayang doaku pada Tuhan tidak dikabulkan-Nya. Dia datang menjawab rinduku, tapi Tuhan tidak menjawab doaku. Aku melihatnya dari jauh, suara khas bell nya terekam jelas dalam ingatanku. Aku berlari memutar menyambut dengan riang kedatangannya. Semakin mendekat aku merasa aura kehadirannya begitu suram.  Tanpa makanan dan tanpa cerita, dia datang dengan suara isak tangisnya. Tangis yang begitu memilukan, dia memandangku dengan begitu iba, seolah aku menjadi hal yang perlu dikasiani. Padahal aku tidak perlu dikasiani, karena aku tidak merasakan kesedihan sekalipun, aku hidup sendirian. Cukup lama dia menangis, belum sempat aku bertindak untuk menghibur, dia telah melenggang pergi tanpa aku mengerti sakit seperti apa yang dirasanya dengan tangis yang begitu perih.

Itulah terakhir kali aku melihatnya, esoknya, lusanya dan hari-hari selanjutnya terlalui tanpa aku melihat lagi kehadirannya. Aku mencarinya kesetiap sudut yang kurasa dia berada, namun enggan aku lakukan. Aku takut ketika aku pergi dia datang mencariku. Aku bertanya pada setiap pengendara sepeda yang lewat hanya untuk sekedar tahu tentang kabarnya, namun pertanyaanku tidak ada yang menggubrisnya. Aku tidak memperdulikannya, aku tetap bertanya meskipun hasilnya nihil.

Setiap aku melihat sepeda sejenis Fongers, aku mengira itu dirinya. Saat melewatiku dan tidak berhenti dihadapanku aku mengejarnya, berteriak berharap yang mengendarai sepeda itu menoleh dan itu adalah dia. Atau juga ketika ada pengendara sepeda dengan postur yang mirip tubuhnya aku pun mengejarnya meski sepeda yang dikendarainya berbeda. Aku salah semua pengendara sepeda itu bukan dia

******

Siang yang menyebalkan, pagi yang mengesalkan. Semoga sore nanti tidak menjadi menyeramkan. Hari ini sepertinya tidak ada yang menyenangkan, pagi ini pekerjaan yang sudah kuselesaikan dengan terjaga semalaman. Rasanya menjadi sia-sia karena tidak sengaja tersenggol oleh anak-anak yang lewat di depan tempat tinggalku. Ingin marah, namun kumerasa menjadi hal yang sia-sia. Apakah dengan marah bisa mengembalikan sesuatu seperti belum terjadi apa-apa. Tidak ada yang seperti itu didunia ini.

Ku redakan amarahku dengan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kurapihkan kembali tugas yang menjadi kacau balau ini. Tinggal kupasrahkan saja untuk siap-siap mengulang tahun depan. Aku belajar bahwa melampiaskan amarah pada mereka yang tidak mengetahui kesalahan mereka, atau marah pada mereka yang tidak sengaja menyenggol hal tersentitif dalam diri kita. Itu adalah hal yang sia-sia selain bisa menyakiti perasaan orang lain namun bisa juga menjadi beban pikiran untuk diri sendiri.

Setelah merapihkan tugas kampusku. Aku bersiap-siap untuk menuju kampus memberitahukan dosenku bahwa tugas yang diperintahkannya tidak jadi kubuat. Meski aku tahu bahwa untuk menginfokan sesuatu di jaman sekarang ini begitu mudah, Tinggal menekan angka-angka pada ponsel dan terhubunglah dengan orang yang ingin kita ajak bicara. Itu memang perihal mudah, namun aku berprinsip untuk sesuatu hal yang sangat penting, harus dikatakan dengan bertatap muka, yakni membicarakannya secara langsung.

Aku adalah mahasiswa tingkat dua, yang kadang bekerja sampingan sebagai pekerja harian di sebuah kafe. Aku gemar bersepeda, meski sekarang yang bersepeda dilakukan oleh orang-orang yang memfokuskan untuk olah raga, bagiku tidak. Pergi ke kampus, pergi ketempat kerja, berkendara sepeda menjadi kendaraan andalanku. Bukannya aku merasa hebat atau sedang mengikuti kebiasaan terkini atau apapun itu, tapi lebih karena jarak antara kos, kampus dan tempat kerja yang tidak begitu jauh, Bukankah juga lumayan untuk menghemat pengeluaran.

Sepeda yang kumiliki adalah sepeda dengan merek Fongers, sebagian orang yang mendengarnya pasti merasa takjub karena pada jamannya merek tersebut cukup terkenal. Meski begitu, sayangnya Fongers yang aku punya imitasi alias hanya tiruan. Mengapa aku mempertahankan sepeda yang usianya melebihi usiaku, bukan karena aku menyukai barang antik, bukan pula karena aku tidak mampu untuk membeli sepeda yang lebih baru. Aku mempertahankannya karena hanya itulah satu-satunya peninggalan ibuku, satu-satunya kenangan yang masih kupertahankan untuk mengenang segala hal tentangnya.

Aku tidak pernah mengingat dengan jelas bagaimana rupanya, tidak ada satu fotopun yang menyimpan wajahnya, Dalam kenangan yang kumiliki hanyalah punggungnya yang masih kuingat. Kala pagi itu aku dan ibuku berkendara ke pasar untuk membeli makanan yang akan dimasaknya. Waktu itu aku masih balita, kerusuhan tahun 1997 membuatku kehilangannya hampir segalanya, keluarga maupun tempat tinggal. Hanya tersisa sepeda ini yang ketika terjadi sepeda itu tengah dipinjam oleh paman.

Seperti biasa pagi ini aku mengayuh sepeda kesayanganku. Menikmati semilir angin, berharap dapat meluruhkan kekesalan yang sempat mampir. Seketika rasanya seperti hari itu, hari dimana aku bersama ibuku mengendarai sepeda keliling kota atau hanya sekedar pergi kepasar. Udara ini, sinar matahari ini membangkitkan euforia yang lama kusimpan.

Di pagi yang sama, di sudut taman aku pertama kali bertemu dengannya. Seekor kucing bermata hijau, dia menghampiriku yang sedang makan sambil menimati pemandangan taman. Kuberi dia sepotong roti, sebenernya aku tahu kucing tidak ada yang suka pada roti karena kucing jaman sekarang jangankan roti di kasih tulangpun enggan, meskipun tulang itu ada sedikit potongan dagingnya. Diluar dugaanku kucing itu memakannya. Kucing yang sungguh menarik, pikirku.

Seketika aku merasa jatuh hati pada kucing itu. Hal sederhana itu membuatku lebih sering mengunjunginya, meskipun pergi ke taman merupakan salah satu rutinitasku dikala jenuh pada dunia. Kadang aku menjumpainya, tuk sekedar memberinya makan roti, kadang aku memberinya nasi atau bahkan memberinya permen. Aku mengira dia tidak menyukainya, tapi pemikiranku salah. Kucing special ini menyukai apapun pemberianku, Aku tidak tahu apakah dia memang pemakan segala, meskipun tidak sedang lapar. Ataukah karena lapar dia menyukai apapun yang diberikan orang lain sehingga tak peduli apapun makanannya asal bisa mengganjal perut. Apakah itu cocok dilidah ataupun tidak, sudah tidak menjadi persoalan.

Sesekali waktu aku menjumpainya hanya dengan tangan hampa. Hanya sebuah cerita bahagia yang aku sendiri tak tau mengapa aku harus menceritakam padanya. Kadang aku merasa kasihan, namun aku berjanji untuk pertemuan berikutnya aku akan memberikan makanan yang cukup enak. Dan sepertinya dia tak hanya menyukai makanan bahkan untuk sebuah cerita dia terlihat begitu senang. Itu terlihat ketika dia bergeliat manja di kakiku saat pantatku baru saja merapat dengan bangku taman. Benarkah aura kebahagiaan itu bisa terasa bagi orang sekitarnya termasuk kucing yang sering kutemui ini?

Pertemuan dengannya seperti candu, seperti air yang menyapa musim yang kemarau, seperti awan yang memeluk mentari agar selalu teduh. Meskipun hanya seekor kucing, bukankah sebuah rasa itu hadir tanpa bisa dicegah, walaupun kita tidak bisa memilih kepada siapa rasa itu menepi.

Aku memiliki rencana untuk membawanya meneduh seatap bersamaku. Agar ketika musim hujan tiba, dia tidak perlu berlari untuk menghindarinya, atau merasakan dingin yang menusuk. Sayangnya tempat kosan aku tinggali tidak memperbolehkan memelihara hewan peliharaan. Meskipun aku menaruhnya didalam kamar dan tidak merepotkan kamar-kamar disebelahku. Tapi peraturan, tetaplah peraturan.

Selama beberapa bulan aku tidak menemuinya ditaman, bukan karena tidak ingin. Namun tugas kampus dan pekerjaan sampinganku yang sengaja kutambah menjadi penghalangnya. Aku bekerja sampingan lebih banyak agar bisa pindah kekosan yang memberikan ijin untuk memelihara hewan peliharaan. Sayangnya uang yang aku kumpulkan masih belum cukup untuk merealisasikannya.

Aku sedang beristirahat, ketika ada yang menghampiriku saat aku tengah duduk disebuah warung dekat tempat bekerjaku.

“Bang yang punya sepeda itu ya ?” tanya seseorang yang akhirnya aku tahu kalau orang tersebut adalah anak dari bos tempatku bekerja.

Aku mengangguk, menjawab pertanyaannya.

“Sepedanya dijual tidak? Atau mau tukar tambah dengan sepeda saya?” Dia menunjuk sepedanya yang posisinya berada disebelahku. Sepeda keluaran cukup anyar dengan keranjang didepannya .

“Sepeda saya bukan sepeda asli, rasanya tidak sepadan bila tukar tambah dengan sepeda anda.” Jawabku sejujurnya.

Disatu sisi aku membutuhkan uang, agar janji itu bisa terpenuhi untuk membawa kucing itu tinggal bersamaku. Disatu sisi aku merasa kenangan ibuku ada disana. Apakah ini saatnya aku untuk merelakan?

“Saya tahu, buat saya tidak menjadi masalah. Atau begini saja, bagaimana bila saya menyewa sepeda kamu selama beberapa bulan. Sebagai jaminannya kamu bisa menggunakan sepeda saya.”

Seperti inikah alam bekerja, memberikan keajaiban ketika merasa seperti tidak ada jalan keluar. Ataukah ini adalah hadiah dari sebuah usaha ketulusan. Aku merasa tidak ada penawaran yang lebih menggiurkan dari ini. Aku mendapatkan uang sewa dari sepedaku, dan aku dapat pengganti sementara sepedaku yang disewa.

Tanpa memikirkannya lagi, aku merasa tidak ada penawaran yang begitu semenyenangkan ini. Aku berjabat tangan dengannya, sembari melanjutkan cerita tentang kenangan sepeda yang aku miliki.

Seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu, setelah selesai aku bekerja dan menyelesaikan pernjanjian penyewaan itu. Aku mengaayuh sepeda pinjaman itu, untuk menemuinya. Bell yang terpasang pada sepedaku, telah kupindahkan pada sepeda baru ini. Bell itu sengaka aku pindahkan, agar kenangan dengan ibuku tidak benar-benar menghilang selama sepedaku disewakan.

Rindu ini cukup menggebu, lama tak melihatnya membuatku semakin cepat mengkayuh sepeda. Sampai ditaman itu, aku tertenggun ketika aku mendapati dia telah tak bernyawa. Aku menangis terisak tanpa suara, mengapa ada yang tega membunuhnya. Mengapa ada yang tega membiarkan tubuhnya tergencet tak tertolong. Mengapa tak ada yang menyayanginya, apakah karena hanya seekor kucing jalanan. Apakah tidak pantas untuk seekor kucing jalanan hidup dengan layak?

Aku peluk tubuhnya yang tak lagi berbentuk. Aku berlari menjahui tempat tubuhnya kutemukan. Aku buatkan lubang di salah satu sudut taman itu,. Aku kubur dia, dengan hati terperi. Aku melepasnya. Aku coba merelakannya. Ada penyesalan dalam diriku, ketika selama itu tidak menjumpainya. Ada kekesalan yang begitu sesak untuk kupertahankan. Aku berteriak sejadi-jadinya ditaman itu, aku sudah tidak memerdulikan orang-orang tengah melihatku. Mungkin mereka menganggapku seperti orang gila. Aku sungguh tidak memerdulikannya, pertahananku untuk amarah dan kekesalan pun akhirnya hancur.

Kau tau kepergianku bukan karna meninggalkanmu, jalanan terlalu kejam untuk kesendirianmu. Maafkan aku yang tak bisa membawamu secepatnya. Maafkan aku yang terlambat untuk hadir. Terkadang kebahagiaan itu beralas tipis dengan kesedihan.


27 September 2018

Selasa, 04 September 2018

Aku Kembali

Rasanya seperti kembali ke rumah setelah mengalami perjalanan panjang. Rasanya seperti menemukan tempat berpulang ketika seluruh dunia mencampakkan. Sebuah rasa rindu yang begitu besar, meskipun sebelumnya aku merasa jenuh yang teramat sangat.

Begitulah rasanya ketika berhasil mengingat hal-hal yang sangat penting namun sempat terlupakan. Pasti pada bertanya-tanya, bagaimana mungkin hal penting bisa terlupakan? karena hal penting adalah hal yang secara otomatis oleh otak akan terus menjadi perioritas. Menurutku bisa saja, mungkin karena sebelumnya ku merasa blog ini biasa aja, dimana blog ini menjadi tempat ku membuang segala curahan kata absurd. Ketika akhirnya ku menyadarinya setelah dua tahun lebih aku meninggalkannya, membiarkannya berdebu bersama tulisan-tulisan lamaku. Meski sesekali kadang sengaja ku tengok namun hanya ditengok, sebab aku lupa cara mengaksesnya, aku lupa cara masuk kedalam dasbordnya, dan aku lupa passwordnya.

Sepertinya benar adanya bahwa kerinduan akan sangat terasa setelah kita mencari hal-hal yang lain, dan mulai ditinggalkan oleh hal-hal yang lain juga. Padahal ada hal yang begitu setia. Mungkin itu yang dinamakan bosan. Bagaimana bisa bosan dengan blog, bagaimana bisa bosan menulis. bagaimana bisa melupakan password penting, aku rasa aku telah diserang santet dan kumerasa saat ini santet itu telah menghilang ha ha ha

Sungguh kau merindu sekali menyususn kata-kata, merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang absrurd di blog ini. AKU SANGAT MERINDUNYA ya se capslock itu lah rasa rinduku begitu sangat besar ha ha ha ha

Meskipun aku sempat membuat blog baru dengan nama yang sama meski beda domain, entah mengapa rasanya seperti berbeda. Mungkin karena disini sudah begitu banyak kenangannya, disni banyak kisah yang ceritakan dari hal yang aneh, absurd, sok serius, dan gak jelas. Aku baru menyadarinya kekonyolan - kekonyolan itu menjadi begitu merindukan.

Banyak rindu yang ingin aku tulis

RINDU
RINDU
RINDU
RINDU

R
I
N
D
U

Rasanya aku seperti orang alay,meskipun alayku agak agak, tapi disini begitu banyak sampah rasa yang selalu ku ulang rindunya. Terima kasih Tuhan untuk kebaikanmu yang masih memberikan ku kesempatan untuk menambahkan rasa-rasa dalam kata di blog ini.

terima kasih.


Selasa, 16 Februari 2016

Berbahagialah~

Tersenyumlah, kamu wanita yang kujaga
Senyum yang mungkin kau rasa tak berharga
Senyum yang mungkin kau anggap luka
karena tak seharusnya ia ada

Ada nyawa yang hadirnya selalu kau rasa
Ada jiwa yang tak semestinya kau jaga
Ada raga yang hadirnya telah tiada
Janjiku, kamu harus bahagia

Jutaan kata kurangkai untuk sebuah canda
Untuk sebuah senyum yang sengaja ku cipta
Untuk sebuah alasan yang begitu sederhana
Kamu, ku inginkan tertawa

Tanganmu kugenggam, bukan karena aku ingin menjaga
Bukan karena sebuah janji yang kupelihara
Bukan karena tubuh kita memiliki darah yang sama
namun ada takdir yang mengikat jiwa

Tidakkah kau rindu bercanda?
Membalas kata penuh makna dan jiwa
Melempar duka menjadi tawa yang mengema
Merauk asa dan memainkannya dalam irama

Berserilah, sejuk serupa surga
Serupa metaforia yang menari dalam cahaya
Serupa perang tanpa nyawa
Serupa kamu, tanpa selimut duka

Selamat berbahagia, untuk usia yang entah kapan tiada.
Selamat untuk cerita yang telah mengudara
Selamat.....!
15 Februari 2016
09:21 pm

Kamis, 04 Februari 2016

CURUG MALELA

Perjalanan menuju curug malela ini saya ikut nebeng bareng salah satu komunitas di Bandung yakni SABUKI (Satu Bumi Kita). Untuk komunitas Sabuki ini saya juga tidak terlalu mengenal dekat, karena info trip ini saya dapatkan dari Kak Sifat, salah satu pembicara mengenai traveling di KBI (Klub Buku Indonesia). Namun saat kroscek dengan panitianya, mereka juga tidak mengenal kak Sifat. Ha Ha Ha saya hanya tertawa dalam hati.

Tempat acara berkumpulnya di Musium Sribaduga, Bandung jam 07.00 pagi hari. Awalnya saya sempat bimbang, karena posisi saya yang berada di Jakarta sementara tempat Meeting Point nya di Bandung. Namun mengingat perjalanan menuju Curug Malela sungguh ekstrim dan aksesnya cukup sulit, maka akhirnya saya memutuskan untuk ikut trip tersebut.

Sabtu sore saya berangkat ke Bandung dengan menggunakan jasa kereta api. Sesampainya di Bandung, saya menumpang menginap di kosan teman saya dan minta tolong paginya untuk di antarkan ke tempat meet up (teman yang tidak tahu diri kan saya, sudah menumpang menyusahkan pula).

Mengenal orang-orang baru itu menyenangkan.

Perjalanan ini bukan hanya menuju tempat yang ingin dituju, namun memberikan warna karena bertemu dengan orang-orang baru dan mulai mengenalnya. Setelah semua peserta berkumpul dan berdoa sejenak, akhirnya perjalanan menuju Curug Malela pun di mulai pukul 08.00. Dengan menyewa truk polisi, rombongan mulai melintasi jalan-jalan Bandung. 

Perjalanan menuju curug malela memakan waktu 3-4 jam. Curug Malela terletak di Desa Cicadas, Kecamatan Rongga-Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat.

Setelah menempuh sekitar 3 jam, maka akan terlihat gapura menuju curug Malela. Dari Gapura menuju pintu masuk curug jalan yang dilalui akan begitu ekstrim. peserta yang berada di dalam truk polisi diajak untuk bergoyang. Jalan yang tidak rata, karena berisi batu-batu besar, tanah lumpur, tanjakkan, belokkan dan turunan. Perjalanan melalui jalur ini seolah sedang menaiki arung jeram, karena tubuh ikut bergoyang kekanan, kekiri, kedepan dan kebelakang kadang sempat loncat pula. Ditengah perjalanan truck sempat berhenti tidak kuat menanjak, dan mundur kembali. Sontak membuat peserta di dalamnya ikut berteriak –ketakutan  truk akan terguling kebelakang–. Ternyata truk tersebut hanya mundur sebentar mengambil ancang-ancang untuk dapat melewati tanjakkannya.

Saya menyebutnya truk dewa, karena bisa dengan canggihnya melewati jalanan yang begitu terjal. 

Sesampainya di tempat parkir terakhir, truk tersebut beristirahat. Dan para peserta pun mulai meluruskan badan yang sempat terombang-ambing. 

Curug malela yang sekarang saya singgahi ternyata sudah cukup dikelola, terbukti jalan menuju ke sana sebagian sudah berupa aspal. Dari loket hingga ke curug tidak memakan begitu banyak waktu. Karena jalannya terus ke bawah, kira-kira waktu yang dibutuhkan hanya 15-20 menit saja. Jalan turun sebentar saja, sudah dapat terlihat dari kejauhan begitu mempesonanya niagara mini ini. Curug dengan tinggi 60 meter dan lebar 70 meter ini sering disebut sebagai Niagara Mini. Debit airnya pun cukup tinggi, untuk yang ingin berenang harap berhati-hati. Sayangnya air terjunnya tidak sejernih air terjun yang biasa dijumpai, menurut saya air terjun ini cenderung lebih kotor. Atau mungkin pengaruh hujan yang membawa lumpur ikut bersama derasnya arus. karena sehari sebelum keberangkatan hujan deras melanda kota Bandung.


Bagi yang suka berburu curug, Curug Malela menurut saya menjadi hal yang harus di datangi.