Sore ini, senja yang selalu menyinari hari-hari kita. Sore
dimana aku menemukan titik-titik rindu itu. Ada kamu, yang selalu menemaniku
melewati senja di kota ini. Ada kamu, yang selalu dengan semangat bercerita
tanpa rasa lelah.
Kopi ini, minuman penuh kafein yang selalu kamu hadirkan
untuk menemani perbincangan kita. Perbincangan tanpa tema. Perbincangan yang
menghasilkan begitu banyak cerita. Cerita yang menghasilkan cerita selanjutnya.
Masih sama di sore ini. Senja yang menghadirkan
pilur-pilur rindu. Dengan tatapan hangatmu. Aku merasa bersyukur telah di
hadirkan ke dunia. Apakah kamu merasakan hal yang sama?
“Aku ingin
menjadi perempuan di atas awan, bisakah?” pertanyaan awalmu di perbincangan
senja ini.
Aku
menyesap hangat kopi yang kamu sajikan. ” Bisa saja, bila kamu
menginginkannya?”.
“Caranya
bagaimana? Apa aku harus mendaki mahameru, untuk bisa menjadi perempuan di atas
awan”. Matanya berbinar-binar, mengharapan jawaban untuk mengobati
penasarannya.
“Naik pesawat
saja, nanti juga bisa menjadi perempuan di atas awan”. Jawabku asal “Sepertinya
kamu terlalu menghayati film yang kemarin habis kamu nonton ya?” ujarku
selanjutnya.
Matanya menerawang ke langit. Tatapan sedu itu. Ingin
sekali aku menguncinya dan membuangnya jauh-jauh. Aku membenci melihat
tatapanmu yang seperti itu. Seolah ada harapan yang tersimpan, tapi tidak ingin
kamu ceritakan kepada siapapun.
“Mungkin
juga kali yah, he..he..he..” Kamu beranjak dari bangku bodoh kita dan mulai
memeriksa tanaman yang kamu tanam kemarin.
“Kadang
hidup kita itu monoton ya, yang dikerjain hanya itu-itu saja?” kamu bertanya
kembali, tanpa melepaskan pandanganmu dari tanaman itu.
Sepertinya perbincanan sore ini akan begitu menarik. Jarang
aku melihat ekspresinya yang seperti ini.
“Memang
monoton, kamu ada ide apa untuk membuatnya menjadi menarik?” tantangku. Aku
menatap punggungmu. Menatapmu seperti ini. Seolah aku melihatnya membuatku rela
meninggalkan kesenangan yang lain. Namun suasana seperti ini, tidak akan pernah
tergantikan oleh apapun di dunia ini. Saat ini kamulah matahariku.
“Gimana?”
punggung itu berbalik. Menatap lekat wajahku.
Aku yang di tatap tiba-tiba, merasa salah tingkah. Aku
membuang pandanganku ke langit. Merelaxkan pikiran. Aku berharap sikap salah
tingkah ini tidak terbaca olehmu.
Aku kembali menatapmu. “gimana apanya ya?” Tanyaku polos.
Jujur aku tidak mengerti gimana yang kamu maksudkan. Ini
pasti karena lamunanku tadi. Dasar bodoh. Aku mulai mengutuki diriku sendiri.
“Kebiasaan
deh, suka asik sama pikirannya sendiri. Sampai aku ngomong di kacangin. Mikirin
apa sih?” Kamu mulai beranjak meninggalkan tanaman itu dan duduk di hadapanku.
Tatapan itu. Aku mulai membenci tatapan itu. Tatapan yang
membuatku susah untuk bersembunyi. Tatapan yang sama. Tatapan yang selalu
membuatku jatuh hati.
“Aku
lagi berfikir, kalau ternyata kita nggak bisa menikmati sore seperti ini lagi.
Bagaimana ya?” Pernyataan itu begitu saja keluar dari mulutku. Sumpah, aku
ingin menarik ulang ucapan itu.
“Ya
tidak bagaimana, paling aku merasa kehilangan. Merasa rindu. Apa kamu ingin
kita tidak berjumpa dulu, seperti film yang aku nonton kemarin?” Kamu menatapku
begitu lekat, seolah ingin mencari kebenaran dari ucapanku sebelumnya.
Aku tidak menyangka, kamu menantang ucapanku. Ucapan yang tidak
aku pikirkan sama sekali. Aku pun membalas tatapanmu.
“Kita coba
yuk, mau gak?” Ucapmu kemudian.
Tatapan matamu begitu berbinar. Tuhan, semoga ini hanya
mimpi khayalku saja. Aku tidak bisa bila dihariku tidak ada kamu. Kamu adalah
salah satu alasan, hingga saat ini senyumku masih ku kembangkan.
“Kok
benggong sih, gimana?” tanyanya kembali. Mengaburkan lamunanku.
“Kkamu
yaakin?” tanyaku kemudian. Suara ku bergetar menahan sesak, semoga kamu tidak
menyadarinya.
Kamu menganggukan kepala. “Nggak perlu lama-lama. Sebulan
lagi, kita ketemu di sini. ok kan?” Sebuah pertanyaan yang berupa peryataan.
Aku pun ikut menganggukan kepala dengan berat hati. Sungguh aku mengutuki tiap
kalimat yang aku ucapkan tadi.
Kamu
tersenyum, “semoga kangennya semakin banyak ya.”
“Semoga”
Ucapku dalam hati.
Senja ini kita habiskan dalam kebisuan. Sibuk dengan
pikiran masing-masing. Hanya semilir angin yang sesekali menyadarkan kita bahwa
bincang-bincang kita sore ini begitu singkat. Aku pasti akan selalu merindukan
kebersamaan seperti ini.
*******
Kamu adalah sosok kharismatik yang tidak bisa aku temui
untuk yang kedua kalinya. Kamu langka, menurutku. Tidak bertemu denganmu,
membuatku merasa kehilangan.
“Merasakan
hal yang sama kah kamu di sana?” Selalu itu pertanyaan yang ku ulang kala
senja menghampiri.
Sebulan. 30 hari. 720 jam. 43.200 menit. 2.592.000 detik.
Waktu yang cukup panjang, untuk ku lewati tanpa kehadiranmu. Jujur aku
merindumu. Bila kamu tau, mengijinkankah aku diam-diam menatapmu dari jauh.
Pasti kamu akan marah padaku. Cukup sekali aku mengalami kemarahan itu.
Kemarahan yang tidak pernah bisa aku lupakan.
“Kamu
lagi ngapain!!” tanyanya galak.
Aku tersontak kaget, menatapnya dengan tatapan kosong. Hati
ini berdebar begitu kerasnya. Apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Karena
yang aku tau, dia begitu lembut.
“Aakuu
duduuk… memandang la..laangiit sore” ucapku tergagap.
“Kita kan
udah sepakat, sejak Deli meninggal. Kita nggak akan pernah ke bukit bintang
lagi. Kenapa kemarin kamu ke sana?” Tatapan amarah itu masih menghiasi mata
indahnya.
Ya
Tuhan, bagaimana dia tau aku ke sana kemarin. Apakah dia juga ke sana?
“Maaf,
tidak akan aku ulangi. Kamu tau dari mana aku ke sana?” tanyaku menyelidik.
“Kemarin
aku kerumahmu. Tapi kamunya sedang mau pergi. Aku ikuti dengan maksud ingin
memberikan kejutan tiba-tiba. Setibanya kamu di tempat tujuanmu. Ternyata aku
yang mendapat kejutan. Apakah tanpa sepengetahuanku kamu sering ke sana? Lalu
apa arti kesepakatan kita selama ini? Kamu kan tahu, aku benci dengan
penghianat!” Tatapan itu terus menatapku. Aku tau, dia begitu menahan
amarahnya.
