Jumat, 02 Agustus 2013

Kamu, Aku dalam perbincangan,.


Kamis itu ingin sekali aku jadikan hari wajib kita untuk bertemu. Aku sadar, bahwa itu hanya mimpi. Kamu pun menyadarkannya, bahwa itu memang hanya mimpi. Perkenalan kita mungkin tidak memiliki arti. Mungkin juga tidak meninggalkan kesan yang bisa kamu kenang. Semua biasa, mungkin termasuk perasaanmu padaku. Biasa.
Kita bertemu, tanpa terencana. Termasuk berkenalan denganmu.  Dan menjadikan obrolan kala senja itu menjadi istimewa.
“Terimakasih ya, untuk bincang-bincangnya sore ini. Sungguh menarik. Tidak menyangka menemukan teman ngobrol semenarik kamu.” Ucapku tulus. Kala perpisahan mulai mengakhiri pembicaraan kita.
“Sama-sama, senang juga berkenalan sama kamu.” Kamu tersenyum, berpamitan dan beranjak pergi. Meninggalkan sisa-sisa tawa yang masih terngiang.
Aku bisa melihatnya. Bertemu dan berkenalan denganku adalah hal yang biasa bagimu. Termasuk berbincang denganku. Aku masih diam, duduk dan mulai menghabiskan sisa kopi yang telah mendingin.
Pandangan ku alihkan ke langit. Gelap. Seperti inikah hatiku. Aku melihat ke sekitar. Sepi. Seperti inikah suasana diriku. Sepertinya itu sebelum bertemu denganmu. Pertemuan pertama denganmu, sungguh menarik perhatianku. Inikah, jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesuatu yang ku kira, mungkin hanya mampu terjadi dalam cerita.
Aku memandang jauh ke depan. Begitu banyak kerlipan lampu kota menghiasi pemandangan di café ini. Kegelapan yang mengindahkan. Mungkin ini yang tengah aku rasakan saat ini. Bisakah aku menemuimu sekali lagi. Ah, tidak. Aku ingin menemui sebanyak waktu yang di sajikan Tuhan untukku bernafas di dunia.
Aku beranjak dengan malasnya, meninggalkan tempat perbincangan aku dan kamu.  Berjalan dengan perasaan hangat menuju kasir, melakukan pembayaran.
“Maaf permisi, ada yang tertinggal. Ini sepertinya catatan penting, tadi saya menemukan di meja yang anda duduki.” Pelayan café itu menyerahkan secarik kertas padaku. Aku menerimanya. Sepertinya ini catatan milikmu. Senyumku mengembang. Benarkan, Tuhan memberikan jalan untuk kita.
Kamu, kenangan di penghujung senja.
Bolehkah aku bertanya. Mengapa waktu, tidak pernah menjadikan kebersamaan kita bertahan lebih lama dari sisa usiaku. Mengapa waktu, tidak pernah mengijinkan aku untuk memiliki kenangan lebih banyak bersamamu. Tawaku, sedihku ikut hilang bersamamu. Hatiku, jiwaku ikut pergi bersamamu. Namun Kau selalu diam, membiarkan aku terdiam disini merasakan kehampaan.
“Tuhan apa yang sedang terjadi pada hatimu. Kehilangankah dirimu ?”
Aku melipat kertas itu kembali. Menyimpannya baik-baik, agar kelak bisa menjadi alasan menyapa. Ketika Tuhan mengijinkan pertemuan tercipta di antara kita.
Aku meninggalkan café itu, menuju pelataran kendaraanku terparkir. Aku membalikkan tubuhku sebentar, menatap café itu kembali.
semoga ini tidak menjadi yang pertama dan terakhir pula, aku bertemu denganmu. Wahai pemilik kenangan senja.
*********
Empat minggu kemudian, masih di hari kamis……
“Kamu, yang waktu itu ngobrol bareng-bareng sama aku kan?” Suara itu membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh ke asal suara itu. Ada kamu. Seseorang yang aku tunggu kehadirannya beberapa minggu ini. Seseorang yang mampu menggetarkan hatiku sejak pertama kali bertemu. Seseorang yang membuatku, mungkin jatuh hati padanya.
Aku menatapnya. Masih mata yang sama. Masih senyum yang sama. Ah, senangnya kamu masih mengingat aku. Sudah berpuluh kali aku mengunjungi café ini, berharap bertemu denganmu. Berharap aku memiliki keajaiban itu.
“Kok benggong sih ?” kamu bertanya kembali. Mungkin heran melihat reaksiku.
“Ah, iiyaa. Aku yang waktu itu. Ma..aaf.” Sial, mengapa aku jadi gugup begini. Kira-kira apa yang kamu pikirkan dengan sikapku yang kaku ini.
“Maaf buat apa? Kamu aneh. Boleh dong, aku ikut gabung. Sendirian kan?” Kamu memandang bangku kosong di sebelahku.
“Silahkan, aku selalu sendirian bila kamu datang menghampiri mejaku.” Astaga, lancang sekali aku. Di pertemuan ke dua sudah berani merayumu. Aku melirik wajahmu, mencoba menebak seperti apa reaksimu.
Wajahmu terlihat datar. Seolah tidak menanggapi godaanku. Dan sungguh aku memang tidak sedang menggodamu. Kamu menarik kursi di sebelahku. Kamu kini duduk di hadapanku. Dan aku bisa memandang wajahmu lebih lama lagi. Aku tersenyum.
Kamu memandang langit yang mulai berjingga. Mentari perlahan-lahan mulai menyembunyikan dirinya. Memberikan kesempatan untuk sang bintang. Melindungi masing-masing manusia yang hidup di bawah gelapnya malam.
“Kenapa tidak mencari teman ? Menikmati senja seindah ini sendirian, apakah itu sudah lengkap menurutmu?” tanyamu tanpa memandangku.
“Bukankah hari ini aku sudah memiliki teman, yang menemaniku menikmati senja.” Aku memandang wajahnya. Menunggu reaksinya. Aku tidak peduli lagi, kamu akan mengira aku menggombal. Aku hanya ingin menciptakan kenangan, bersamamu.
Kamu tidak menjawabnya. Kamu hanya tersenyum. Senyum yang manis, membuat bibirku pun ikut mengulumkan senyum. Senyum yang melatahkan senyumku.
“Kamu sendirian saja?” Kali ini aku yang belik bertanya.
“Menurutmu?”
Sial. Kamu balik bertanya padaku. Ah, biarlah. Aku menikmati kebersamaan ini.
Kita bercerita tentang banyak hal. Tentang aku. Tentang kamu. Seperti teman lama yang sedang menikmati kenangan. Saling tertawa, saling bergurau. Kebersamaan yang sungguh menyenangkan. Kebersamaan yang tercipta dengan natural. Lepas, tanpa beban.
Beberapa waktu, kita saling terdiam. Mungkin sibuk dengan pemikiran masing-masing. Kamu dengan pikiranmu, entah membayangkan apa. Aku dengan pikiranku, sibuk membayangkan kamu. Membayangkan kamu berlama-lama menemaniku di sini.
“Apakah ini kertas milikmu ?” tanyaku sambil menyodorkan kertas yang kulipat rapih dan selalu ku simpan di tempat yang aman. Kertas yang tempo hari, di berikan pelayan untukku. Kertas yang katanya tertinggal di tempat kita pertama kali berbincang.
Kamu mengambil kertas itu, dan mulai membuka lipatan-lipatannya.
“Ini memang milikku, pasti tidak sengaja tertinggal saat kita bincang-bincang waktu itu ya? Terima kasih.”
Kamu tersenyum. Kamu mulai merobek kertas itu. Aku binggung, mengapa tulisan sebagus itu harus di robek. Tapi aku tidak bertanya. Aku lebih memilih untuk diam. Aku hanya terus memperhatikan. Kamu.
“Kadang hal sebagus apapun, bila waktunya telah berlalu. Hanya akan tetap menjadi kenangan, bukan? Tidak mungkin menjelma kembali ke masa nanti.”
Usai mengatakan kalimat tersebut. Kamu tersenyum kembali. Menatap senja yang semakin indah. Kita pun kembali terdiam dalam waktu yang lama.
Kamis-kamis berikutnya. Menjadi rutinitas kita. Bertemu, bercerita dan tertawa. Dari sekian banyak hari, entah mengapa selalu hari kamis. Perjumpaan kita sering tercipta. Mungkin karena aku hanya datang pada hari kamis ke café itu.
********
“Namamu siapa ?” Aku bertanya padamu. Kala perjumpaan kita yang kesekian kalinya. Masih di café yang sama. Masih di hari yang sama, kamis.
“Seberapa penting sih, arti sebuah nama buat kamu ?” kamu tersenyum.
Senyum yang selalu aku suka.
“Penting sekali. Bila aku bertemu denganmu selain di tempat ini aku bisa berteriak memanggil namamu. Tidak dengan sebutan eh eh eh. Siapa tau dengan mengetahui namamu, aku bisa mengajakmu lebih lama berbincang di sini. Tidak untuk saat ini saja, tapi juga esok dan seterusnya. Siapa tau namamu bisa aku ukir di hatiku.”
Seusai mengatakan pengakuan itu. Kamu menatapku lebih lama dari biasanya. Mungkin mencoba mencari kejujuran dari setiap kata yang aku ucapkan. Atau mungkin sedang mencari kebohongan dari setiap kata yang aku utarakan.
Kamu terdiam lama sekali, kemudian tersenyum. Kamu memalingkan wajahmu menatap langit yang kini mulai merona.
“Kamu percaya yang namanya keajaiban. Atau kamu percaya dengan yang namanya takdir. Biarlah Tuhan memberikan jalan. Apakah kita memiliki takdir yang sama. Ataukah keajaiban kita, memiliki jalan yang berbeda. Aku, kamu dan takdir. Biarlah dipertemuan selanjutnya, aku yang akan bertanya siapa namamu. Saat itu, takdir kita yang akan menentukan.”
Aku terdiam, mencoba mencari-cari jawaban dari rangkaian kata-kata yang kamu ucapkan. Sebelum aku menyadari sesungguhnya makna ucapanmu. Kamu telah berpamitan untuk beranjak dari bangku bincang kita. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, mengantar kepergianmu. Hilang, meninggalkan punggung yang tidak pernah ku lihat kembali sosoknya. Untuk esok, lusa dan seterusnya.
*******
Masih di café yang sama. Masih dalam suasana yang sama. Aku menunggumu, sesuai pesan yang kamu sampaikan pada pelayan kala aku datang waktu itu. Mencarimu.
Aku menunggumu. Hari ini. Belum ada kamu. Hanya ada aku. Diam, menikmati senja dan kenangan kita yang sesaat.
Aku masih menunggumu. Hingga senja itu perlahan lenyap dalam pandanganku. Berganti gelap. Memunculkan cahaya lampu kota dari kejauhan.
“Permisi mbak, ada titipan surat buat mbak.” Pelayan café itu memberikan selembar kertas yang terlipat rapih di bungkus dengan amplop.
“Dari siapa?” tanyaku heran. Seperti jaman dulu saja, mendapat surat.
“Dari orang yang sering ngobrol berdua sama mbak di sini tempo hari itu, katanya kalo mbak datang ke sini tolong surat itu di kasi ke mbak.” Ujar pelayan itu memberikan penjelasannya.
Aku menerima surat itu. Membukanya perlahan dan mulai membacanya.
Kamu, kenangan di penghujung senja.
Bolehkah aku bertanya. Mengapa waktu, tidak pernah menjadikan kebersamaan kita bertahan lebih lama dari sisa usiaku. Mengapa waktu, tidak pernah mengijinkan aku untuk memiliki kenangan lebih banyak bersamamu. Tawaku, sedihku ikut hilang bersamamu. Hatiku, jiwaku ikut pergi bersamamu. Namun Kau selalu diam, membiarkan aku terdiam disini merasakan kehampaan.
Aku tersenyum. Kalimat itu masih saja kamu ingat. Kalimat tentang kenangan laluku. Kalimat yang pernah kamu baca. Kala kertas itu tertinggal saat perjumpaan pertama kita.
“Kamu mau bermain teka teki denganku ya ?” Ucapku dalam hati.
Aku melanjutkan kembali membaca suratmu.
Aku percaya kamu datang, mencariku. Masih melihat senja yang sama. Senja yang sering kita lihat bersama. Aku menunggumu, selalu. Hingga aku sadar, waktu ku tidak lagi banyak. Bila senja telah lenyap, dan aku tidak datang. Aku menitipkan surat ini, untuk di berikannya padamu. Surat ini pengganti kehadiranku. Aku kini hanyalah debu. Terhempas udara, melayang, terdapar. Entah mendarat dimana. Tapi aku selalu berdoa kepada Tuhan. Lewat udara, biarkanlah debu ini terhisap masuk kedalam paru-parumu. Agar aku bisa bermukim lama dalam tubuhmu. Menyatu bersama jiwamu. Mengukir namaku di sanubarimu.
Membicarakan takdir dan keajaiban. Kamulah keajaiban yang di hadirkan Tuhan untukku. Tapi takdir Tuhan tidak berpihak padaku. Dia tidak pernah membiarkan aku mengetahui namamu. Nama yang selalu ingin aku sebut dalam tiap mimpiku. Aku tidak ingin egois dan membuatmu penasaran. Bila kamu ingin mengetahui namaku. Kunjungilah aku, di pemakaman utara dekat pohon kamboja putih. Disana aku melihat senja yang sama dengan yang kamu lihat hari ini.
Aku, debu diantara senja.
Air mata ini menetes tanpa bisa aku cegah.
Mengapa harus begini Tuhan, mengapa harus aku mengalaminya lagi. Aku meninggalkannya karena aku ingin percaya, pertemuan dengannya tidak berarti apa-apa. Tapi aku salah, pertemuan singkat dengannya memiliki arti. Aku hanya meninggalkannya sebentar. Aku hanya ingin percaya takdir dan keajaiban ada untuk aku dan dirinya. Meski aku tidak mengatakan begitu padanya. Aku hanya ingin mencoba meyakinkan hatiku. Bahwa dengannya aku mampu melepaskan masa lalu ku. Bahwa dengannya, aku mampu membuka lembar baru tanpa menjadikannya pelarian. Hingga aku telah memantapkan hatiku. Aku ingin berkata padanya, “aku tyas, Seraningtyas. Mengijinkan kamu, untuk mengukir namaku di hatimu.” Namun kalimat itu hanya angin, yang tak sempat aku ucapkan padanya.


06:14 pm
25 Juli 2013

catatan :
Cerpen ini tadinya ingin di ikuti dalam #1bulan1cerpen pada @klubbuku, tapi nggak jadi. Karena ketika menanyakan pendapat teman. Cerpen ini tidak pada tema penyesalan, tapi ke tema jual mahal. Aku hanya tersenyum mengingatnya, dan membiarkannya tetap ada di blog ku :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar