Minggu, 05 Mei 2013

Senja, Matahari, dan Awan


Sore ini, senja yang selalu menyinari hari-hari kita. Sore dimana aku menemukan titik-titik rindu itu. Ada kamu, yang selalu menemaniku melewati senja di kota ini. Ada kamu, yang selalu dengan semangat bercerita tanpa rasa lelah.
Kopi ini, minuman penuh kafein yang selalu kamu hadirkan untuk menemani perbincangan kita. Perbincangan tanpa tema. Perbincangan yang menghasilkan begitu banyak cerita. Cerita yang menghasilkan cerita selanjutnya.
Masih sama di sore ini.  Senja yang menghadirkan pilur-pilur rindu.  Dengan tatapan hangatmu. Aku merasa bersyukur telah di hadirkan ke dunia. Apakah kamu merasakan hal yang sama?
“Aku ingin menjadi perempuan di atas awan, bisakah?” pertanyaan awalmu di perbincangan senja ini.
Aku menyesap hangat kopi yang kamu sajikan. ” Bisa saja, bila kamu menginginkannya?”.
“Caranya bagaimana? Apa aku harus mendaki mahameru, untuk bisa menjadi perempuan di atas awan”. Matanya berbinar-binar, mengharapan jawaban untuk mengobati penasarannya.
“Naik pesawat saja, nanti juga bisa menjadi perempuan di atas awan”. Jawabku asal “Sepertinya kamu terlalu menghayati film yang kemarin habis kamu nonton ya?” ujarku selanjutnya.
Matanya menerawang ke langit. Tatapan sedu itu. Ingin sekali aku menguncinya dan membuangnya jauh-jauh. Aku membenci melihat tatapanmu yang seperti itu. Seolah ada harapan yang tersimpan, tapi tidak ingin kamu ceritakan kepada siapapun.
“Mungkin juga kali yah, he..he..he..” Kamu beranjak dari bangku bodoh kita dan mulai memeriksa tanaman yang kamu tanam kemarin.
“Kadang hidup kita itu monoton ya, yang dikerjain hanya itu-itu saja?” kamu bertanya kembali, tanpa melepaskan pandanganmu dari tanaman itu.
Sepertinya perbincanan sore ini akan begitu menarik. Jarang aku melihat ekspresinya yang seperti ini.
“Memang monoton, kamu ada ide apa untuk membuatnya menjadi menarik?” tantangku. Aku menatap punggungmu. Menatapmu seperti ini. Seolah aku melihatnya membuatku rela meninggalkan kesenangan yang lain. Namun suasana seperti ini, tidak akan pernah tergantikan oleh apapun di dunia ini. Saat ini kamulah matahariku.
“Gimana?” punggung itu berbalik. Menatap lekat wajahku.
Aku yang di tatap tiba-tiba, merasa salah tingkah. Aku membuang pandanganku ke langit. Merelaxkan pikiran. Aku berharap sikap salah tingkah ini tidak terbaca olehmu.
Aku kembali menatapmu. “gimana apanya ya?” Tanyaku polos.
Jujur aku tidak mengerti gimana yang kamu maksudkan. Ini pasti karena lamunanku tadi. Dasar bodoh. Aku mulai mengutuki diriku sendiri.
“Kebiasaan deh, suka asik sama pikirannya sendiri. Sampai aku ngomong di kacangin. Mikirin apa sih?” Kamu mulai beranjak meninggalkan tanaman itu dan duduk di hadapanku.
Tatapan itu. Aku mulai membenci tatapan itu. Tatapan yang membuatku susah untuk bersembunyi. Tatapan yang sama. Tatapan yang selalu membuatku jatuh hati.
“Aku lagi berfikir, kalau ternyata kita nggak bisa menikmati sore seperti ini lagi. Bagaimana ya?” Pernyataan itu begitu saja keluar dari mulutku. Sumpah, aku ingin menarik ulang ucapan itu.
“Ya tidak bagaimana, paling aku merasa kehilangan. Merasa rindu. Apa kamu ingin kita tidak berjumpa dulu, seperti film yang aku nonton kemarin?” Kamu menatapku begitu lekat, seolah ingin mencari kebenaran dari ucapanku sebelumnya.
Aku tidak menyangka, kamu menantang ucapanku. Ucapan yang tidak aku pikirkan sama sekali. Aku pun membalas tatapanmu.
“Kita coba yuk, mau gak?” Ucapmu kemudian.
Tatapan matamu begitu berbinar. Tuhan, semoga ini hanya mimpi khayalku saja. Aku tidak bisa bila dihariku tidak ada kamu. Kamu adalah salah satu alasan, hingga saat ini senyumku masih ku kembangkan.
“Kok benggong sih, gimana?” tanyanya kembali. Mengaburkan lamunanku.
“Kkamu yaakin?” tanyaku kemudian. Suara ku bergetar menahan sesak, semoga kamu tidak menyadarinya.
Kamu menganggukan kepala. “Nggak perlu lama-lama. Sebulan lagi, kita ketemu di sini. ok kan?” Sebuah pertanyaan yang berupa peryataan. Aku pun ikut menganggukan kepala dengan berat hati. Sungguh aku mengutuki tiap kalimat yang aku ucapkan tadi.
Kamu tersenyum, “semoga kangennya semakin banyak ya.”
Semoga” Ucapku dalam hati.
Senja ini kita habiskan dalam kebisuan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya semilir angin yang sesekali menyadarkan kita bahwa bincang-bincang kita sore ini begitu singkat. Aku pasti akan selalu merindukan kebersamaan seperti ini.
*******
Kamu adalah sosok kharismatik yang tidak bisa aku temui untuk yang kedua kalinya. Kamu langka, menurutku. Tidak bertemu denganmu, membuatku merasa kehilangan.
Merasakan hal yang sama kah kamu di sana?” Selalu itu pertanyaan yang ku ulang kala senja menghampiri.
Sebulan. 30 hari. 720 jam. 43.200 menit. 2.592.000 detik. Waktu yang cukup panjang, untuk ku lewati tanpa kehadiranmu. Jujur aku merindumu. Bila kamu tau, mengijinkankah aku diam-diam menatapmu dari jauh. Pasti kamu akan marah padaku. Cukup sekali aku mengalami kemarahan itu. Kemarahan yang tidak pernah bisa aku lupakan.
“Kamu lagi ngapain!!” tanyanya galak.
Aku tersontak kaget, menatapnya dengan tatapan kosong. Hati ini berdebar begitu kerasnya. Apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Karena yang aku tau, dia begitu lembut.
“Aakuu duduuk… memandang la..laangiit sore” ucapku tergagap.
“Kita kan udah sepakat, sejak Deli meninggal. Kita nggak akan pernah ke bukit bintang lagi. Kenapa kemarin kamu ke sana?” Tatapan amarah itu masih menghiasi mata indahnya.
Ya Tuhan, bagaimana dia tau aku ke sana kemarin. Apakah dia juga ke sana?
“Maaf, tidak akan aku ulangi. Kamu tau dari mana aku ke sana?” tanyaku menyelidik.
“Kemarin aku kerumahmu. Tapi kamunya sedang mau pergi. Aku ikuti dengan maksud ingin memberikan kejutan tiba-tiba. Setibanya kamu di tempat tujuanmu. Ternyata aku yang mendapat kejutan. Apakah tanpa sepengetahuanku kamu sering ke sana? Lalu apa arti kesepakatan kita selama ini? Kamu kan tahu, aku benci dengan penghianat!” Tatapan itu terus menatapku. Aku tau, dia begitu menahan amarahnya.
Aku membuang puntung rokok yang masih terselip manis di jariku. Aku genggam jemarinya yang dingin. Ku usap lembut punggung tangannya. Berharap agar amarahnya bisa mereda.  Sepertinya usahaku berhasil, raut tegang dari wajahnya kini mulai melembut.
“Maaf ya, aku salah. Aku telah merusak kesepakatan kita. Tapi percayalah, aku bukanlah penghianat. Ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Kesepakatan yang kita buat, aku langgar. Bila kamu ingin menamparku. Aku persilahkan. Bila kamu ingin membenciku pun. Aku persilahkan. Aku tau aku salah.” ucapku tulus.
Butir-butir air itu jatuh, membasahi pipinya. Aku menyekanya dengan jemariku. Aku memeluknya. Menenangkan tangisnya.
******
Deli adalah seseorang yang hadir diantara kehidupan aku dan kehidupan kamu. Kehadirannya selalu memberikan rasa hangat. Sehangat bincang-bincangnya, menemani cerita kita. Kesepakatan yang kita buat untuk tidak ke tempat kenangan itu. Bukanlah karena kita membecinya. Bukan pula karena kita ingin melupakan segala hal tentang dia. Semua itu adalah pintanya. Sebelum waktu dengan kejamnya, merenggut nafas terakhirnya.
Deli selalu ceria. Selalu mampu menceritakan apa saja. Siapapun yang pertama kali mengenalnya. Aku berani bertaruh. Pasti langsung menyukainya. Menyukai tiap cerita yang ia utarakan. Deli sangat pintar bahkan cenderung cerdas. Hingga detik-detik terakhir hidupnya. Ia mampu berkata dengan senyum termanisnya “semua akan baik-baik saja“. Kecerdasan itulah yang ia gunakan untuk menutupi kanker yang dengan ganas menyerang tubuhnya .
Senja ini indah. Seindah tatapan surya menyinari alam. Seindah mentari bersembunyi di balik awan. Tanah itu harum. Seharum hara selepas hujan. Seharum hangat pepohonan tumbuh. Kalian tau, kenangan itu melekat dalam pikiran kita. Dalam hati kita. Kuncilah itu, dan jagalah. Karena ketika raga kita telah menyatu bersama tanah. Senja ini selalu hidup, memutar tiap kenangan. Karena jiwa, tidak pernah mati. Ditempat kenangan kita. Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku menyimpan kenangan kalian di sana. Tanpa kalian.”
Itulah pesan yang kita dapati. Ketika suaranya tidak lagi kita dengar. Kita pun menyepakati, membiarkannya berada di tempat itu bersama kenangannya. Meskipun kadang aku tidak rela membiarkannya sendiri. Walaupun ruang yang kita tempati tidak lagi sama.
******
Waktu itu tiba. Waktu dimana perpisahan panjang telah kita lewati. Waktu yang membuatku berdebar-debar menahan rasa rindu. Kamu adalah matahariku. Meski senja terindaku, telah tiada. Kamu adalah awal. Dari pergantian malamku yang panjang. Kamu adalah cahaya baruku. Meski kamu selalu cemburu. Bahwa perbincangan terpanjang kita selalu ada diantara senja.
Rindukah kamu padaku. Aku hadir lebih awal. Sebelum gurat-gurat langit menandakan kedatangan senja. Aku menunggumu dengan setia. Dengan kopi yang aku buat sendiri. Sungguh kehangatannya berbeda bila tanpamu. Lagi-lagi aku membenci waktu. Aku merasa waktu dengan sengaja melambatkan ritme nya pada dunia. Aku masih setia menunggumu, matahariku.
Ribuan detik. Ratusan menit. Aku menunggumu. Hingga aku gelisah. Tanda-tanda kedatanganmu tidak aku temui. Apakah kamu lupa pada kesepakatan kita. Aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku tidak ingin pikiran negatif ini mengusik rasaku. Tuhan, lupakah dirinya. Ataukah aku yang salah tanggal. Aku memeriksa kembali tanggalan yang tertera pada jam digitalku. Aku tidak salah. Memang hari ini tepatnya pertemuan itu.
Kegelapan itu mulai datang. Kecerahan langit mulai goyah. Aku pun mulai gelisah. Tidak mempercayai apa yang aku rasa. Ketakutan itu seketika datang. Aku mengingat-ingat kembali. Apakah kamu memiliki penyakit serius seperti yang di alami Deli. Aku takut kejadian ini terulang kembali. Aku pergi meninggalkan tempat pertemuan itu. Terburu-buru aku menyambar jaket yang aku taruh di bangku bodoh itu. Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku menuju rumahmu. Aku ingin melihatmu. Tidak peduli akan kemarahan yang aku dapati nanti.
Rumahmu begitu sepi sesampainya aku disana. Sepertinya sudah lama rumahmu tidak berpenghuni. Tidak ada penerangan sama sekali. Aku melirik rumah di sebelahmu. Memastikan bahwa malam ini tidak sedang mati listrik. Ada yang mencolek punggungku. Ketika aku masih berfikir menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Aku menoleh. Berharap yang mencolekku adalah kamu. Tapi nyatanya bukan.
Ada mbak Siti Tetangga sebelah rumahmu yang tersenyum kepadaku. Sebelum aku bertanya tentang kamu. Dia memberikan ku secarik surat. Sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa. Dia pamit berlalu. Meninggalkan aku yang masih terdiam terpaku. Ku robek amplop yang menjadi baju di surat ini. Aku buka perlahan. Ku kenali itu adalah tulisanmu. Aku menahan nafas dan mulai membacanya.
Kepadamu yang setia menungguku, di kenangan senja.
Awan itu lebih melekat erat bersama senja. Meskipun matahari ada di sela-sela hadirnya. Selalu senja yang cocok mendampinginya. Awan itu cerah. Secerah senja menemaninya. Awan itu gelap. Segelap senja meninggalkannya. Matahari hanyalah penarik di kala awan berteman kegelapan. Matahari hanyalah penghangat di kala mendung membungkusmu.
Aku merindukanmu dengan sangat. Melebihi dari yang kamu tau. Aku tau ini salah. Mempertanyakan harapan yang kamu sendiri tidak tau jawabannya. Kesepakatan kita waktu itu. Aku tau itu salah. Dan kamu salah. Bila aku bisa menerima semua yang telah terjadi. Semakin kita menghabiskan kebersamaan. Aku tau, aku semakin tersiksa. Meski matamu menatapku. Aku tau di balik tatapanmu. Sebenernya kamu menatap senja. Kenanganmu bersamanya. Aku kalah. Aku tidak bisa memberikan penerangan pada kegelapanmu. Aku pengecut. Aku tak mampu hadapi setiap kegelisahan hati. Biarkanlah masing-masing hati kita memilih jalan pikirannya. Dan aku memilih untuk melepaskanmu. Maaf.

Surat itu kulipat kembali dan ku masukkan ke dalam amplop. Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan lunglai ke sudut persimpangan jalan. Ada gazebo di sana. Aku duduk. Mencerna tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Ada aku, ada deli, ada kamu dan ada kita. Sekarang hanya tinggal aku. Menghadapi fakta kepergianmu. Mengapa hati ini menjadi tenang. Apakah benar aku salah melihat sosokmu. Apakah selama ini aku salah menerka perasaanku. Aku memandang langit. Tak ada bintang yang menemaniku. Aku pun mulai sibuk dengan pikiran kosongku.

@febonk

Kata kunci: aku adalah awan, matahari adalah kamu, dan Deli adalah senja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar