Minggu, 05 Mei 2013

Pagi dan Kebohonganmu


Ada kebohonganmu di pagi ini. Aku merasakannya. Apabila aku bicarakan, sudah ku pastikan pasti kamu akan menyangkalnya. Maka aku memilih untuk terdiam. Menunggu kamu memancingnya atau dengan kemauan Tuhan, kamu menemukanku tengah memerhatikan setiap kebohonganmu itu.
Banyak hal yang tidak perlu kamu bicarakan, aku dapat menebaknya dengan mudah. Bukan karena aku memiliki kemampuan melebihi dari yang lain, mungkin lebih tepatnya aku memiliki kepekaan lebih banyak di bandingkan dengan manusia pada umumnya.
“itu bener kok pesan buat kamu” ucapmu kala hari itu.
Aku hanya mampu tersenyum menanggapinya.
“kok kamu begitu tanggapannya? kalau kamu tidak percaya kamu boleh kok memeriksa ponselku” ucapmu kemudian.
Aku tersenyum kembali, kemudian berujar “iya aku percaya kok”.
“kirain kamu nggak percaya, soalnya responnya kamu begitu sih. Pokoknya nggak ada yang aku sayang selain kamu”.
Seusai mengucapkan kalimat tersebut, kamu beranjak pergi meninggalkanku. Setelah sebelumnya kamu mengecup keningku. Di sini, di bangku ini begitu banyak kenangan antara kamu dan aku. Di sini pula awal perkenalan kita, perbincangan tentang diri masing-masing hingga akhirnya memperbincangkan tentang diri kita.
Tiga tahun memang bukanlah sebuah waktu yang sebentar. Banyak hal telah kita lalui bersama, dari sebuah rasa bahagia, rasa sedih, rasa terluka dan rasa terharu. Semua kita mempelajarinya sehingga  menjadi sebuah kekuatan dalam hubungan itu sendiri.
Mungkin rasa jenuh itu telah hadir di antara hubugan kita. Sehingga sebuah rasa kebohongan itu hadir menghampiri hubungan ini. Andai kamu tau, bagiku bersamamu tidak pernah mengenal kata jenuh. Bersamamu selalu ada hal indah yang aku temui. Selalu ada rasa memiliki yang lebih.
Kebohonganmu yang seperti ini bukan sekali ini ku temui. Tidak sekali dua kali pula, aku sering melihatmu bersamanya. Bersama seorang gadis yang dengan mesra memelukmu, serta bermanja-manja di lenganmu.
Aku mensyukurinya, sebab setiap pagi kamu selalu hadir menemaniku. Mengajakku memandang hijaunya rumput yang masih di basah embun. Menghirup aroma tanah yang masih segar. Memperdengarkan burung-burung yang merdu berkicau. Kamu memperkenalkan dunia baru untukku. Kamu memperlihatkan bahwa dunia tidak hanya sebesar ruangan di kamarku. Kamu mengajarkan bahwa di balik jendela kamarku, ada dunia yang jauh lebih indah dan membahagiakan. Namun ada pula dunia yang menyakitkan dipenuhi kebohongan.
Setiap jam 9 pagi, kamu bergegas berpamitan padaku. Mengecup keningku dan selalu mengatakan, “aku sayang kamu”. Kamu adalah seorang pekerja keras. Aku bisa merasakannya. Pembawaanmu yang tenang selalu membuatku nyaman berlama-lama berbincang denganmu. Seharusnya itu tidak berubah, tetapi nyatanya waktu masih dengan jahat telah mengubahnya.
*******
Gadis yang pernah ku lihat bersamamu. Disuatu pagi, kamu pernah membawanya bersamamu kala menjumpaiku. Gadis yang cantik dan modern. Berambut hitam legam panjang, bermata besar, dan memiliki lesung pipit yang bila tersenyum akan terlihat begitu manisnya. Sedangkan aku, masih jauh cantik di bandingkannya.
“Aku datang bersama teman, kenalkan ini Friska” Gadis itu mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya.
“saya kinan”
Kamu menghampiriku dan berbisik, “dia hanya teman, kamu jangan mencemburuinya ya?” Kemudian kamu mengecup kepalaku.
Aku bisa merasakan, tatapan gadis itu terluka dengan perlakuanmu padaku. Kamu lihatlah, dia membuang wajahnya ke udara memandang langit. Tidakkah kamu lihat, bahwa dia sedang menahan air matanya agar tidak tumpah. Sedalam itukah rasa cintanya padamu. Aku terluka melihatnya. Aku merasa ada cinta yang jauh lebih tulus yang hadir untukmu, dan itu bukan aku.
Kita bertiga pun terlibat perbincangan yang begitu menyenangkan. Tetapi tidak menyenangkan untukku, sebab aku hanya sesekali menimpali pembicaraan mereka. Pembicaraan itu sungguh asing bagiku, seasing diriku yang hadir di antara kalian.
apakah aku orang asing yang tidak seharusnya ada di sini?” tanyaku dalam hati.
“ya kan kinan?” tanyamu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku hanya mampu tersenyum menanggapinya.
Sejak itu setiap pagi, kadang-kadang kamu datang bersamanya untuk menemuiku. Terlibat perbincangan yang seru, dan aku selalu merasa seperti orang asing. Tidak mampu menjangkau kalian. Hanya mampu tersenyum kala aku ditanyakan pendapat.
Seperti biasa waktu telah menunjukkan pukul 9, kamu berpamitan. Diperjumpaan yang kesekian menjadi hari yang tidak biasa, kamu tidak mencium keningku sebagai tanda perpisahan. Kamu hanya mengelus-ngelus rambutku, kemudian memelukku. Aku merasa bahwa ini adalah tanda perpisahan. Aku baru menyadarinya tatapanmu padaku kini telah berbeda. Tatapanmu padaku lebih kepada kasihan. Taukah kamu aku benci dikasiani. Namun aku tidak bisa berontak, aku pengecut. Aku takut untuk melepasmu, membiarkanmu pergi dari hari-hariku.
********
Masih di tempat yang sama, pagi ini aku duduk menatap ujung jalan. Menanti kehadiranmu, tetapi kehadiranmu tidak aku dapatkan. Sejam, dua jam, hingga hujan datang, perlahan menyamarkan pandanganku. Aku masih menunggumu. Namun hanya sia-sia,  kamu tidak hadir pagi ini.
Keesokan paginya, kamu datang dengan wajah jauh lebih lelah dari biasanya. Kamu seperti seseorang yang tengah di landa begitu banyak masalah.
“maaf yah kemarin aku tidak datang, ada beberapa pekerjaan yang harus aku kerjakan. Kamu tidak marah kan?” ucapmu tergesa-gesa “kali ini aku juga minta maaf tidak bisa menemani pagimu seperti biasa, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan, aku sayang kamu.”
Kamu berlalu pergi, setelah mengecup keningku. Aku memandang punggungmu yang semakin menjauh. Mataku terasa begitu panas, dada ini terasa begitu sesaknya. Air mata ini menetes tanpa bisa aku bendung. Aku menanggis karena merasa salah pada diriku sendiri. Aku menanggis, karena sakit mempertahankan hubungan yang mungkin dari dulu tidak seharusnya datang padaku.
Sejak itu, kamu tidak pernah hadir lagi di pagiku, meski aku menunggumu hingga matahari dengan terik menghujam kulitku. Kamu seperti hilang, dan aku tidak tau hendak mencarimu kemana. Mengenalmu bagiku seperti mimpi.
********
Seminggu kemudian,
Mungkin ini masih pagi yang sama, aku datang ke taman ini. Semoga kamu masih di sana, masih duduk menantiku. Aku tau, aku menyadari mungkin kamu melihat bahwa hatiku telah terbagi. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk dia. Dia yang pernah aku perkenalkan padamu. Aku telah mendustaimu, mendustai pagi yang menjadi awal hubungan kita.
Hari ini, aku telah menentukan. Aku telah memutuskan, untuk bersamamu. Aku memilihmu, untuk menggenapi hidupku ke depannya. Aku ingin hanya kamu yang ada di dalam hari-hariku. Lihatlah sayang, aku membawa bunga Lily kesukaanmu. Warna putih yang begitu kamu kagumi. Meski aku tau cintaku tidak seputih bunga ini. Tapi percalah, aku akan berusaha menghapus noda-noda yang telah aku buat.
Andai aku bisa bercerita, kemarin ketika aku tidak menjumpai pagimu. Aku telah berbohong, bukannya aku sibuk dengan pekerjaanku. Tetapi aku berjuang agar dia, Friska mau mengerti untuk keputusanku memilihmu. Dia hampir bunuh diri, ketika mendengar aku lebih memilihmu disbanding dirinya. Memilih dirimu yang mungkin seumur hidup tidak bisa berlari bersamaku. Memilih dirimu yang mungkin akan selalu aku papah setiap menelusuri jalan-jalan. Aku tidak keberatan untuk melakukannya. Kamulah matahariku, yang selalu setia menungguku di pagi itu. Maaf bila aku baru menyadarinya, setidanya aku tidak terlambat untuk hal itu.
Aku berlari, berusaha datang lebih pagi dari biasanya. Aku ingin memberimu kejutan, bahwa tidak hanya kamu yang menungguku. Aku juga bisa menunggumu. Menunggumu hadir secara samar-samar datang dari ujung jalan sana.
Sesampainya di bangku kesayangan kita. Aku terkejut. Aku mendapati ada amplop yang di tahan dengan sebuah batu. Penanda agar amplop itu tidak melayang terbawa angin. Aku mengambilnya, Pada muka amplop itu tertulis “untuk kekasihku pram”. Ini tulisanmu, aku mengenali tulisan rapih ini. Mengapa kamu menulis surat. Inikah kejutanmu padaku. Aku tersenyum, seolah menikmati kejutan romantis olehmu.

Teruntuk kekasih tercintaku, Pram.
Tempat ini menjadi saksi sebuah kisah terajut begitu manis. Pada bangku ini, masing-masing kisah kita melebur menjadi satu. Banyak cerita yang kita perbincangkan, tapi aku tau sebagian besar cerita itu hadir darimu. Aku tidak menolaknya, dan aku pula tidak marah. Aku menikmatinya. Ceritamu selalu menarik untukku.
Ingatkah kamu, awal perjumpaan kita. Kala itu aku berfikir, bahwa kamulah lelaki paling egois yang pernah aku kenal. Tidak memperdulikan keadaanku, dan memaksakan kehendakmu. Hingga beberapa waktu kemudian aku baru menyadari, kamu melakukannya karena mengetahui bahwa aku tidak suka dikasiani. Kamu juga tau, bahwa aku ingin di perlakukan sama seperti mereka.
Kamu selalu menggenggam tanganku saat kita duduk pada bangku ini. Karena kamu tau, aku tidak mungkin bisa berjalan bergandengan bersamamu.  Kamu selalu menceritakan berbagai hal menarik ketika kita terdiam di bawah pohon, ketika kita duduk di balik jendela memandang hujan, ketika kita duduk di taman melihat pelangi atau ketika malam kita melihat bintang. Kamu menceritakan itu semua karena kamu tau, aku tidak mungkin berlari untuk merasakan itu semua.
Lily adalah bunga kesukaanku. Kamu mengetahuinya, dan selalu membawakannya ketika usai kamu menyesali kesalahanmu. Bila tebakanku benar, hari ini kamu membawa bunga itu untukku. Kamu juga mengetahui, bahwa kebohongan adalah hal yang aku benci. Aku telah lama mengenalmu, dan aku tau mencintaiku adalah kebohongan yang telah kamu lakukan. Kamu boleh membenciku, karena aku mengetahuinya tetapi aku membiarkanmu tetap memainkan peranmu.
Aku tau, tatapan matamu tidak pernah tertarik untuk menatap mataku. Semua kosong, matamu tidak pernah hidup saat melihatku. Matamu hanya akan hidup saat kamu melihat langit, melihat pelangi dan melihat bintang serta melihat dia, Friska. Seorang gadis yang demikian tulus menyayangimu. Namun gadis yang selalu kamu sakiti hatinya karena kamu hadirkan untuk melihat kemesraan kita. Aku tau hatinya terluka, kala kamu mengecup keningku setiap kali kamu berpamitan untuk pergi.
Pram, jangan kamu bohongi hatimu. Janganlah lagi kamu berpura-pura mencintaiku. Aku akan sangat jahat sekali bila membiarkan kepura-puraan cinta itu terus ada di antara kita. Aku minta maaf telah membuang begitu banyak waktumu. Andai pun kamu telah memilihku, aku minta maaf lagi. Karena aku telah melepasmu, Pram.

Salam,
Kinan

“Kinan, aku minta maaf. Aku tidak menyangka bahwa kamu tau semua. Aku memang berpura-pura menyayangimu. Tapi taukah kamu saat ini, aku sudah lupa kalau aku sedang berpura-pura menyayangimu.”

@febonk
01 Mei 2013
08:10 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar