Minggu, 23 Juni 2013

Perbincangan singkat, Orang asing

Hari itu aku berjalan, mengikuti kemana kaki ini ku langkahkan. Menyusuri sepanjang jalan yang di teduhi pohon-pohon cemara yang begitu gagahnya. Berdiri berjajar dengan rapihnya. Semilir angin menyejukkan, membelai lebut pada kulitku. Sebuah kota kecil yang tanpa polusi, masih segar ku hirup udara pagi ini. Begitu banyak ku cermati orang-orang yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri. Sama seperti ku, yang tengah sibuk dengan diri sendiri.
Aku adalah manusia biasa saja, dengan kehidupan yang begitu datar. Sama seperti harapan-harapan yang begitu datar pula. Aku bosan, aku jenuh selalu melakukan hal-hal itu. Sejak aku masih kecil hingga saat ini sesungguhnya aku mampu untuk memilih. Namun pada kenyataannya tak ada pilihan-pilihan yang mampu ku pilih. Semua telah terencana dengan sangat rapih. Hingga aku merasa hidupku terlalu monoton. Banyak yang iri dengan kehidupan yang aku punya. Banyak pula yang mengatakan, “seandainya saja bisa aku ingin sekali menggantikan posisi di hidupmu”. Andai mereka tau, betapa hampa kehidupan yang aku jalani ini. Ingin aku juga mencoba menukar dengan kehidupan mereka. Kita pun sama-sama tau hal seperti itu tidaklah mungkin.
“aduuuuuuhhh”. Aku secara reflek menoleh ke asal suara tersebut. Aku melihat seorang gadis tengah merintih, memegang lututnya. Aku menghampirinya, bermaksud menawarkan pertolongan.
“kenapa mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.
Wajah itu menatapku heran, kemudian menatapku lebih tajam seolah sedang mengamati setiap garis pada wajahku.
“ mbaaaaakk”, ucapku membuyarkan lamunannya.
“ahhh, maaf.. gak usah saya bisa sendiri kok”. Dia berusaha bangun, dari tempat ia terjatuh, namun usahanya gagal. Sepertinya luka di lututnya itu, membuat ia susah untuk menggerakkan persendian pada kakinya. Aku dengan reflek membantunya berdiri, tapi tanganku di tepisnya.
“saya kan sudah bilang bisa sendiri, jangan sok baik sama saya” ucapnya ketus.
Aku hanya diam mematung, dan memerhatikan tindakannya yang sedang berusaha untuk berdiri namun gagal terus.
“udah jangan belagu, aku baik sama kamu ada maksudnya kok. Jadi jangan seneng dulu” ucapku kemudiam.
Aku membantunya berdiri, dan membawanya ke tempat duduk yang berada 10 meter dari tempat dia terjatuh. Meskipun dalam perbantuan itu mata tajamnya terus menatapku, seolah aku adalah penjahat yang ingin mencelakainya. Namun aku tidak memperdulikannya.
kenapa sih mau menolong saja, susahnya minta ampun” kataku dalam hati.
“jangan menatapku seperti itu, risih tau” ucapku akhirnya, karena tatapan itu seolah menghakimiku.
“maaf…baik kamu mau apa dari perbuatan baikmu yang telah menolong saya?” Tanya nya ketika aku telah membantunya duduk di bangku taman itu. Tidak lama dia pun mulai sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
“aku hanya ingin berbincang-bincang denganmu, menghabiskan waktu sore ini, boleh?”
Astaga lancang sekali aku berbicara seperti itu padanya. Pasti dia mengira aku sama saja dengan orang lain yang sengaja mengambil kesempatan untuk berkenalan. “dia pasti memakiku” ucapku dalam hati.
“baiklah, tidak buruk juga sekalian saya menunggu pacar saya datang untuk menjemput”. Aku terkejut, tidak menyangka responnya begitu baik. Mengingat sikap ketusnya di awal pertemuan tadi.
“tapi sebentar ya, saya telpon pacar saya dulu” ucapnya selanjutnya. Beberapa detik kemudian dia tengah sibuk dengan ponsel genggamnya, menghubungi seseorang yang katanya adalah kekasihnya. Aku menunggunya, sambil memerhatikan setiap tingkahnya.
“kenapa memandangi saya seperti itu?” tanyanya. Membuyarkan lamunanku, aku pun binggung tak mengerti mengapa bisa bersikap seperti ini.
“maaf” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“kamu ingin berbincang-bicang apa sama saya, kamu punya waktu 15 menit lagi sampai pacar saya datang.” Dia pun mulai menatap mataku.
Aku hanya membuang mukaku, mematahkan tatapannya dan mengarahkan tatapanku memandang langit yang mentarinya mulai meredup.
“Sore ini indah yah, kamu suka senja?” tanyaku kemudian.
Aku melirik wajahnya, tatapan itu semakin tajam menatapku dengan wajah kebinggungan dengan pertanyaanku.
“Aku menikmati waktu senja.” Hanya itu jawaban singkatmu.
Aku menghela nafas, “andai aku bisa menjadi senja, mungkin aku akan sedikit merasa lebih hidup. Senja itu hadirnya sesaat namun bisa membuat bahagia di sekitarnya,  pasti bahagia banget ya bisa menjadi senja”. Aku diam, menunggu responnya. Dia hanya diam, aku meliriknya. Dia memandangku, seolah menunggu lanjutan dari kalimatku.
“Sedangkan aku seperti rotasi, yang selalu mengelilingi bumi tanpa bisa memilih untuk sembunyi atau sekedar memilih untuk bisa menjadi diri sendiri. Hidupku terus saja berjalan pada sesuatu yang sudah di persiapkan. Berputar terus, selalu monoton. Ingin lepas tapi tidak bisa, aku terikat. Memutuskan ikatan, berarti sama saja aku merusak dunia. Aku harus ada di setiap harinya, bukan untuk diriku tapi untuk orang lain. Rasanya sungguh menjemukkan, namun aku berkewajiban untuk menjalankannya.”
Aku diam sesaat, menetralkan emosi yang tengah bergejolak pada perasaanku. Ingin aku teriak, tapi aku tau aku tidak bisa. Aku melirikmu kembali. Kamu masih saja diam tidak merespon ucapanku.
Beberapa menit selanjutnya, masing-masing kita diam. Sibuk dengan pikiran yang bergejolak. Aku dengan ketidaksyukuran hidupku dan kamu mungkin binggung dengan segala ucapanku. Hingga waktu lima belas menit itu berlalu. Kamu ingin beranjak dari bangku yang kita duduki tersebut, namun gagal. Persendian lututmu ternyata masih lemah untuk di paksakan berjalan. Aku menawarkan diri untuk memapahmu, dan kamu tidak menolaknya.
“maaf ya saya jadi merepotkan kamu” ucapnya dalam perjalanan menuju tempat yang katanya kekasihnya sedang menunggu.
“semua hidup itu membosankan. Jangan kamu mengira hanya hidup kamu yang membosankan. Masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih membosankan dari hidupmu. Kamu hidup bukannya tidak bisa memilih. Kamu bisa memilih, dan kamu memilih untuk menikmati kebosananmu itu. Atau lebih tepatnya membiarkan orang lain membantumu untuk memilih hidupmu.”
Aku tertegun, terdiam mendengar ucapanmu. Aku menatapmu, mencoba mencari kebenaran di setiap ucapanmu. Matamu hidup, beda dengan mataku yang meredup.
“ok, cukup di sini saja. Sebentar lagi juga pacar saya datang, tadi katanya sudah sampai di lampu merah pertigaan yang di sana”.
Kita berdiri di ujung jalan setapak. Menikmati semilir angin yang lewat. Menyejukkan.
“kamu jangan seperti daun, yang tidak bisa memilih untuk jatuh dimana. Posisi jatuhnya daun, selalu di tentukan oleh angin yang menerbangkannya. Kamu mungkin bisa saja bernegosiasi dengan angin ingin jatuh dimana. Tapi jangan lupa, selalu ada hujan yang akan menghanyutkanmu. Membawamu pergi dari tempat yang kamu inginkan. Kamu hanya perlu melakukan apa yang tidak pernah kamu lakukan, jangan pernah takut mencicipi akan arus hal baru, maka disanalah kamu akan merasa lebih hidup.”
Aku kembali terdiam memandangmu. Aku mencoba mengartikan setiap kata yang kamu ucapkan. Di ujung jalan terlihat sedan berwarna metalik merah. Sepertinya itu kekasihmu sebab mobil itu perlahan, menghampiri kita yang tengah berdiri. Seorang gadis keluar dari mobil itu, berjalan ke arah kita.
“tolong ambilin barangku dulu di warung seberang sana ya, tadi aku menitipkannya sebelum insiden ini.” Ucapmu pada gadis pembawa mobil tersebut.
Gadis itu bergegas menghampiri warung yang di maksud tersebut.
“putuskanlah segala hal yang kamu mau. Pilihlah menggunakan hatimu. Jangan takut untuk salah, karena dari kesalahan kamu akan belajar bahwa mendapatkan yang terbaik kita harus jatuh terlebih dahulu. Dan pilihan dari hatimulah itu semangatmu untuk bangkit ketika kamu jatuh. Hidupmu itu tidak membosankan, hanya kamu belum tau bagaimana caranya menikmati hidup”
Kamu mengerlingkan matamu, sebelum aku melepas pelukkanku saat memapahmu. Gadis itu memapahmu, masuk dalam kendaraan yang di kendarainya. Pintu itu tertutup, kendaraan itu pun berlalu. Sementara aku masih diam, mencerna setiap bagian-bagian kejadian yang terjadi sebelumnya.`Aku pun tersenyum, mulai mengerti ucapanmu.
terimakasih” ucapku kemudian.

01 Mei 2013

02:19 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar