Kamis, 04 Oktober 2018

#KAMISAN SEASON 4 : S04E02 - GALAU

Pic @jimmykhoo
Mengapa kopi menjadi candu?

Awalnya dia hanya kujadikan alasan melarikan diri darimu. Dia hanya jadi alasanku pada pengharapan pertemuan denganmu yang berakhir menjadi ruang kosong.

Mengapa kopi menjadi candu?
Ketika awalnya aku tak bisa merasakan nikmatnya, ketika awalnya aku hanya menikmati efeknya-terjaga semalam suntuk-. Setiap malam telah kutandaskan bergelas-gelas media kafein itu, bayangmu tak terbenam dan kian melekat.

I’m jealous of the rain
That falls upon your skin
Its closer than my hand have been
Owh I’m jealous of the rain

Awalnya aku ingin menghilang dari hidupmu, tepat ketika terakhir pertemuan di acara pernikahanmu. Sebuah pesta pernikahan sederhana. Taman yang beralaskan rumput hijau yang nyaman, beratapkan langit yang biru teduh. Berhiaskan bunga anggrek kesukaanmu pada latar pelaminanmu dan jua dinding ditiap sudut. Tak lupa lagu Perfect – Ed Sharon menjadi pengiring kemeriahaan kebahagianmu. Sebuah rangkaian sempurna yang sering kamu ceritakan padaku, ketika kamu akan menikah nanti. Dulu, betapa ingin sekali aku mewujudkannya. Aku selalu berharap, akulah yang ada dipelaminan itu bersamamu. Aku selelu berharap, akulah yang bisa membahagiakanmu tidak ada yang lainnya.

Dalam hati yang sakit, pikiran yang tak berfokus aku berdoa pada alam. Berharap gerimis itu tiba pada bahagiamu. Bukan sebagai gerimis yang romantis, tapi sebagai penanda bahwa ada yang terluka pada hari bahagiamu.

I’m jealous of the wind
That ripples throught your clothes
Its closer than your shadow
I’m jealous of the wind

Hari dimana aku mendapat kabar akan pernikahanmu. Aku berkhayal haruskah kugagalkan. Mungkin aku akan berlari menghadangmu sebelum kamu menuju ke altar, sebelum kamu di genggam oleh kekasihmu. Aku akan menarikmu, membawamu mendekap dalam pelukanku. Lalu aku berkata, bahwa selama ini ada yang memerhatikanmu lebih dari sekedar teman, ada yang menyayangimu lebih besar dari rasa sayang kekasihmu. Aku mohon padamu, jangan menikahinya.

Berulang kali aku memikirkan banyak cara untuk menggagalkannya. Akhirnya aku menyerah, aku mencoba tidak egois. Aku ingin lebih memikirkan perasaanmu. Bukankah kamu yang telah memilihnya, kamu yang sudah menjalani hubungan bersamanya selama dua tahun terakhir ini. Sedikitnya pembicaraan tentangnya saat bersamaku, kadang membuatku berfikir bahwa rasa yang aku miliki mungkin tidak hadir sendiri. Bahwa mungkin rasa yang aku miliki satu frekuensi dengan rasa yang kamu miliki. Nyatanya aku telah salah, semua pengharapan-pengharapanku tertepis. Saat kabar bahagia itu kamu utarakan, kabar yang menjadikan nyata bahwa rasa yang kumiliki telah pupus.

Berkali-kali aku membayangkan bersama siapakah, aku harus datang menghadirinya. Aku sering berkhayal, akan datang pada acaramu dengan menggandeng mesra seorang wanita. Seorang wanita yang kuharap dapat membuatmu cemburu ketika melihatnya. Aku berikan senyum terbaikku pada saat mengucapkan selamat padamu. Lalu aku akan berkata pada kekasihmu ‘tolong jaga dia dan buat dia bahagia’.

Atau aku tidak akan datang ke acaramu. Dengan alasan berpura-pura lupa atau sedang menghadiri acara lain yang kebetulan waktunya bersamaan. Atau dengan alasan aku sibuk pada pekerjaanku yang membuatku tidak memiliki waktu untuk dapat hadir dipernikahanmu. Bukankah itu cara-cara balas dendam yang normal. Cara membalas rasa kesal ketika mendapat kabar, perihal pernikahan seseorang yang sangat disayang.

Banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang aku bayangkan, tanpa sadar aku telah menyakiti diriku sendiri. Aku telah mengoyak-ngoyak perasaanku sendiri. Adakah yang lebih bodoh dari ini ?

I wished you the best of
All this world could give
And I told you when you left me
There's nothing to forgive

Dulu, bagiku kopi hanya pelampiasanku pada rasa tertekan yang menyesakkan, pada rasa kesal yang sulit kuredakan. Kopi hitam yang saat ini aku konsumsi, sesungguhnya tidak cocok padaku. Tidak hanya membuatku berdebar-debar tidak karuan, tapi juga membuat pencernaanku terganggu. Biasanya aku lebih memilih kopi jenis cappucino untuk menghilangkan suntuk-suntuk perihal pekerjaan yang kadang menyebalkan. Ketika pekerjaan membuatku sangat tertekan aku akan lari ke kopi hitam kemasan dan itupun akan sangat jarang sekali terjadi. Dan aku tidak pernah bisa menghabiskannya.

Sejak kabar pernikahanmu datang, aku tidak lagi merasa cocok dengan kopi kemasan termasuk kopi hitamnya. Kopi kemasan yang semula sedikit pahit mendadak rasanya jadi terasa begitu manis. Bahkan terlalu manis. Aku beralih ke kopi bubuk yang kuracik sendiri takaran kopi dan gulanya. Kuseduh dengan caraku, air untuk menyeduhnya kubiarkan mendidih selama lima menit.

Caraku mengkonsumsi kopi telah berbeda. Dulu aku pernah berkata padamu, aku begitu tidak bersahabat dengan kopi terlebih lagi dengan kopi hitam. Bersamamu aku lebih menyukai senja dan hujan. Namun sejak hujan dan senja tidak lagi memihakku untuk hadir diacara pernikahanmu. Aku memilih untuk melepasnya, kemudian berteman dengan kopi dan bintang. Kini setiap pagi kujadikan kopi hitam temanku untuk menantang hari dan penyemangat diri bahwa pahitnya kopi telah memelukku demikian erat pada rasaku padamu yang melekat. Dan bintang menjadi sahabatku kala kenangan-kenangan bersamamu merampok sisa-sisa kesadaranku.

But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Heartbreak and misery
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
You're happy without me

Tiba saatnya hari pernikahanmu, aku tidak bisa memuat alasan untuk tidak menghadirinya meskipun aku memilikinya. Hari pernikahanmu sebenarnya sama dengan acara pernikahan temanku diluar kota. Bukankah itu alasan yang sangat bagus untukku, sebuah acara diluar kota sehingga aku tidak harus datang ke acaramu. Bodohnya aku tidak melakukannya, aku lebih memilih untuk hadir di acara yang melukaiku. Acara yang beberapa minggu lalu terus menerus datang ditiap malamku, membayangkan hal-hal seperti apa yang akan kulakukan untuk menggagalkannya.

Rencana-rencana yang awalnya aku pikirkan. Salah satunya itu hadir bersama wanita yang akan kugandeng dengan mesra. Seseorang yang kuharap kehadirannya bisa membuat api cemburu padamu, berharap pula bahwa pilihanmu menikah dengannya adalah salah. Lihatlah, aku datang seorang diri. Aku tidak membawanya bukan karena tidak ada. Aku tidak tahu mengapa aku tidak jadi melakukannya. Aku sendiri pun tidak mengerti alasannya, termasuk rencana mengatakan pada kekasihmu untuk berjanji membahagiakanmu dan menjagamu. Semua terasa kelu. Rencana-rencana itu luntur tanpa tindakan.

Ada rasa perih-perih di hatiku melihat tawamu,  mendengar ucapan terima kasihmu pada tamu yang hadir menyalamimu. Tiba saatnya ketika aku berjalan menuju pelaminan, haruskah aku memelukmu dan berucap selamat. Atau haruskah aku menepuk pundak kekasihmu dan berkata sesuai sekenario yang kupikirkan yakni berkata untuk menjaga dan membahagiakanmu. Lamat-lamat aku berfikir seperti orang bodoh saja bila mengucapkannya. Bukankah itu memang sudah menjadi kewajibannya untuk membahagiakan dan menjagamu.

Aku menyalami orang tuamu, aku mengucapkan selamat. Ibumu mengucapkan terima kasih atas kedatanganku. Memelukku dengan begitu erat dan berbisik, “lekas menyusul ya”. Aku tersenyum palsu untuk tidak mengecewakan hati ibumu.

Andai saja aku bisa berkata, tante andai bisa aku ingin menikahi putrimu. Lidah ini kelu, aku terlalu pengecut.  Jalan selangkah lagi, aku menyalamimu. Mengucapkan selamat, entah selamat untuk apa. Selamat untuk kebahagiaanmu ataukah selamat untuk rasaku yang pupus. Saat tangan ini menggenggam tanganmu, kamu menarik tubuhku, memelukku dan berbisik. “jangan pulang, kita foto dulu untuk kenang-kenangan”. Tidak ada senyuman, tidak ada kata-kata meluncur pada bibir ini. Hanya seuntas senyum dipaksakan yang bisa kupersembahkan.

Foto bersama katamu, untuk kenang-kenangan katamu. Haruskah luka ini kukenang. Aku ingin pulang secepatnya. Aku ingin meninggalkan segera tempat terkutuk ini. Masih adakah alasanku untuk bertahan. Aku tidak tahu harus menyebut diriku sendiri ini sebagai orang bodoh, tolol atau dungukah. Saat aku memutuskan untuk berdiri disampingnya dan mengabadikan moment itu menjadi sebuah gambar bersama dengan kekasihnya.

I'm jealous of the nights
That I don't spend with you
I'm wondering who you lay next to
Oh, I'm jealous of the nights
I'm jealous of the love
Love that was in here
Gone for someone else to share
Oh, I'm jealous of the love

Katanya jika kita mencintai seseorang, cintailah ia habis-habisan meski kadang yang kita lakukan justru melukai kita. Karena dengan cara begitu akan lahir keikhlasan. Rasa - rasa yang tidak lagi tersisa dan akan tiba waktunya  memutuskan untuk melepasnya. Telah kulakukan cara tersebut, namun rasa ini tidak pernah tandas dan selalu tersisa yang menyebabkannya selalu bertambah. Rasa itu memang tidak bisa dipaksa, tapi rasa juga tak bisa dilenyapkan semudah seperti yang dikatakan oleh teori.

Adakah yang lebih candu selain merindumu, meski kutahu bahwa semua rasamu tak pernah tersaji untukku dan tak pernah tercipta untukku. Adakah yang lebih menyiksa selain membiarkan rasa ini selalu tumbuh meski sering kali kubunuh. Sudah beberapa bulan sejak hari pernikahanmu kuhadiri, sejak beberapa bulan itu pula aku terus menghindarimu mencoba melenyapkan rasa-rasa yang pernah kusiram dengan begitu subur.

Kuberlari kesana dan kemari, menyibukkan diri dengan segala hal yang bukan tentangmu. Begitulah kamu yang menjadi candu, semakin kupergi untuk menjauh semakin pula rindu-rindu ini mencak-mencak untuk mengintip kabarmu. Hingga pelarian darimu pun gagal kulakukan, aku kembali memeluk kenangan bersamamu dalam sepi bersama kopi hitam yang pekat.

Aku melihat-lihat foto-foto kenang-kenangan tentang kita, aku merasa waktu begitu singkat untuk kita. Menghabiskan waktu bersama, saling bertukar cerita tanpa celah hingga yang tersisa hanyalah tawa-tawa. Tidak ada temu yang tercipta pada hari terakhir dipelaminan itu, tidak kamu juapun aku untuk berinisiatif menawarkan ajakan jumpa. Seolah masing-masing kita telah menarik diri dan menciptakan tembok yang bernama orang asing.

As I sink in the sand
Watch you slip through my hands
Oh, as I die here another day, yeah
'Cause all I do is cry behind this smile

Mungkinkah ini cara terbaik sebagai langkah awal untuk saling melupakan. Mungkinkah ini pula langkah tepat untuk tidak lagi menciptakan rasa-rasa yang seharusnya terlarang. Aku tidak tahu dan sungguh aku tidak mengerti, hingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap menjalaninya saja. Menjalani sisa-sisa rasa yang masih saja sulit untuk ditenggelamkan.

Sudah tiga tahun berlalu sejak hari sialan itu, hari terakhir aku bertemu denganmu. Kopi dan bintang masih menjadi teman setiaku. Tak pernah kulepaskan diriku tanpa seharipun untuk menyesap kopi hitam. Termasuk hari ini saat aku sedang duduk menikmati pemandangan gunung Gede yang menjulang dengan cantiknya. Berhiaskan cahaya lampu-lampu yang terpancar dari rumah-rumah yang bermukin ditubuhnya. 

Malam ini aku sendiri menikmatinya. Tempat dimana, dulu aku menghabiskan banyak cerita bersamamu. Sungguh malang diriku yang masih saja bermain-main pada kenangan yang tak bisa kulupakan. Setiap kali bereuforia dengan perasaan itu, aku hanya bisa tersenyum kecut sambil memandang bintang buatan dimuka bumi. Aku telah mencintamu begitu banyak hingga tak ada lagi yang tersisa untukku, untuk mencintai diriku sendiri.

Lamunan-lamunanku terhenti ketika lenganku tersentuh oleh seseorang. Seorang anak kecil yang jatuh disampingku. Dia sedang bermain sambil berlari dan tidak sengaja menabrak di tempatku sedang duduk. Aku dengan spontan menghentikan lamunanku dan membantu membangunkan anak tersebut. Tidak seperti anak kebanyakan yang menangis ketika terjatuh. Anak ini sungguh kuat dia hanya tersenyum lalu mengucapkan permintaan maaf padaku.

Otomatis senyumku mengembang, tersenyum padanya dengan tingkahnya. Aku membantu mengusap lututnya yang mungkin saja kotor dan mengelus rambutnya seraya berkata, “tidak apa-apa lain kali hati-hati ya”. Tidak lama ada suara yang hadir memanggilnya. Anak tersebut langsung berlari menuju suara itu berasal. Aku merasa familiar dengan suara ini, suara yang mungkin begitu lama aku rindukan. Aku memberanikan diri untuk membalikkan tubuhku.

Seperti adegan dalam sebuah film, pertemuan yang tidak terduga dengan seseorang yang baru saja aku kenang. Aku memandangnya dengan begitu lekat, kerinduan yang hanya bisa aku tunjukkan pada mata ini. Adakah kamu juga merasakannya, merasakan rindu yang begitu lama terbenam. Kamu tersenyum, ah sebuah senyum yang selalu kurindui. Kamu bertanya akan kabarku, sebuah basa basi yang biasa dilakukan oleh dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Tidak luput diriku jua menanyakan perihal yang sama. Sebuah basa basi busuk yang menurutku telah meruntuhkan seluruh kerinduan yang selama ini kubendung. Aku bertanya padamu apakah dia anakmu, kamu mengangguk, sebuah jawaban tanpa kata.

Kamu memanggil anakmu untuk menghampiriku, memintanya untuk memperkenalkan diri. Anak itu menyebutkan sebuah nama yang membuatku tertegun. Nama yang sama denganku. Aku terkejut mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-petanyaan dalam kepalaku. Aku memandangi anak kecil itu dan kamu. Namun jawaban itu masih menimbulkan kebingungan yang belum kupahami. Tanpa memberikanku sebuah penjelasan, kamu berpamitan padaku. Meninggalkanku yang masih dalam kebingungan pada peristiwa yang baru saja terjadi.

Anak kecil itu berlari menghampiriku kembali, meninggalkan ibunya. “Tante lain kali main sama aku ya.”

Sebuah kertas diberikannya padaku, katanya dari ibunya. Dia tersenyum dan meninggalkanku sambil melambaikan tangannya. Sebuah senyum riang yang tak bisa kulupakan. Aku membuka lipatan kertas yang diberikannya.

Tidak ada yang setuju pada sebuah rasa yang tercipta diantara kita. Tidak mereka, tidak jua Tuhan. Kita hanya bisa membenamkan rasa itu pada doa. Doa yang menjadikan dirimu dan diriku bersatu.  

 Song : Labrinth - Jealous
04 Oktober 2018

1 komentar:

Afrianti Eka Pratiwi mengatakan...

Plot twist banget nih febiiiii. Akh nyaris tertipu terhadap tokoh utamanya hahaha

Posting Komentar