Kamis, 27 September 2018

#KAMISAN SEASON 4 : SO4E01 - SEPEDA



Aku menunggunya, selalu menunggu pengendara sepeda tua. Sepeda tua dengan merk Fongers, yang kurasa sepeda tersebut merupakan barang tiruan. Mengapa aku bisa berkata seperti itu, karena terlihat dari ukiran atau lambang emblemnya yang terdapat tempelan lambang sepeda aslinya.

Pengendara sepeda itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dengan pundak bidang serta otot-ototnya yang terlihat pada lengan dengan kaos yang membelit tubuhnya. Wajah yang tirus dengan sedikit bulu pada bawah hidungnya, mata yang terlihat mengantuk dan hal yang paling selalu kurasa adalah sedikit aroma tembakau datang pada  pagi saat pertama kali kedatangannya. Senyum khas yang tidak terlalu manis selalu menjadi awal sapaan ketika bertemu denganku.

Kehadirannya memberikanku sepotong roti adalah salah satu keajaiban yang hadir dalam hidupku. Makanan yang diberikannya menjadi penyemangatku untuk bertahan hidup dan selalu menantikan kehadirannya. Kedatangannya dengan roti itu membuatku tidak perlu repot-repot mangais-gais tempat sampah, tempat yang membuatku berharap ada orang baik yang sengaja kenyang terlebih dahulu sebelum makanan yang dibelinya habis dilahap.

Kadang ada satu waktu dia datang membawakan nasi, meski itu jarang sekali terjadi. Sebungkus nasi dengan lauk sederhana seperti tahu tempe sambal sayur oyong. Makanan itu dia bagi berdua denganku. Meski aku tahu masih ada rasa lapar pada dirinya dan aku pun tahu bahwa aku tidak menyukai nasi, namun aku pun tetap malahapnya. Karena kebaikan hatinya begitu terasa dalam tiap makanan yang kumakan.

Kadang ada satu waktu pula dia datang dengan sebuah cerita dan sebungkus permen, permen dengan rasa yang terlalu manis buatku, yang kadang rasanya membuatku mual. Namun kupaksa memakannya semata-mata karena aku tak ingin dirinya kecewa bila pemberiannya aku abaikan. Pada beberapa waktu ketika ada orang lain yang lewat dihadapanku atau ketika aku melihat ada orang lain yang membuang bungkus permen yang serupa. Aku mencuri dengar, dan aku mengetahui bahwa permen yang dia berikan adalah permen yang cukup mahal. Sesungguhnya aku ingin kamu tidak perlu repot-repot memberiku permen yang sangat keterlaluan manisnya itu. Sayang sekali bila uangnya dipakai hanya untuk membeli permen yang banyaknya tidak seberapa itu.

Kadang disuatu waktu dia datang tanpa makanan, dia hanya menceritakan sebuah kisah yang membuatknya tertawa-tawa. Tentang betapa bodohnya ia ketika teman-temannya mengucapkan ayam kentucky namun dia mendengarnya kentang hati. Atau sebuah cerita ketika dia begitu semangat membuat mie kemasan, namun saat air sudah dituangkan ternyata air dispensernya tidak panas. Sesungguhnya aku tidak mengerti cerita-ceritanya, yang aku mengerti adalah ketika dia tertawa disitu terlihat begitu bahagianya dan aku pun ikut bahagia. Aku baru sadar ternyata bahagia itu menular.

Hari itu tidak seperti biasanya, langit tidak memaparkan sinarnya dengan terik. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya, tidak seperti biasanya. Selama apapun dia pergi tidak pernah selama ini. Andai dia tahu ada rindu yang tiada lagi dapat kubendung. Aku selalu berdoa pada Tuhan, semoga dia tidak ada apa-apa. Sayang doaku pada Tuhan tidak dikabulkan-Nya. Dia datang menjawab rinduku, tapi Tuhan tidak menjawab doaku. Aku melihatnya dari jauh, suara khas bell nya terekam jelas dalam ingatanku. Aku berlari memutar menyambut dengan riang kedatangannya. Semakin mendekat aku merasa aura kehadirannya begitu suram.  Tanpa makanan dan tanpa cerita, dia datang dengan suara isak tangisnya. Tangis yang begitu memilukan, dia memandangku dengan begitu iba, seolah aku menjadi hal yang perlu dikasiani. Padahal aku tidak perlu dikasiani, karena aku tidak merasakan kesedihan sekalipun, aku hidup sendirian. Cukup lama dia menangis, belum sempat aku bertindak untuk menghibur, dia telah melenggang pergi tanpa aku mengerti sakit seperti apa yang dirasanya dengan tangis yang begitu perih.

Itulah terakhir kali aku melihatnya, esoknya, lusanya dan hari-hari selanjutnya terlalui tanpa aku melihat lagi kehadirannya. Aku mencarinya kesetiap sudut yang kurasa dia berada, namun enggan aku lakukan. Aku takut ketika aku pergi dia datang mencariku. Aku bertanya pada setiap pengendara sepeda yang lewat hanya untuk sekedar tahu tentang kabarnya, namun pertanyaanku tidak ada yang menggubrisnya. Aku tidak memperdulikannya, aku tetap bertanya meskipun hasilnya nihil.

Setiap aku melihat sepeda sejenis Fongers, aku mengira itu dirinya. Saat melewatiku dan tidak berhenti dihadapanku aku mengejarnya, berteriak berharap yang mengendarai sepeda itu menoleh dan itu adalah dia. Atau juga ketika ada pengendara sepeda dengan postur yang mirip tubuhnya aku pun mengejarnya meski sepeda yang dikendarainya berbeda. Aku salah semua pengendara sepeda itu bukan dia

******

Siang yang menyebalkan, pagi yang mengesalkan. Semoga sore nanti tidak menjadi menyeramkan. Hari ini sepertinya tidak ada yang menyenangkan, pagi ini pekerjaan yang sudah kuselesaikan dengan terjaga semalaman. Rasanya menjadi sia-sia karena tidak sengaja tersenggol oleh anak-anak yang lewat di depan tempat tinggalku. Ingin marah, namun kumerasa menjadi hal yang sia-sia. Apakah dengan marah bisa mengembalikan sesuatu seperti belum terjadi apa-apa. Tidak ada yang seperti itu didunia ini.

Ku redakan amarahku dengan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kurapihkan kembali tugas yang menjadi kacau balau ini. Tinggal kupasrahkan saja untuk siap-siap mengulang tahun depan. Aku belajar bahwa melampiaskan amarah pada mereka yang tidak mengetahui kesalahan mereka, atau marah pada mereka yang tidak sengaja menyenggol hal tersentitif dalam diri kita. Itu adalah hal yang sia-sia selain bisa menyakiti perasaan orang lain namun bisa juga menjadi beban pikiran untuk diri sendiri.

Setelah merapihkan tugas kampusku. Aku bersiap-siap untuk menuju kampus memberitahukan dosenku bahwa tugas yang diperintahkannya tidak jadi kubuat. Meski aku tahu bahwa untuk menginfokan sesuatu di jaman sekarang ini begitu mudah, Tinggal menekan angka-angka pada ponsel dan terhubunglah dengan orang yang ingin kita ajak bicara. Itu memang perihal mudah, namun aku berprinsip untuk sesuatu hal yang sangat penting, harus dikatakan dengan bertatap muka, yakni membicarakannya secara langsung.

Aku adalah mahasiswa tingkat dua, yang kadang bekerja sampingan sebagai pekerja harian di sebuah kafe. Aku gemar bersepeda, meski sekarang yang bersepeda dilakukan oleh orang-orang yang memfokuskan untuk olah raga, bagiku tidak. Pergi ke kampus, pergi ketempat kerja, berkendara sepeda menjadi kendaraan andalanku. Bukannya aku merasa hebat atau sedang mengikuti kebiasaan terkini atau apapun itu, tapi lebih karena jarak antara kos, kampus dan tempat kerja yang tidak begitu jauh, Bukankah juga lumayan untuk menghemat pengeluaran.

Sepeda yang kumiliki adalah sepeda dengan merek Fongers, sebagian orang yang mendengarnya pasti merasa takjub karena pada jamannya merek tersebut cukup terkenal. Meski begitu, sayangnya Fongers yang aku punya imitasi alias hanya tiruan. Mengapa aku mempertahankan sepeda yang usianya melebihi usiaku, bukan karena aku menyukai barang antik, bukan pula karena aku tidak mampu untuk membeli sepeda yang lebih baru. Aku mempertahankannya karena hanya itulah satu-satunya peninggalan ibuku, satu-satunya kenangan yang masih kupertahankan untuk mengenang segala hal tentangnya.