Aku membuang puntung rokok yang masih terselip manis di
jariku. Aku genggam jemarinya yang dingin. Ku usap lembut punggung tangannya.
Berharap agar amarahnya bisa mereda. Sepertinya usahaku berhasil, raut
tegang dari wajahnya kini mulai melembut.
“Maaf
ya, aku salah. Aku telah merusak kesepakatan kita. Tapi percayalah, aku
bukanlah penghianat. Ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Kesepakatan yang
kita buat, aku langgar. Bila kamu ingin menamparku. Aku persilahkan. Bila kamu
ingin membenciku pun. Aku persilahkan. Aku tau aku salah.” ucapku tulus.
Butir-butir air itu jatuh, membasahi pipinya. Aku
menyekanya dengan jemariku. Aku memeluknya. Menenangkan tangisnya.
******
Deli adalah seseorang yang hadir diantara kehidupan aku dan
kehidupan kamu. Kehadirannya selalu memberikan rasa hangat. Sehangat
bincang-bincangnya, menemani cerita kita. Kesepakatan yang kita buat untuk
tidak ke tempat kenangan itu. Bukanlah karena kita membecinya. Bukan pula karena
kita ingin melupakan segala hal tentang dia. Semua itu adalah pintanya. Sebelum
waktu dengan kejamnya, merenggut nafas terakhirnya.
Deli selalu ceria. Selalu mampu menceritakan apa saja.
Siapapun yang pertama kali mengenalnya. Aku berani bertaruh. Pasti langsung
menyukainya. Menyukai tiap cerita yang ia utarakan. Deli sangat pintar bahkan
cenderung cerdas. Hingga detik-detik terakhir hidupnya. Ia mampu berkata dengan
senyum termanisnya “semua akan baik-baik saja“. Kecerdasan itulah yang
ia gunakan untuk menutupi kanker yang dengan ganas menyerang tubuhnya .
“Senja
ini indah. Seindah tatapan surya menyinari alam. Seindah mentari bersembunyi di
balik awan. Tanah itu harum. Seharum hara selepas hujan. Seharum hangat
pepohonan tumbuh. Kalian tau, kenangan itu melekat dalam pikiran kita. Dalam
hati kita. Kuncilah itu, dan jagalah. Karena ketika raga kita telah menyatu
bersama tanah. Senja ini selalu hidup, memutar tiap kenangan. Karena jiwa,
tidak pernah mati. Ditempat kenangan kita. Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku
menyimpan kenangan kalian di sana. Tanpa kalian.”
Itulah pesan yang kita dapati. Ketika suaranya tidak lagi
kita dengar. Kita pun menyepakati, membiarkannya berada di tempat itu bersama
kenangannya. Meskipun kadang aku tidak rela membiarkannya sendiri. Walaupun
ruang yang kita tempati tidak lagi sama.
******
Waktu itu tiba. Waktu dimana perpisahan panjang telah kita
lewati. Waktu yang membuatku berdebar-debar menahan rasa rindu. Kamu adalah
matahariku. Meski senja terindaku, telah tiada. Kamu adalah awal. Dari
pergantian malamku yang panjang. Kamu adalah cahaya baruku. Meski kamu selalu
cemburu. Bahwa perbincangan terpanjang kita selalu ada diantara senja.
Rindukah kamu padaku. Aku hadir lebih awal. Sebelum
gurat-gurat langit menandakan kedatangan senja. Aku menunggumu dengan setia.
Dengan kopi yang aku buat sendiri. Sungguh kehangatannya berbeda bila tanpamu.
Lagi-lagi aku membenci waktu. Aku merasa waktu dengan sengaja melambatkan ritme
nya pada dunia. Aku masih setia menunggumu, matahariku.
Ribuan detik. Ratusan menit. Aku menunggumu. Hingga aku
gelisah. Tanda-tanda kedatanganmu tidak aku temui. Apakah kamu lupa pada
kesepakatan kita. Aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku tidak ingin pikiran
negatif ini mengusik rasaku. Tuhan, lupakah dirinya. Ataukah aku yang salah
tanggal. Aku memeriksa kembali tanggalan yang tertera pada jam digitalku. Aku
tidak salah. Memang hari ini tepatnya pertemuan itu.
Kegelapan itu mulai datang. Kecerahan langit mulai goyah.
Aku pun mulai gelisah. Tidak mempercayai apa yang aku rasa. Ketakutan itu
seketika datang. Aku mengingat-ingat kembali. Apakah kamu memiliki penyakit
serius seperti yang di alami Deli. Aku takut kejadian ini terulang kembali. Aku
pergi meninggalkan tempat pertemuan itu. Terburu-buru aku menyambar jaket yang
aku taruh di bangku bodoh itu. Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku menuju
rumahmu. Aku ingin melihatmu. Tidak peduli akan kemarahan yang aku dapati
nanti.
Rumahmu begitu sepi sesampainya aku disana. Sepertinya
sudah lama rumahmu tidak berpenghuni. Tidak ada penerangan sama sekali. Aku
melirik rumah di sebelahmu. Memastikan bahwa malam ini tidak sedang mati
listrik. Ada yang mencolek punggungku. Ketika aku masih berfikir menebak-nebak
apa yang sedang terjadi. Aku menoleh. Berharap yang mencolekku adalah kamu.
Tapi nyatanya bukan.
Ada mbak Siti Tetangga sebelah rumahmu yang tersenyum
kepadaku. Sebelum aku bertanya tentang kamu. Dia memberikan ku secarik surat.
Sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa. Dia pamit berlalu. Meninggalkan aku
yang masih terdiam terpaku. Ku robek amplop yang menjadi baju di surat ini. Aku
buka perlahan. Ku kenali itu adalah tulisanmu. Aku menahan nafas dan mulai
membacanya.
Kepadamu
yang setia menungguku, di kenangan senja.
Awan
itu lebih melekat erat bersama senja. Meskipun matahari ada di sela-sela
hadirnya. Selalu senja yang cocok mendampinginya. Awan itu cerah. Secerah senja
menemaninya. Awan itu gelap. Segelap senja meninggalkannya. Matahari hanyalah
penarik di kala awan berteman kegelapan. Matahari hanyalah penghangat di kala
mendung membungkusmu.
Aku
merindukanmu dengan sangat. Melebihi dari yang kamu tau. Aku tau ini salah.
Mempertanyakan harapan yang kamu sendiri tidak tau jawabannya. Kesepakatan kita
waktu itu. Aku tau itu salah. Dan kamu salah. Bila aku bisa menerima semua yang
telah terjadi. Semakin kita menghabiskan kebersamaan. Aku tau, aku semakin
tersiksa. Meski matamu menatapku. Aku tau di balik tatapanmu. Sebenernya kamu
menatap senja. Kenanganmu bersamanya. Aku kalah. Aku tidak bisa memberikan
penerangan pada kegelapanmu. Aku pengecut. Aku tak mampu hadapi setiap
kegelisahan hati. Biarkanlah masing-masing hati kita memilih jalan pikirannya.
Dan aku memilih untuk melepaskanmu. Maaf.
Surat itu kulipat kembali dan ku masukkan ke dalam amplop.
Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan lunglai ke sudut persimpangan jalan.
Ada gazebo di sana. Aku duduk. Mencerna tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Ada
aku, ada deli, ada kamu dan ada kita. Sekarang hanya tinggal aku. Menghadapi
fakta kepergianmu. Mengapa hati ini menjadi tenang. Apakah benar aku salah
melihat sosokmu. Apakah selama ini aku salah menerka perasaanku. Aku memandang
langit. Tak ada bintang yang menemaniku. Aku pun mulai sibuk dengan pikiran
kosongku.
@febonk
Kata kunci: aku adalah awan,
matahari adalah kamu, dan Deli adalah senja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar