|
Pic @jimmykhoo |
Mengapa
kopi menjadi candu?
Awalnya
dia hanya kujadikan alasan melarikan diri darimu. Dia hanya jadi alasanku pada
pengharapan pertemuan denganmu yang berakhir menjadi ruang kosong.
Mengapa
kopi menjadi candu?
Ketika
awalnya aku tak bisa merasakan nikmatnya, ketika awalnya aku hanya menikmati
efeknya-terjaga semalam suntuk-. Setiap malam telah kutandaskan bergelas-gelas
media kafein itu, bayangmu tak terbenam dan kian melekat.
I’m jealous of the rain
That falls upon your skin
Its closer than my hand have been
Owh I’m jealous of the rain
Awalnya
aku ingin menghilang dari hidupmu, tepat ketika terakhir pertemuan di acara
pernikahanmu. Sebuah pesta pernikahan sederhana. Taman yang beralaskan rumput
hijau yang nyaman, beratapkan langit yang biru teduh. Berhiaskan bunga anggrek
kesukaanmu pada latar pelaminanmu dan jua dinding ditiap sudut. Tak lupa lagu
Perfect – Ed Sharon menjadi pengiring kemeriahaan kebahagianmu. Sebuah
rangkaian sempurna yang sering kamu ceritakan padaku, ketika kamu akan menikah nanti.
Dulu, betapa ingin sekali aku mewujudkannya. Aku selalu berharap, akulah yang
ada dipelaminan itu bersamamu. Aku selelu berharap, akulah yang bisa
membahagiakanmu tidak ada yang lainnya.
Dalam
hati yang sakit, pikiran yang tak berfokus aku berdoa pada alam. Berharap
gerimis itu tiba pada bahagiamu. Bukan sebagai gerimis yang romantis, tapi
sebagai penanda bahwa ada yang terluka pada hari bahagiamu.
I’m jealous of the wind
That ripples throught your
clothes
Its closer than your shadow
I’m jealous of the wind
Hari
dimana aku mendapat kabar akan pernikahanmu. Aku berkhayal haruskah kugagalkan.
Mungkin aku akan berlari menghadangmu sebelum kamu menuju ke altar, sebelum
kamu di genggam oleh kekasihmu. Aku akan menarikmu, membawamu mendekap dalam
pelukanku. Lalu aku berkata, bahwa selama ini ada yang memerhatikanmu lebih
dari sekedar teman, ada yang menyayangimu lebih besar dari rasa sayang
kekasihmu. Aku mohon padamu, jangan menikahinya.
Berulang
kali aku memikirkan banyak cara untuk menggagalkannya. Akhirnya aku menyerah,
aku mencoba tidak egois. Aku ingin lebih memikirkan perasaanmu. Bukankah kamu
yang telah memilihnya, kamu yang sudah menjalani hubungan bersamanya selama dua
tahun terakhir ini. Sedikitnya pembicaraan tentangnya saat bersamaku, kadang membuatku
berfikir bahwa rasa yang aku miliki mungkin tidak hadir sendiri. Bahwa mungkin
rasa yang aku miliki satu frekuensi dengan rasa yang kamu miliki. Nyatanya aku
telah salah, semua pengharapan-pengharapanku tertepis. Saat kabar bahagia itu
kamu utarakan, kabar yang menjadikan nyata bahwa rasa yang kumiliki telah
pupus.
Berkali-kali
aku membayangkan bersama siapakah, aku harus datang menghadirinya. Aku sering
berkhayal, akan datang pada acaramu dengan menggandeng mesra seorang wanita. Seorang
wanita yang kuharap dapat membuatmu cemburu ketika melihatnya. Aku berikan
senyum terbaikku pada saat mengucapkan selamat padamu. Lalu aku akan berkata
pada kekasihmu ‘tolong jaga dia dan buat
dia bahagia’.
Atau
aku tidak akan datang ke acaramu. Dengan alasan berpura-pura lupa atau sedang
menghadiri acara lain yang kebetulan waktunya bersamaan. Atau dengan alasan aku
sibuk pada pekerjaanku yang membuatku tidak memiliki waktu untuk dapat hadir
dipernikahanmu. Bukankah itu cara-cara balas dendam yang normal. Cara membalas
rasa kesal ketika mendapat kabar, perihal pernikahan seseorang yang sangat disayang.
Banyaknya
kemungkinan-kemungkinan yang aku bayangkan, tanpa sadar aku telah menyakiti
diriku sendiri. Aku telah mengoyak-ngoyak perasaanku sendiri. Adakah yang lebih
bodoh dari ini ?
I
wished you the best of
All
this world could give
And
I told you when you left me
There's
nothing to forgive
Dulu,
bagiku kopi hanya pelampiasanku pada rasa tertekan yang menyesakkan, pada rasa
kesal yang sulit kuredakan. Kopi hitam yang saat ini aku konsumsi, sesungguhnya
tidak cocok padaku. Tidak hanya membuatku berdebar-debar tidak karuan, tapi
juga membuat pencernaanku terganggu. Biasanya aku lebih memilih kopi jenis cappucino untuk menghilangkan
suntuk-suntuk perihal pekerjaan yang kadang menyebalkan. Ketika pekerjaan
membuatku sangat tertekan aku akan lari ke kopi hitam kemasan dan itupun akan
sangat jarang sekali terjadi. Dan aku tidak pernah bisa menghabiskannya.
Sejak
kabar pernikahanmu datang, aku tidak lagi merasa cocok dengan kopi kemasan
termasuk kopi hitamnya. Kopi kemasan yang semula sedikit pahit mendadak rasanya
jadi terasa begitu manis. Bahkan terlalu manis. Aku beralih ke kopi bubuk yang
kuracik sendiri takaran kopi dan gulanya. Kuseduh dengan caraku, air untuk
menyeduhnya kubiarkan mendidih selama lima menit.
Caraku
mengkonsumsi kopi telah berbeda. Dulu aku pernah berkata padamu, aku begitu
tidak bersahabat dengan kopi terlebih lagi dengan kopi hitam. Bersamamu aku
lebih menyukai senja dan hujan. Namun sejak hujan dan senja tidak lagi
memihakku untuk hadir diacara pernikahanmu. Aku memilih untuk melepasnya,
kemudian berteman dengan kopi dan bintang. Kini setiap pagi kujadikan kopi
hitam temanku untuk menantang hari dan penyemangat diri bahwa pahitnya kopi
telah memelukku demikian erat pada rasaku padamu yang melekat. Dan bintang
menjadi sahabatku kala kenangan-kenangan bersamamu merampok sisa-sisa
kesadaranku.
But
I always thought you'd come back, tell me all you found was
Heartbreak
and misery
It's
hard for me to say, I'm jealous of the way
You're
happy without me
Tiba
saatnya hari pernikahanmu, aku tidak bisa memuat alasan untuk tidak menghadirinya
meskipun aku memilikinya. Hari pernikahanmu sebenarnya sama dengan acara
pernikahan temanku diluar kota. Bukankah itu alasan yang sangat bagus untukku, sebuah
acara diluar kota sehingga aku tidak harus datang ke acaramu. Bodohnya aku
tidak melakukannya, aku lebih memilih untuk hadir di acara yang melukaiku.
Acara yang beberapa minggu lalu terus menerus datang ditiap malamku,
membayangkan hal-hal seperti apa yang akan kulakukan untuk menggagalkannya.
Rencana-rencana
yang awalnya aku pikirkan. Salah satunya itu hadir bersama wanita yang akan
kugandeng dengan mesra. Seseorang yang kuharap kehadirannya bisa membuat api
cemburu padamu, berharap pula bahwa pilihanmu menikah dengannya adalah salah. Lihatlah,
aku datang seorang diri. Aku tidak membawanya bukan karena tidak ada. Aku tidak
tahu mengapa aku tidak jadi melakukannya. Aku sendiri pun tidak mengerti
alasannya, termasuk rencana mengatakan pada kekasihmu untuk berjanji
membahagiakanmu dan menjagamu. Semua terasa kelu. Rencana-rencana itu luntur
tanpa tindakan.
Ada
rasa perih-perih di hatiku melihat tawamu, mendengar ucapan terima kasihmu pada tamu yang
hadir menyalamimu. Tiba saatnya ketika aku berjalan menuju pelaminan, haruskah
aku memelukmu dan berucap selamat. Atau haruskah aku menepuk pundak kekasihmu
dan berkata sesuai sekenario yang kupikirkan yakni berkata untuk menjaga dan
membahagiakanmu. Lamat-lamat aku berfikir seperti orang bodoh saja bila
mengucapkannya. Bukankah itu memang sudah menjadi kewajibannya untuk
membahagiakan dan menjagamu.
Aku
menyalami orang tuamu, aku mengucapkan selamat. Ibumu mengucapkan terima kasih
atas kedatanganku. Memelukku dengan begitu erat dan berbisik, “lekas menyusul ya”. Aku tersenyum palsu
untuk tidak mengecewakan hati ibumu.
Andai
saja aku bisa berkata, tante andai bisa aku ingin menikahi putrimu. Lidah ini
kelu, aku terlalu pengecut. Jalan
selangkah lagi, aku menyalamimu. Mengucapkan selamat, entah selamat untuk apa.
Selamat untuk kebahagiaanmu ataukah selamat untuk rasaku yang pupus. Saat tangan
ini menggenggam tanganmu, kamu menarik tubuhku, memelukku dan berbisik. “jangan pulang, kita foto dulu untuk
kenang-kenangan”. Tidak ada senyuman, tidak ada kata-kata meluncur pada
bibir ini. Hanya seuntas senyum dipaksakan yang bisa kupersembahkan.
Foto
bersama katamu, untuk kenang-kenangan katamu. Haruskah luka ini kukenang. Aku
ingin pulang secepatnya. Aku ingin meninggalkan segera tempat terkutuk ini. Masih
adakah alasanku untuk bertahan. Aku tidak tahu harus menyebut diriku sendiri
ini sebagai orang bodoh, tolol atau dungukah. Saat aku memutuskan untuk berdiri
disampingnya dan mengabadikan moment
itu menjadi sebuah gambar bersama dengan kekasihnya.
I'm
jealous of the nights
That
I don't spend with you
I'm
wondering who you lay next to
Oh,
I'm jealous of the nights
I'm
jealous of the love
Love
that was in here
Gone
for someone else to share
Oh,
I'm jealous of the love
Katanya
jika kita mencintai seseorang, cintailah ia habis-habisan meski kadang yang
kita lakukan justru melukai kita. Karena dengan cara begitu akan lahir
keikhlasan. Rasa - rasa yang tidak lagi tersisa dan akan tiba waktunya memutuskan untuk melepasnya. Telah kulakukan
cara tersebut, namun rasa ini tidak pernah tandas dan selalu tersisa yang
menyebabkannya selalu bertambah. Rasa itu memang tidak bisa dipaksa, tapi rasa
juga tak bisa dilenyapkan semudah seperti yang dikatakan oleh teori.
Adakah
yang lebih candu selain merindumu, meski kutahu bahwa semua rasamu tak pernah
tersaji untukku dan tak pernah tercipta untukku. Adakah yang lebih menyiksa
selain membiarkan rasa ini selalu tumbuh meski sering kali kubunuh. Sudah
beberapa bulan sejak hari pernikahanmu kuhadiri, sejak beberapa bulan itu pula
aku terus menghindarimu mencoba melenyapkan rasa-rasa yang pernah kusiram
dengan begitu subur.
Kuberlari
kesana dan kemari, menyibukkan diri dengan segala hal yang bukan tentangmu. Begitulah
kamu yang menjadi candu, semakin kupergi untuk menjauh semakin pula rindu-rindu
ini mencak-mencak untuk mengintip kabarmu. Hingga pelarian darimu pun gagal
kulakukan, aku kembali memeluk kenangan bersamamu dalam sepi bersama kopi hitam
yang pekat.
Aku
melihat-lihat foto-foto kenang-kenangan tentang kita, aku merasa waktu begitu
singkat untuk kita. Menghabiskan waktu bersama, saling bertukar cerita tanpa
celah hingga yang tersisa hanyalah tawa-tawa. Tidak ada temu yang tercipta pada
hari terakhir dipelaminan itu, tidak kamu juapun aku untuk berinisiatif
menawarkan ajakan jumpa. Seolah masing-masing kita telah menarik diri dan
menciptakan tembok yang bernama orang asing.
As
I sink in the sand
Watch
you slip through my hands
Oh,
as I die here another day, yeah
'Cause
all I do is cry behind this smile
Mungkinkah
ini cara terbaik sebagai langkah awal untuk saling melupakan. Mungkinkah ini
pula langkah tepat untuk tidak lagi menciptakan rasa-rasa yang seharusnya
terlarang. Aku tidak tahu dan sungguh aku tidak mengerti, hingga akhirnya aku
memutuskan untuk tetap menjalaninya saja. Menjalani sisa-sisa rasa yang masih
saja sulit untuk ditenggelamkan.
Sudah
tiga tahun berlalu sejak hari sialan itu, hari terakhir aku bertemu denganmu. Kopi
dan bintang masih menjadi teman setiaku. Tak pernah kulepaskan diriku tanpa
seharipun untuk menyesap kopi hitam. Termasuk hari ini saat aku sedang duduk
menikmati pemandangan gunung Gede yang menjulang dengan cantiknya. Berhiaskan cahaya
lampu-lampu yang terpancar dari rumah-rumah yang bermukin ditubuhnya.
Malam ini
aku sendiri menikmatinya. Tempat dimana, dulu aku menghabiskan banyak cerita
bersamamu. Sungguh malang diriku yang masih saja bermain-main pada kenangan
yang tak bisa kulupakan. Setiap kali bereuforia dengan perasaan itu, aku hanya
bisa tersenyum kecut sambil memandang bintang buatan dimuka bumi. Aku telah
mencintamu begitu banyak hingga tak ada lagi yang tersisa untukku, untuk
mencintai diriku sendiri.
Lamunan-lamunanku
terhenti ketika lenganku tersentuh oleh seseorang. Seorang anak kecil yang jatuh
disampingku. Dia sedang bermain sambil berlari dan tidak sengaja menabrak di tempatku
sedang duduk. Aku dengan spontan menghentikan lamunanku dan membantu membangunkan
anak tersebut. Tidak seperti anak kebanyakan yang menangis ketika terjatuh. Anak
ini sungguh kuat dia hanya tersenyum lalu mengucapkan permintaan maaf padaku.
Otomatis
senyumku mengembang, tersenyum padanya dengan tingkahnya. Aku membantu mengusap
lututnya yang mungkin saja kotor dan mengelus rambutnya seraya berkata, “tidak apa-apa lain kali hati-hati ya”.
Tidak lama ada suara yang hadir memanggilnya. Anak tersebut langsung berlari
menuju suara itu berasal. Aku merasa familiar dengan suara ini, suara yang
mungkin begitu lama aku rindukan. Aku memberanikan diri untuk membalikkan
tubuhku.
Seperti
adegan dalam sebuah film, pertemuan yang tidak terduga dengan seseorang yang
baru saja aku kenang. Aku memandangnya dengan begitu lekat, kerinduan yang
hanya bisa aku tunjukkan pada mata ini. Adakah kamu juga merasakannya,
merasakan rindu yang begitu lama terbenam. Kamu tersenyum, ah sebuah senyum
yang selalu kurindui. Kamu bertanya akan kabarku, sebuah basa basi yang biasa
dilakukan oleh dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Tidak luput diriku jua
menanyakan perihal yang sama. Sebuah basa basi busuk yang menurutku telah
meruntuhkan seluruh kerinduan yang selama ini kubendung. Aku bertanya padamu
apakah dia anakmu, kamu mengangguk, sebuah jawaban tanpa kata.
Kamu
memanggil anakmu untuk menghampiriku, memintanya untuk memperkenalkan diri.
Anak itu menyebutkan sebuah nama yang membuatku tertegun. Nama yang sama
denganku. Aku terkejut mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-petanyaan dalam
kepalaku. Aku memandangi anak kecil itu dan kamu. Namun jawaban itu masih
menimbulkan kebingungan yang belum kupahami. Tanpa memberikanku sebuah
penjelasan, kamu berpamitan padaku. Meninggalkanku yang masih dalam kebingungan
pada peristiwa yang baru saja terjadi.
Anak
kecil itu berlari menghampiriku kembali, meninggalkan ibunya. “Tante lain kali main sama aku ya.”
Sebuah
kertas diberikannya padaku, katanya dari ibunya. Dia tersenyum dan
meninggalkanku sambil melambaikan tangannya. Sebuah senyum riang yang tak bisa
kulupakan. Aku membuka lipatan kertas yang diberikannya.
Tidak ada yang setuju pada sebuah
rasa yang tercipta diantara kita. Tidak mereka, tidak jua Tuhan. Kita hanya
bisa membenamkan rasa itu pada doa. Doa yang menjadikan dirimu dan diriku
bersatu.
Song : Labrinth - Jealous
04
Oktober 2018