Aku tidak pernah mengingat dengan jelas bagaimana rupanya, tidak ada satu fotopun yang menyimpan wajahnya, Dalam kenangan yang kumiliki hanyalah punggungnya yang masih kuingat. Kala pagi itu aku dan ibuku berkendara ke pasar untuk membeli makanan yang akan dimasaknya. Waktu itu aku masih balita, kerusuhan tahun 1997 membuatku kehilangannya hampir segalanya, keluarga maupun tempat tinggal. Hanya tersisa sepeda ini yang ketika terjadi sepeda itu tengah dipinjam oleh paman.

Seperti biasa pagi ini aku mengayuh sepeda kesayanganku. Menikmati semilir angin, berharap dapat meluruhkan kekesalan yang sempat mampir. Seketika rasanya seperti hari itu, hari dimana aku bersama ibuku mengendarai sepeda keliling kota atau hanya sekedar pergi kepasar. Udara ini, sinar matahari ini membangkitkan euforia yang lama kusimpan.

Di pagi yang sama, di sudut taman aku pertama kali bertemu dengannya. Seekor kucing bermata hijau, dia menghampiriku yang sedang makan sambil menimati pemandangan taman. Kuberi dia sepotong roti, sebenernya aku tahu kucing tidak ada yang suka pada roti karena kucing jaman sekarang jangankan roti di kasih tulangpun enggan, meskipun tulang itu ada sedikit potongan dagingnya. Diluar dugaanku kucing itu memakannya. Kucing yang sungguh menarik, pikirku.

Seketika aku merasa jatuh hati pada kucing itu. Hal sederhana itu membuatku lebih sering mengunjunginya, meskipun pergi ke taman merupakan salah satu rutinitasku dikala jenuh pada dunia. Kadang aku menjumpainya, tuk sekedar memberinya makan roti, kadang aku memberinya nasi atau bahkan memberinya permen. Aku mengira dia tidak menyukainya, tapi pemikiranku salah. Kucing special ini menyukai apapun pemberianku, Aku tidak tahu apakah dia memang pemakan segala, meskipun tidak sedang lapar. Ataukah karena lapar dia menyukai apapun yang diberikan orang lain sehingga tak peduli apapun makanannya asal bisa mengganjal perut. Apakah itu cocok dilidah ataupun tidak, sudah tidak menjadi persoalan.

Sesekali waktu aku menjumpainya hanya dengan tangan hampa. Hanya sebuah cerita bahagia yang aku sendiri tak tau mengapa aku harus menceritakam padanya. Kadang aku merasa kasihan, namun aku berjanji untuk pertemuan berikutnya aku akan memberikan makanan yang cukup enak. Dan sepertinya dia tak hanya menyukai makanan bahkan untuk sebuah cerita dia terlihat begitu senang. Itu terlihat ketika dia bergeliat manja di kakiku saat pantatku baru saja merapat dengan bangku taman. Benarkah aura kebahagiaan itu bisa terasa bagi orang sekitarnya termasuk kucing yang sering kutemui ini?

Pertemuan dengannya seperti candu, seperti air yang menyapa musim yang kemarau, seperti awan yang memeluk mentari agar selalu teduh. Meskipun hanya seekor kucing, bukankah sebuah rasa itu hadir tanpa bisa dicegah, walaupun kita tidak bisa memilih kepada siapa rasa itu menepi.

Aku memiliki rencana untuk membawanya meneduh seatap bersamaku. Agar ketika musim hujan tiba, dia tidak perlu berlari untuk menghindarinya, atau merasakan dingin yang menusuk. Sayangnya tempat kosan aku tinggali tidak memperbolehkan memelihara hewan peliharaan. Meskipun aku menaruhnya didalam kamar dan tidak merepotkan kamar-kamar disebelahku. Tapi peraturan, tetaplah peraturan.

Selama beberapa bulan aku tidak menemuinya ditaman, bukan karena tidak ingin. Namun tugas kampus dan pekerjaan sampinganku yang sengaja kutambah menjadi penghalangnya. Aku bekerja sampingan lebih banyak agar bisa pindah kekosan yang memberikan ijin untuk memelihara hewan peliharaan. Sayangnya uang yang aku kumpulkan masih belum cukup untuk merealisasikannya.

Aku sedang beristirahat, ketika ada yang menghampiriku saat aku tengah duduk disebuah warung dekat tempat bekerjaku.

“Bang yang punya sepeda itu ya ?” tanya seseorang yang akhirnya aku tahu kalau orang tersebut adalah anak dari bos tempatku bekerja.

Aku mengangguk, menjawab pertanyaannya.

“Sepedanya dijual tidak? Atau mau tukar tambah dengan sepeda saya?” Dia menunjuk sepedanya yang posisinya berada disebelahku. Sepeda keluaran cukup anyar dengan keranjang didepannya .

“Sepeda saya bukan sepeda asli, rasanya tidak sepadan bila tukar tambah dengan sepeda anda.” Jawabku sejujurnya.

Disatu sisi aku membutuhkan uang, agar janji itu bisa terpenuhi untuk membawa kucing itu tinggal bersamaku. Disatu sisi aku merasa kenangan ibuku ada disana. Apakah ini saatnya aku untuk merelakan?

“Saya tahu, buat saya tidak menjadi masalah. Atau begini saja, bagaimana bila saya menyewa sepeda kamu selama beberapa bulan. Sebagai jaminannya kamu bisa menggunakan sepeda saya.”

Seperti inikah alam bekerja, memberikan keajaiban ketika merasa seperti tidak ada jalan keluar. Ataukah ini adalah hadiah dari sebuah usaha ketulusan. Aku merasa tidak ada penawaran yang lebih menggiurkan dari ini. Aku mendapatkan uang sewa dari sepedaku, dan aku dapat pengganti sementara sepedaku yang disewa.

Tanpa memikirkannya lagi, aku merasa tidak ada penawaran yang begitu semenyenangkan ini. Aku berjabat tangan dengannya, sembari melanjutkan cerita tentang kenangan sepeda yang aku miliki.

Seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu, setelah selesai aku bekerja dan menyelesaikan pernjanjian penyewaan itu. Aku mengaayuh sepeda pinjaman itu, untuk menemuinya. Bell yang terpasang pada sepedaku, telah kupindahkan pada sepeda baru ini. Bell itu sengaka aku pindahkan, agar kenangan dengan ibuku tidak benar-benar menghilang selama sepedaku disewakan.

Rindu ini cukup menggebu, lama tak melihatnya membuatku semakin cepat mengkayuh sepeda. Sampai ditaman itu, aku tertenggun ketika aku mendapati dia telah tak bernyawa. Aku menangis terisak tanpa suara, mengapa ada yang tega membunuhnya. Mengapa ada yang tega membiarkan tubuhnya tergencet tak tertolong. Mengapa tak ada yang menyayanginya, apakah karena hanya seekor kucing jalanan. Apakah tidak pantas untuk seekor kucing jalanan hidup dengan layak?

Aku peluk tubuhnya yang tak lagi berbentuk. Aku berlari menjahui tempat tubuhnya kutemukan. Aku buatkan lubang di salah satu sudut taman itu,. Aku kubur dia, dengan hati terperi. Aku melepasnya. Aku coba merelakannya. Ada penyesalan dalam diriku, ketika selama itu tidak menjumpainya. Ada kekesalan yang begitu sesak untuk kupertahankan. Aku berteriak sejadi-jadinya ditaman itu, aku sudah tidak memerdulikan orang-orang tengah melihatku. Mungkin mereka menganggapku seperti orang gila. Aku sungguh tidak memerdulikannya, pertahananku untuk amarah dan kekesalan pun akhirnya hancur.

Kau tau kepergianku bukan karna meninggalkanmu, jalanan terlalu kejam untuk kesendirianmu. Maafkan aku yang tak bisa membawamu secepatnya. Maafkan aku yang terlambat untuk hadir. Terkadang kebahagiaan itu beralas tipis dengan kesedihan.


27 September 2018

4 komentar:

jokbelakang mengatakan...

Kok sedih aku :(((

Unknown mengatakan...

Panutanku, kamu memang hebat love Bu Amika😘

Unknown mengatakan...

Paragraf ke-6 gak asing ya wkwkkw
Nyeduh mie kemasan dengan air dingin, kentucky jadi kentang ati 😂
Fighting untuk tulisan2 berikutnya

Mia inamia mengatakan...

Kecee bgt, bisa buat aku terhanyut ke dalam cerita nya.. Uuhhhh...

Posting Komentar