16 Februari 2014
‘Cieee yang lagi liburan,’
kira-kira begitulah bunyi pesan BBM (Blackberry
Messenger) yang ku kirimkan, setelah melihat statusmu pada update
dilayanan BBM itu sendiri. Pesanku terkirim, atau dalam arti delivered dengan ditandai huruf ‘D’ pada
posisi kiri, sebaris dengan pesan yang aku kirim. Sedetik kemudian, lambang ‘D’
berubah menjadi lambang ‘R’ yang menandakan bahwa pesan itu telah dibaca olehmu.
“Hehehe iya nih,” begitulah
balasan pesanmu.
Aku pun membalas kembali pesanmu,
“liburan kemana ?”
“Ke Ancol, mau ikut ?”
Tanpa perintah, bibirku
mengulumkan senyum. ‘andai saja bisa,’ ucapku dalam hati.
“Na kerja, pergi sama siapa ?”
“Yaaaaah, pergi sama teman-teman
Na”
“Selamat berlibur ya,”
“Terima kasih, Na selamat bekerja
ya,” aku tersenyum. Meski aku tau senyum itu tidak akan pernah terlihat
olehmu.
Entah mengapa perbincangan kecil
bersamamu selalu menyenangkan. Aku menaruh ponsel ke dalam saku, dan mulai
bekerja kembali. Seharusnya memang aku mencari pekerjaan lain, dimana di hari
sabtu aku bisa libur. Hari dimana, mungkin aku bisa menghabiskan banyak waktuku
untuk bisa berbincang denganmu.
Rasanya senang sekali, setiap kali aku
mengingatmu. Saat kita berbincang, saat matamu enggan menatapku. Saat matamu
lebih senang menerawang memandang awan, dibandingkan menatap mataku, sang lawan
bicaramu. Saat dimana banyak cerita mengudara, saat mentari dengan sayunya
tenggelam, mengantarkan malam. Semua itu masih aku rekam dengan jelas ke dalam
ingatanku, tanpa aku perintah. Ah, begitu istimewanya kamu.
********
28 Agustus 2013
“Na, besok jadi ?”
“Jadi dong, besok Na berangkat
jam 5 dari sini,”
“Oke, hati-hati di jalan ya.
Kabarin kalau udah mau berangkat”
Aku pun mengangguk “oke.”
Anggukan yang tidak mungkin terlihat olehmu. Bagaimana bisa terlihat, sementara
jarakmu puluhan kilometer dari tempatku berada kini. Perbincangan singkat itu
pun berakhir.
Rasanya tidak sabar menunggu hari
esok. Hari dimana kita merencanakan untuk pergi menggunjungi sebuah taman.
Taman yang penuh dengan bunga-bunga nan indah. Taman yang belum pernah aku dan
kamu kunjungi. Taman yang menjadi pilihan, untuk kita menghabiskan waktu bersama.
Aku pun men-setting alarm pada ponselku. Dan berusaha untuk tidur lebih cepat, namun
gagal. Rasa berdebar menunggu perjumpaan esok ternyata telah mengalahkan rasa
kantukku.
Entah tertidur jam berapa semalam
tadi, yang pasti pagi ini aku terlambat bangun. Aku melihat ponselku, angka
digital itu menunjukkan, aku terbangun telat satu jam dari angka alarm yang ku setting semalam.
“Alarm sialan, kenapa nggak bunyi sih,” aku menggerutu sambil
membasahi tubuhku dengan air.
Dingin, sebuah rasa yang
kurasakan saat air-air itu menyentuh tubuhku. Tidak pernah aku mandi dan bangun
sepagi ini. Pekerjaanku sebagai freelancer,
membuatku tidak terbiasa tidur lebih cepat dan terbangun lebih pagi.
Secepat kilat aku berpakaian dan
berkemas, sebelum bergegas keluar dari kamar kosan yang berukuran 4 x 6 meter ini.
Aku menyambar ponselku yang terletak di atas kasur. Aku mengeceknya, ada sebuah
pesan, dan itu pesan darimu.
‘Sudah bangun belum ?’
Aku tersenyum, ‘maaf bangunnya terlambat,
Na berangkat sekarang.’ Seusai mengetik kalimat tersebut, aku memencet tombol send,
pesan itu terkirim. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku, kemudian bergegas
menuju tempat motorku terparkir.
Angin dingin pagi ini, menerpa
wajahku. Mengiringi perjalananku menuju tempat perjanjian kita. Hari ini
rasanya kendaraan-kendaraan itu menyemangatiku, mendukung perjalananku. Tidak
banyak kendaraan yang lalu lalang, selama aku menyusuri jalan dari Sukabumi ke
Bogor. Pemandangan pegununungan nan biru, jalanan yang berliku serta mentari yang sayup-sayup menyesap
hangat menyentuh kulitku. Semua terasa menyenangkan.
Tidak terasa aku telah sampai di kota Cianjur. Kota
perbatasan, antara kotaku dan kotamu, serta kota yang menjadi tempat perjanjian kita. Aku membelokkan motorku ke arah kanan, terdapat sebuah SPBU, tempat mengisi bahan bakar kendaraan. Sebelum melanjutkan perjalanan kembali,
aku mengeluarkan ponselku. Menuliskan pesan padamu, yang memberikan info bahwa
aku sebentar lagi akan sampai lokasi. Aku memasukkan ponselku kembali dan
melanjutkan perjalanan.
‘Dimana ? Na udah sampai.” aku
mengirimkan pesan padanya begitu tiba di lokasi tempat perjanjian bertemu.
Saat ingin memasukkannya ke saku,
ponselku bergetar, ‘masih di angkot, sebentar lagi sampai,’ balasamu.
Sambil menunggumu, aku pun bermain game di ponselku. Selang beberapa menit, ada sepasang tangan lembut menyentuh mataku, menggelapkan pandanganku.
“Ang….” aku bersuara, berusaha menebaknya.
“Hehehee”
Suara yang terdengar merdu
ditelingaku. Kamu melepaskan tangan lembutmu dari mataku.
Aku berbalik badan, menatap wajahmu yang kamu buat mengkerut, “Kok tau sih ?”
Aku hanya tersenyum, adalah sebuah jawaban
dari pertanyaanmu. Bukankah tidak selamanya pertanyaan yang terlontar berupa kata, harus dibalas dengan perkataan juga.
Aku memboncengmu, menempatkanmu
di belakang punggungku pada kendaraan roda duaku. Cerita tentang kita pun
dimulai.
“Hari ini, harusnya ada rapat koordinator
nih,” kamu membuka suara.
“Terus, kok nggak ikutan ? apa mau pulang saja, nggak apa-apa kok. Nanti Na anter.”
Aku memelankan kendaraanku, bersiap
berbalik arah. Sebelum perjalanan semakin jauh dari jalan utama.
“Nggak lah, siapa suruh rapatnya dadakan. Ang kan udah janjian
jauh-jauh hari sama Na.”
Aku menggerakkan kaca spionku. Berharap aku bisa melihat ekspesimu
saat mengatakan hal itu, sayangnya aku tidak bisa melihatnya. Pastinya ada rasa di hati yang tengah berdendang karena kalimatmu.
Aku tersenyum.
Terlalu singkat rasanya
perjalanan menuju Taman Bunga ini. Aku memarkirkan kendaraanku, sedangkan kamu
telah turun terlebih dahulu untuk mengantri membeli tiket. Aku menghampirimu,
saat kendaraanku sudah terparkir dengan manisnya.
“Berapa ? ini duitnya,” Aku
menyodorkan uang lima puluh ribu, untuk mengganti tiket yang telah dibeli olehmu.
“Nggak usah, simpan saja. Ang traktir,” kamu pun bergegas berjalan
menuju pintu masuk taman.
Aku mengikutimu dari belakang,
“seriusan ih.” Aku tetap memaksa, menyodorkan uang untuk mengganti tiketnya.
“Beneran, nggak usah. Nanti saja gantian Na yang traktir.”
“Ya sudah kalau nggak mau,” aku memasukkan kembali uang
tersebut di saku celana.
Kita berjalan-jalan menikmati
warna-warni bunga yang menghias taman tersebut. Sesekali kita duduk, untuk
berfoto. Mengabadikan hal-hal yang mungkin kelak, kita sendiri sama-sama akan
melupakannya. Kita saling bertukar cerita, bertukar canda. Kamu bercerita tentang
segala hal yang kamu alami, pekerjaanmu, tingkah lucu ibumu sampai perihal
bunga-bunga yang mulai tumbuh di pekarangan rumahmu. Tidak terasa waktu
bergulir dengan cepatnya, mentari pun tengah gagah berada di atas kepala kita.
“Beli souvenir dulu yuk sebelum pulang.”
Kamu berlari kecil ke toko yang
letaknya sejajar dengan pintu keluar. Kamu masuk ke dalam toko tersebut, aku
mengikutimu dari belakang.
Aku melihat-lihat souvenir yang ada di dalam toko
tersebut. Ada kaos bertuliskan ‘Taman Bunga Nusantara’ dengan ditemani
gambar taman bunga berwana-warni. Ada pula pajangan-pajangan yang aku tebak bukan merupakan
ciri khas souvenir taman ini. Ada
pula topi-topi lebar yang sering aku lihat dipakai oleh wisatawan-wisatawan dari korea.
Aku melirik ke arahmu, kamu tengah sibuk memilih dan memilah gantungan kunci.
Aku berjalan ke arahmu, ikut melihat gantungan kunci yang tengah kamu pilih.
Gantungan-gantungan kunci itu terbuat dari kaca, dimana di dalamnya terdapat bunga
kering dengan tulisan ‘Taman Bunga Nusantara’.
“Pilih Na mana yang bagus,”
ucapmu. Matamu tak lepas dari gantungan kunci itu.
Aku melihatnya, ikut mencari yang
kira-kira menurutku menarik. Namun nihil, “Nggak
ada yang bagus.”
“Ayo dong dipilih, Ang kan
pengen kita punya gantungan yang samaan.”
Aku terbengong, mencoba mencerna
kata-kata yang barusan diucapkannya.
“Kok bengong, ayo dipilih. Cari
yang warna sama bentuknya samaan ya," ucapmu. Mengembalikan kesadaranku.
Aku pun dengan reflek ikut
memilih gantungan kunci itu. Sayangnya tidak ada yang bentuknya sama, hanya
warna pada gantungannya saja yang sama. Akhirnya pilihan jatuh pada bentuk oval
dan bentuk hati. Kamu membayar souvenir
yang telah terpilih.
“Na mau yang mana ?” Kamu
menyodorkan padaku bentuk oval dan bentuk hati.
Aku mengambil gantungan kunci
berbentuk oval, ‘biarlah hati itu ku titipkan padamu.’
********
“Mbak tiket transformernya dua,
untuk yang jam lima ya,” ucapku pada mbak petugas loket bioskop.
Kamu membuka dompetmu, mengambil
uang seratus ribu hendak membayar. Tangan kiriku menggenggam tangan kananmu,
mencegah uang itu mendarat mulus pada tangan petugas loketnya.
“Ini mbak uangnya,” aku
menyerahkan uang lima puluh ribu dua lembar kepada petugasnya.
“Na ngapain pegang tangan Ang ?”
kamu membuka suara, ketika tanganku tak jua melepaskan tanganmu.
Aku melepaskan genggaman tanganku pada pergelangan tanganmu.
“Maaf. Kamu juga ngapain pegang duit, mau bayar tiket ?” aku balas bertanya.
“Maaf. Kamu juga ngapain pegang duit, mau bayar tiket ?” aku balas bertanya.
Kamu mengangguk.
“Nggak, dari tadi itu kamu udah bayarin Na. Gantian dong,” ucapku
tegas.
Kamu terdiam dan memasukkan
kembali uang tersebut dalam dompetmu. Aku mengambil tiket yang di berikan
penjaga loket beserta dengan uang kembaliannya.
Menunggu pintu theater dibuka, kita pun mencari tempat untuk duduk. Sofa di
lorong pintu masuk film yang akan kita tonton, menjadi pilihannya. Kita pun mulai mengomentari film-film
yang posternya tengah terpampang pada dinding. Dari film yang sudah pernah ditonton maupun film yang belum pernah sama sekali dilihat thiller nya. Menyenangkan sekali, untukku.
“Na, Ang ke toilet dulu ya,” Aku
mengangguk, tanda menyetujuinya.
Kamu pun berlalu pergi, namun tidak
lama kamu pun kembali.
“Tiketnya mana ? takutnya di
toilet lama, jadi kalau sudah mulai Na masuk ke dalam saja duluan.”
Aku pun menyerahkan potongan
tiket bagianmu sebelum kamu berlalu pergi.
Aku mengambil kamera digitalku
dari dalam tas, mulai melihat foto-foto kita. Foto-foto kita sewaktu di Taman
Bunga. Ada kamu tengah bergaya di kebun yang penuh dengan tumbuhan mawar. Ada pula foto kita yang tengah bergaya dengan jenaka. Aku tersenyum, sesekali tertawa kecil saat satu persatu foto itu aku lihat.
“Nggak jadi ke toilet,” ujarmu saat mendaratkan tubuhmu di sofa di
sampingku.
Aku memandangmu, mematikan
kameraku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
“Kepada para penonton yang telah memiliki karcis theater 2, diharapkan
segera masuk ke theater karena film akan segera di mulai. Terima kasih”
Suara petugas informasi menggema
memenuhi lorong bioskop. Itu adalah panggilan untuk setiap film yang akan dimulai. Aku memandang tiket film kita. Theater dua, adalah tempat untuk kita menonton film yang sudah terpesan tadi. Kita pun beranjak menuju pintu theater tersebut.
Saat durasi film tengah berjalan lima belas
menit, petugas bioskop datang menghampiri bangku yang menjadi tempat kita menikmati film. Petugas itu memberikan dua kotak
makanan.
“Maaf mas, saya tidak pesan,”
ucapku pelan pada petugas itu.
“Ang yang pesen Na, makasih ya.” Kamu pun
mengambil dua kotak makanan itu.
Kamu membuka penutup makanannya,
harum kentang goreng memenuhi udara menyentuh penciumanku.
“Kapan pesannya ?” tanyaku heran.
Mengingat-ingat kapan kamu memesan makanan ini.
“Tadi pas bilang mau ke toilet.
Makan nih, Na belum makan dari pagi kan ?” Kamu menyodorkan satu kotak makanan
yang sudah terbuka itu ke arahku.
Rasanya begitu melambung, aku tidak
menyangka sebegitu besar perhatianmu padaku. Aku memandang wajahmu di tengah
kegelapan bioskop. ‘sial, aku tidak bisa melihat ekspresi wajahmu saat
mengatakan hal itu,’ ucapku dalam hati.
“Makasih ya,” akhirnya hanya
kalimat itu yang meluncur dari bibirku.
Sejujurnya aku tidak mampu berkonsentrasi
sampai film itu usai kita tonton. Terlalu hangat perlakuan yang aku rasakan
darimu. Seperti biasa, seusai nonton kita duduk di bangku café yang letaknya
berada di beranda sebelah bioskop. Di beranda itu kita dapat melihat
lampu-lampu kota dengan kerlap-kerlip mengagumkan. Kita mulai berbicara kembali
tentang apa saja.
********
21 Februari 2014
Pada suatu senja aku dengan bergegas
mengunjungimu. Melarikan motorku demikian lesat. Aku mendapati kabarmu tidak
sedang baik, kamu tengah tertimpa musibah. Motor yang kamu tumpangi mengalami
kecelakaan, beberapa jahitan dengan manis telah mendarat dipelipis matamu. Aku
sedih mendengar kabar itu. Tiga jam kemudian aku telah sampai pada rumahmu. Ada
adik bungsumu membukakan pintu untukku, sesaat setelah salam aku ucapkan. Aku
mendapatimu tengah tertidur lelap, dan aku hanya mampu memandang wajahmu tanpa
berani membangunkan lelapmu.
Ada memar ungu memenuhi matamu
sebelah kiri. Ingin sekali aku menyentuhnya, namun aku menahan diri. Aku menaruh
ranselku pada sofa di ruang tamumu. Adikmu datang menghampiriku dengan segelas teh manis panas dan camilan kue kering.
“Silahkan kak,” ujarnya saat
gelas dan cemilan itu bersentuhan dengan meja.
Aku menyesap hangat teh buatan adikmu.
“Kok bisa kakakmu kecelakaan,
bagaimana ceritanya Nis ?”
Adikmu bercerita secara detail
bagaimana kecelakaan itu terjadi. Saat itu kamu tengah mengunjungi salah
satu acara di kantormu. Kamu yang belum terlalu lihai dan belum memiliki
sim kendaraan bermotor pun, bermaksud memotong jalan untuk menghindari polisi.
Sayang sekali jalan yang dia pilih ternyata memiliki liku jalur yang cukup
berkelak-kelok, tidak mampu menahan keseimbangan. Akhirnya motormu terjatuh,
dan menghasilkan luka di pelipis matamu dan beberapa memar di tubuhmu.
“Padahal dua minggu lagi kakak
lamaran, kira-kira bisa hilang nggak
ya lukanya,” ujar adikmu melanjutkan ceritanya.
Aku yang sedang minum teh tersendak mendengar kalimat yang baru saja ku dengar.
“Lamaran ?” aku mengulang kata
itu, seolah ingin mencari penjelasan lebih.
“Iya”
“Dijodohin ?”
“Nggak, mereka sudah pacaran setahun kok kak. Tanggal 16 kemarin kan
kakak pergi sama keluarga calonnya ke Ancol. Memang kakak nggak cerita ?” Adikmu pun tidak kalah terkejutnya, mengingat aku
begitu dekat sekali dengan kakaknya.
“Mungkin bercerita, tapi aku yang
mungkin tidak menyadarinya, hehehe “ aku mencoba mencairkan suasana yang sempat
beku. Meski hati ini perlahan-lahan ikut membeku.
Tubuhmu muncul di balik pintu
tempat kamu terlelap tadi, “Na kapan sampai ?”
Aku menoleh ke arahmu, beranjak
dan menghampirimu.
“Baru saja kok, udah istirahat di
kamar saja nggak usah keluar”
“Bosen tidur terus, nanti kan jam
empat ada periksa ke klinik,” ujarmu sambil merebahkan tubuhmu pada sofa.
Aku pun ikut duduk di sebelahmu,
“ke sana sama siapa ?”
“Naik ojek mungkin, memangnya Na
mau nganterin ?”
“Ok, Na anterin.” Ucapku mantab.
Kita pun berbincang-bincang, aku
bertanya kembali bagaimana bisa kamu kecelakaan. Kamu bercerita dengan
antusias. Aku suka sekali memerhatikan wajahmu yang tengah bercerita, sayangnya
lagi-lagi matamu tidak pernah berani menatapku langsung. Tapi aku selalu
menikmati hal-hal seperti ini.
Waktu mengantarkanmu pun telah
tiba, kini kita berada dalam satu kendaraan. Tidak ada perbincangan, hanya
suara kendaraan yang terdengar ketika berpapasan dengan motorku. Sesampainya di
klinik, aku dengan setia menunggumu kala dokter tengah memeriksamu.
“Boleh aku memelukmu ?” ucapku
ketika telah sampai kembali di rumahmu.
Kamu mengangguk, aku memelukmu
demikian erat. Seolah rindu yang aku simpan telah tumpah pada pelukan ini.
“Aku sayang kamu Ang, semoga
acara lamarannya lancar yah,” ucapku seraya melepaskan pelukanku.
Kamu terkejut mendengar ucapanku,
wajahmu terlihat kaku, tanpa ekspresi.
Kamu terdiam cukup lama, “Na tahu
dari siapa ?”
Aku menarik nafas panjang, “Na
tahu dari Nis, adikmu. Kenapa nggak
pernah cerita sih ?”
Kamu terdiam, tidak ada jawaban
apa-apa keluar darimu. Aku yang melihat situasi menjadi tegang, akhirnya
memilih untuk beranjak pulang.
“Na pulang ya Ang, salam buat
ibu. Jaga diri baik-baik ya,”
Aku melambai ke arahmu, sebelum
kendaraanku pergi meninggalkan rumahmu.
09:00
pm
29
Juni 2014
4 komentar:
-.- -.- -.-
kenapa li?
"Jika akhirnya kita tidak bisa bersama, lepaskanlah aku dengan tersenyum... datang ya ke pernikahanku." Astaga ini kalimat keputer lagi:'( kak cebonk bikin cediiihh agiiihhh
Tau Liebster Award? selamat buat kamu! coba deh cek http://coffee-philia.blogspot.com/2014/07/first-liebster-award.html *note: bukan iklan obat kurus
Posting Komentar