Senin, 28 September 2015

Kamisan #10 - Seassion 3 : KOMA!

Dear Keii,

Masih seringkah kamu kesini? Masih seringkah kamu memandang langit malam? Masihkah kamu dengan setia menunggu pagi menjelang. Hanya untuk melihat benda semesta bernama bintang. Benda yang akan terlihat berlimpah ketika malam menuju pergantian pagi.

Ingatkah kamu, kita sering melakukannya disini. Diatap rumah lamamu. Duduk sejajarkan genting berwarna merah bata kekuningan. Kita tidak saling melemparkan kata, maupun membuka suara, hanya suara desah nafas. Karena kita terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kala itu, asap menyebul dari bibir mungilmu, selenting rokok terhimpit erat diantara jemarimu. Kamu tengah merebahkan tubuhmu diatas genting. Aku masih mengingat jelas ritualmu. Matamu mulai terpejam. Sepersekian menit tanganmu bergerak, mengarahkan rokok kedalam mulutmu dan kemudian menghisapnya erat-erat. Menahannya sekian detik, lalu menghembuskannya secara perlahan. Asap berwana violet pun menembus udara, menghilang terbawa angin.

Saat surat ini aku tulis, aku sedang berada di atap yang sama, bila kamu ingin mengetahuinya. Atap dimana kita sering memandang bintang, atau hanya sekedar untuk berdiam-diaman sambil melepaskan penat. Atap yang menjadi salah satu saksi kebersamaan kita, yang tanpa banyak suara namun kita betah untuk berlama-lama.

Maafkan aku yang seperti pecundang. Ketika kamu membaca surat ini, dipastikan aku tidak sedang bersamamu. Karena apabila bersamamu, terlebih dahulu aku akan mengambil surat ini dari tempat persembunyiannya sebelum dirimu mengetahuinya. Kalaupun kamu sudah mengambil surat ini dan hendak membaca, aku pasti akan merebutnya. Dan kamu akan membalas untuk merebutnya. Kamu tahu hal yang aku lakukan adalah meremas kertas ini dan memakannya. Agar aku tidak malu saat kamu membacanya dihadapanku.

Aku tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Ada rasa yang begitu sakit didalam diriku, seolah aku sesak tidak bisa bernafas. Padahal aku telah menghirup udara begitu banyak. Namun rasa sesak itu enggan lenyap. Ada pula amarah yang begitu besar, hingga tangan ini bergetar. Ada air yang timbul ditepian mataku, padahal aku tahu aku tidak sedang bersedih. Aku merasa terluka entah pada apa dan siapa.

Maafkan aku Keii, sudah beberapa hari ini mendiamkanmu. Membuatmu menghisap nikotin lebih banyak dari biasanya. Karena aku tidak ada disaat masa-masa tersulitmu.

Maafkan aku Keii tidak bisa memberikanmu pelukan terhangat, yang seharusnya bisa menenangkanmu. Yang seharusnya bisa meredakan tangismu.

Sepertinya kamu tidak pernah kesini lagi, sejak kepergian ayahmu. Aku tahu mungkin kamu ingin kesini, namun melihatku ada, kamu bergegas pergi kembali. Atap ini sepi Keii tanpamu. Sepertiku.

Koma


Ada selembar foto terselip diantara surat dalam amplop. Sebuah foto yang telah terobek bagian atasnya. Foto yang tidak untuh itu hanya memperlihatkan bagian tubuh sepasang wanita dan pria yang tengah berdiri berhadapan. Bagian tubuh dari pinggang hingga ke kaki.

*****

“Aku tidak menyangka bila anak ayah angkatku adalah kamu,”

“Aku pun tidak menyangka, bila kakak tiriku pun adalah kamu.”

“Dunia sepertinya mempermainkanku, mengejar seseorang yang ternyata tidak lain adalah adikku sendiri.”
Nafas itu terasa berat terdengar, seolah ada beban berat yang tengah dirasakannya.

“Keii, bolehkah aku memelukmu ?”

Ada hening sesaat, seolah ada rasa ragu. Namun Keii pun mengangguk, dan mulai memeluknya.

“Keii, mulai sekarang pandanglah aku sebagai kakakmu. Pandanglah aku sebagai saudaramu yang akan melindungimu seumur hidupku. Dan aku kan mencoba untuk memandangmu tidak lebih dari sekedar adikku. Ternyata takdir kali ini lebih memihak Koma.”

“Keii… Bima..”

Keii dan Bima pun melepaskan pelukan. Ternyata itu adalah suara Alee yang tengah memotret.


11:51 pm
26 September 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar