Ada
kebohonganmu di pagi ini. Aku merasakannya. Apabila aku bicarakan, sudah ku
pastikan pasti kamu akan menyangkalnya. Maka aku memilih untuk terdiam.
Menunggu kamu memancingnya atau dengan kemauan Tuhan, kamu menemukanku tengah
memerhatikan setiap kebohonganmu itu.
Banyak
hal yang tidak perlu kamu bicarakan, aku dapat menebaknya dengan mudah. Bukan
karena aku memiliki kemampuan melebihi dari yang lain, mungkin lebih tepatnya
aku memiliki kepekaan lebih banyak di bandingkan dengan manusia pada umumnya.
“itu
bener kok pesan buat kamu” ucapmu kala hari itu.
Aku
hanya mampu tersenyum menanggapinya.
“kok
kamu begitu tanggapannya? kalau kamu tidak percaya kamu boleh kok memeriksa
ponselku” ucapmu kemudian.
Aku
tersenyum kembali, kemudian berujar “iya aku percaya kok”.
“kirain
kamu nggak percaya, soalnya responnya kamu begitu sih. Pokoknya nggak ada yang
aku sayang selain kamu”.
Seusai
mengucapkan kalimat tersebut, kamu beranjak pergi meninggalkanku. Setelah
sebelumnya kamu mengecup keningku. Di sini, di bangku ini begitu banyak
kenangan antara kamu dan aku. Di sini pula awal perkenalan kita, perbincangan
tentang diri masing-masing hingga akhirnya memperbincangkan tentang diri kita.
Tiga
tahun memang bukanlah sebuah waktu yang sebentar. Banyak hal telah kita lalui
bersama, dari sebuah rasa bahagia, rasa sedih, rasa terluka dan rasa terharu.
Semua kita mempelajarinya sehingga
menjadi sebuah kekuatan dalam hubungan itu sendiri.
Mungkin
rasa jenuh itu telah hadir di antara hubugan kita. Sehingga sebuah rasa
kebohongan itu hadir menghampiri hubungan ini. Andai kamu tau, bagiku bersamamu
tidak pernah mengenal kata jenuh. Bersamamu selalu ada hal indah yang aku
temui. Selalu ada rasa memiliki yang lebih.
Kebohonganmu
yang seperti ini bukan sekali ini ku temui. Tidak sekali dua kali pula, aku
sering melihatmu bersamanya. Bersama seorang gadis yang dengan mesra memelukmu,
serta bermanja-manja di lenganmu.
Aku
mensyukurinya, sebab setiap pagi kamu selalu hadir menemaniku. Mengajakku
memandang hijaunya rumput yang masih di basah embun. Menghirup aroma tanah yang
masih segar. Memperdengarkan burung-burung yang merdu berkicau. Kamu
memperkenalkan dunia baru untukku. Kamu memperlihatkan bahwa dunia tidak hanya
sebesar ruangan di kamarku. Kamu mengajarkan bahwa di balik jendela kamarku,
ada dunia yang jauh lebih indah dan membahagiakan. Namun ada pula dunia yang
menyakitkan dipenuhi kebohongan.
Setiap
jam 9 pagi, kamu bergegas berpamitan padaku. Mengecup keningku dan selalu
mengatakan, “aku sayang kamu”. Kamu
adalah seorang pekerja keras. Aku bisa merasakannya. Pembawaanmu yang tenang
selalu membuatku nyaman berlama-lama berbincang denganmu. Seharusnya itu tidak
berubah, tetapi nyatanya waktu masih dengan jahat telah mengubahnya.
*******
Gadis
yang pernah ku lihat bersamamu. Disuatu pagi, kamu pernah membawanya bersamamu
kala menjumpaiku. Gadis yang cantik dan modern. Berambut hitam legam panjang,
bermata besar, dan memiliki lesung pipit yang bila tersenyum akan terlihat
begitu manisnya. Sedangkan aku, masih jauh cantik di bandingkannya.
“Aku
datang bersama teman, kenalkan ini Friska” Gadis itu mengulurkan tangannya dan
aku menyambutnya.
“saya
kinan”
Kamu
menghampiriku dan berbisik, “dia hanya teman, kamu jangan mencemburuinya ya?”
Kemudian kamu mengecup kepalaku.
Aku
bisa merasakan, tatapan gadis itu terluka dengan perlakuanmu padaku. Kamu
lihatlah, dia membuang wajahnya ke udara memandang langit. Tidakkah kamu lihat,
bahwa dia sedang menahan air matanya agar tidak tumpah. Sedalam itukah rasa
cintanya padamu. Aku terluka melihatnya. Aku merasa ada cinta yang jauh lebih
tulus yang hadir untukmu, dan itu bukan aku.
Kita
bertiga pun terlibat perbincangan yang begitu menyenangkan. Tetapi tidak
menyenangkan untukku, sebab aku hanya sesekali menimpali pembicaraan mereka.
Pembicaraan itu sungguh asing bagiku, seasing diriku yang hadir di antara kalian.
“apakah aku orang asing yang tidak seharusnya
ada di sini?” tanyaku dalam hati.
“ya
kan kinan?” tanyamu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku
hanya mampu tersenyum menanggapinya.
Sejak
itu setiap pagi, kadang-kadang kamu datang bersamanya untuk menemuiku. Terlibat
perbincangan yang seru, dan aku selalu merasa seperti orang asing. Tidak mampu
menjangkau kalian. Hanya mampu tersenyum kala aku ditanyakan pendapat.
Seperti
biasa waktu telah menunjukkan pukul 9, kamu berpamitan. Diperjumpaan yang
kesekian menjadi hari yang tidak biasa, kamu tidak mencium keningku sebagai
tanda perpisahan. Kamu hanya mengelus-ngelus rambutku, kemudian memelukku. Aku
merasa bahwa ini adalah tanda perpisahan. Aku baru menyadarinya tatapanmu
padaku kini telah berbeda. Tatapanmu padaku lebih kepada kasihan. Taukah kamu
aku benci dikasiani. Namun aku tidak bisa berontak, aku pengecut. Aku takut
untuk melepasmu, membiarkanmu pergi dari hari-hariku.
********
Masih
di tempat yang sama, pagi ini aku duduk menatap ujung jalan. Menanti
kehadiranmu, tetapi kehadiranmu tidak aku dapatkan. Sejam, dua jam, hingga
hujan datang, perlahan menyamarkan pandanganku. Aku masih menunggumu. Namun
hanya sia-sia, kamu tidak hadir pagi
ini.
Keesokan
paginya, kamu datang dengan wajah jauh lebih lelah dari biasanya. Kamu seperti
seseorang yang tengah di landa begitu banyak masalah.
“maaf
yah kemarin aku tidak datang, ada beberapa pekerjaan yang harus aku kerjakan.
Kamu tidak marah kan?” ucapmu tergesa-gesa “kali ini aku juga minta maaf tidak
bisa menemani pagimu seperti biasa, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan,
aku sayang kamu.”
Kamu
berlalu pergi, setelah mengecup keningku. Aku memandang punggungmu yang semakin
menjauh. Mataku terasa begitu panas, dada ini terasa begitu sesaknya. Air mata
ini menetes tanpa bisa aku bendung. Aku menanggis karena merasa salah pada
diriku sendiri. Aku menanggis, karena sakit mempertahankan hubungan yang
mungkin dari dulu tidak seharusnya datang padaku.
Sejak
itu, kamu tidak pernah hadir lagi di pagiku, meski aku menunggumu hingga
matahari dengan terik menghujam kulitku. Kamu seperti hilang, dan aku tidak tau
hendak mencarimu kemana. Mengenalmu bagiku seperti mimpi.
********
Seminggu
kemudian,
Mungkin
ini masih pagi yang sama, aku datang ke taman ini. Semoga kamu masih di sana,
masih duduk menantiku. Aku tau, aku menyadari mungkin kamu melihat bahwa hatiku
telah terbagi. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk dia. Dia yang pernah aku
perkenalkan padamu. Aku telah mendustaimu, mendustai pagi yang menjadi awal
hubungan kita.
Hari
ini, aku telah menentukan. Aku telah memutuskan, untuk bersamamu. Aku
memilihmu, untuk menggenapi hidupku ke depannya. Aku ingin hanya kamu yang ada
di dalam hari-hariku. Lihatlah sayang, aku membawa bunga Lily kesukaanmu. Warna
putih yang begitu kamu kagumi. Meski aku tau cintaku tidak seputih bunga ini.
Tapi percalah, aku akan berusaha menghapus noda-noda yang telah aku buat.
Andai
aku bisa bercerita, kemarin ketika aku tidak menjumpai pagimu. Aku telah
berbohong, bukannya aku sibuk dengan pekerjaanku. Tetapi aku berjuang agar dia,
Friska mau mengerti untuk keputusanku memilihmu. Dia hampir bunuh diri, ketika
mendengar aku lebih memilihmu disbanding dirinya. Memilih dirimu yang mungkin
seumur hidup tidak bisa berlari bersamaku. Memilih dirimu yang mungkin akan
selalu aku papah setiap menelusuri jalan-jalan. Aku tidak keberatan untuk
melakukannya. Kamulah matahariku, yang selalu setia menungguku di pagi itu. Maaf
bila aku baru menyadarinya, setidanya aku tidak terlambat untuk hal itu.
Aku
berlari, berusaha datang lebih pagi dari biasanya. Aku ingin memberimu kejutan,
bahwa tidak hanya kamu yang menungguku. Aku juga bisa menunggumu. Menunggumu
hadir secara samar-samar datang dari ujung jalan sana.
Sesampainya
di bangku kesayangan kita. Aku terkejut. Aku mendapati ada amplop yang di tahan
dengan sebuah batu. Penanda agar amplop itu tidak melayang terbawa angin. Aku
mengambilnya, Pada muka amplop itu tertulis “untuk kekasihku pram”. Ini tulisanmu, aku mengenali tulisan rapih
ini. Mengapa kamu menulis surat. Inikah kejutanmu padaku. Aku tersenyum, seolah
menikmati kejutan romantis olehmu.
Teruntuk
kekasih tercintaku, Pram.
Tempat ini menjadi
saksi sebuah kisah terajut begitu manis. Pada bangku ini, masing-masing kisah
kita melebur menjadi satu. Banyak cerita yang kita perbincangkan, tapi aku tau
sebagian besar cerita itu hadir darimu. Aku tidak menolaknya, dan aku pula
tidak marah. Aku menikmatinya. Ceritamu selalu menarik untukku.
Ingatkah kamu, awal perjumpaan
kita. Kala itu aku berfikir, bahwa kamulah lelaki paling egois yang pernah aku
kenal. Tidak memperdulikan keadaanku, dan memaksakan kehendakmu. Hingga
beberapa waktu kemudian aku baru menyadari, kamu melakukannya karena mengetahui
bahwa aku tidak suka dikasiani. Kamu juga tau, bahwa aku ingin di perlakukan sama
seperti mereka.
Kamu selalu menggenggam
tanganku saat kita duduk pada bangku ini. Karena kamu tau, aku tidak mungkin
bisa berjalan bergandengan bersamamu. Kamu
selalu menceritakan berbagai hal menarik ketika kita terdiam di bawah pohon, ketika
kita duduk di balik jendela memandang hujan, ketika kita duduk di taman melihat
pelangi atau ketika malam kita melihat bintang. Kamu menceritakan itu semua karena
kamu tau, aku tidak mungkin berlari untuk merasakan itu semua.
Lily adalah bunga
kesukaanku. Kamu mengetahuinya, dan selalu membawakannya ketika usai kamu
menyesali kesalahanmu. Bila tebakanku benar, hari ini kamu membawa bunga itu
untukku. Kamu juga mengetahui, bahwa kebohongan adalah hal yang aku benci. Aku
telah lama mengenalmu, dan aku tau mencintaiku adalah kebohongan yang telah
kamu lakukan. Kamu boleh membenciku, karena aku mengetahuinya tetapi aku
membiarkanmu tetap memainkan peranmu.
Aku tau, tatapan matamu
tidak pernah tertarik untuk menatap mataku. Semua kosong, matamu tidak pernah
hidup saat melihatku. Matamu hanya akan hidup saat kamu melihat langit, melihat
pelangi dan melihat bintang serta melihat dia, Friska. Seorang gadis yang
demikian tulus menyayangimu. Namun gadis yang selalu kamu sakiti hatinya karena
kamu hadirkan untuk melihat kemesraan kita. Aku tau hatinya terluka, kala kamu
mengecup keningku setiap kali kamu berpamitan untuk pergi.
Pram, jangan kamu
bohongi hatimu. Janganlah lagi kamu berpura-pura mencintaiku. Aku akan sangat
jahat sekali bila membiarkan kepura-puraan cinta itu terus ada di antara kita.
Aku minta maaf telah membuang begitu banyak waktumu. Andai pun kamu telah
memilihku, aku minta maaf lagi. Karena aku telah melepasmu, Pram.
Salam,
Kinan
“Kinan,
aku minta maaf. Aku tidak menyangka bahwa kamu tau semua. Aku memang
berpura-pura menyayangimu. Tapi taukah kamu saat ini, aku sudah lupa kalau aku
sedang berpura-pura menyayangimu.”
@febonk
01
Mei 2013
08:10
pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar