Minggu, 29 Juni 2014

#Kamisan 7 : Game of Love - Ada Apa Dengan Kita ?

16 Februari 2014

‘Cieee yang lagi liburan,’ kira-kira begitulah bunyi pesan BBM (Blackberry Messenger) yang ku kirimkan, setelah melihat statusmu pada update dilayanan BBM itu sendiri. Pesanku terkirim, atau dalam arti delivered dengan ditandai huruf ‘D’ pada posisi kiri, sebaris dengan pesan yang aku kirim. Sedetik kemudian, lambang ‘D’ berubah menjadi lambang ‘R’ yang menandakan bahwa pesan itu telah dibaca olehmu.

“Hehehe iya nih,” begitulah balasan pesanmu.

Aku pun membalas kembali pesanmu, “liburan kemana ?”

“Ke Ancol, mau ikut ?”

Tanpa perintah, bibirku mengulumkan senyum. ‘andai saja bisa,’ ucapku dalam hati.

“Na kerja, pergi sama siapa ?”

“Yaaaaah, pergi sama teman-teman Na”

“Selamat berlibur ya,”

“Terima kasih, Na selamat bekerja ya,” aku tersenyum. Meski aku tau senyum itu tidak akan pernah terlihat olehmu.

Entah mengapa perbincangan kecil bersamamu selalu menyenangkan. Aku menaruh ponsel ke dalam saku, dan mulai bekerja kembali. Seharusnya memang aku mencari pekerjaan lain, dimana di hari sabtu aku bisa libur. Hari dimana, mungkin aku bisa menghabiskan banyak waktuku untuk bisa berbincang denganmu. 

Rasanya senang sekali, setiap kali aku mengingatmu. Saat kita berbincang, saat matamu enggan menatapku. Saat matamu lebih senang menerawang memandang awan, dibandingkan menatap mataku, sang lawan bicaramu. Saat dimana banyak cerita mengudara, saat mentari dengan sayunya tenggelam, mengantarkan malam. Semua itu masih aku rekam dengan jelas ke dalam ingatanku, tanpa aku perintah. Ah, begitu istimewanya kamu.

********
28 Agustus 2013

“Na, besok jadi ?”

“Jadi dong, besok Na berangkat jam 5 dari sini,”

“Oke, hati-hati di jalan ya. Kabarin kalau udah mau berangkat”

Aku pun mengangguk “oke.” Anggukan yang tidak mungkin terlihat olehmu. Bagaimana bisa terlihat, sementara jarakmu puluhan kilometer dari tempatku berada kini. Perbincangan singkat itu pun berakhir.

Rasanya tidak sabar menunggu hari esok. Hari dimana kita merencanakan untuk pergi menggunjungi sebuah taman. Taman yang penuh dengan bunga-bunga nan indah. Taman yang belum pernah aku dan kamu kunjungi. Taman yang menjadi pilihan, untuk kita menghabiskan waktu bersama.

Aku pun men-setting alarm pada ponselku. Dan berusaha untuk tidur lebih cepat, namun gagal. Rasa berdebar menunggu perjumpaan esok ternyata telah mengalahkan rasa kantukku.

Entah tertidur jam berapa semalam tadi, yang pasti pagi ini aku terlambat bangun. Aku melihat ponselku, angka digital itu menunjukkan, aku terbangun telat satu jam dari angka alarm yang ku setting semalam.

“Alarm sialan, kenapa nggak bunyi sih,” aku menggerutu sambil membasahi tubuhku dengan air.

Dingin, sebuah rasa yang kurasakan saat air-air itu menyentuh tubuhku. Tidak pernah aku mandi dan bangun sepagi ini. Pekerjaanku sebagai freelancer, membuatku tidak terbiasa tidur lebih cepat dan terbangun lebih pagi.

Secepat kilat aku berpakaian dan berkemas, sebelum bergegas keluar dari kamar kosan yang berukuran 4 x 6 meter ini. Aku menyambar ponselku yang terletak di atas kasur. Aku mengeceknya, ada sebuah pesan, dan itu pesan darimu.

‘Sudah bangun belum ?’

Aku tersenyum, ‘maaf bangunnya terlambat, Na berangkat sekarang.’ Seusai mengetik kalimat tersebut, aku memencet tombol send, pesan itu terkirim. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku, kemudian bergegas menuju tempat motorku terparkir.

Angin dingin pagi ini, menerpa wajahku. Mengiringi perjalananku menuju tempat perjanjian kita. Hari ini rasanya kendaraan-kendaraan itu menyemangatiku, mendukung perjalananku. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, selama aku menyusuri jalan dari Sukabumi ke Bogor. Pemandangan pegununungan nan biru, jalanan yang berliku serta mentari yang sayup-sayup menyesap hangat menyentuh kulitku. Semua terasa menyenangkan.

Tidak terasa aku telah sampai di kota Cianjur. Kota perbatasan, antara kotaku dan kotamu, serta kota yang menjadi tempat perjanjian kita. Aku membelokkan motorku ke arah kanan, terdapat sebuah SPBU, tempat mengisi bahan bakar kendaraan. Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, aku mengeluarkan ponselku. Menuliskan pesan padamu, yang memberikan info bahwa aku sebentar lagi akan sampai lokasi. Aku memasukkan ponselku kembali dan melanjutkan perjalanan.

‘Dimana ? Na udah sampai.” aku mengirimkan pesan padanya begitu tiba di lokasi tempat perjanjian bertemu.

Saat ingin memasukkannya ke saku, ponselku bergetar, ‘masih di angkot, sebentar lagi sampai,’ balasamu.

Sambil menunggumu, aku pun bermain game di ponselku. Selang beberapa menit, ada sepasang tangan lembut menyentuh mataku, menggelapkan pandanganku.

“Ang….” aku bersuara, berusaha menebaknya.

“Hehehee”

Suara yang terdengar merdu ditelingaku. Kamu melepaskan tangan lembutmu dari mataku.

Aku berbalik badan, menatap wajahmu yang kamu buat mengkerut, “Kok tau sih ?”

Aku hanya tersenyum, adalah sebuah jawaban dari pertanyaanmu. Bukankah tidak selamanya pertanyaan yang terlontar berupa kata, harus dibalas dengan perkataan juga.

Aku memboncengmu, menempatkanmu di belakang punggungku pada kendaraan roda duaku. Cerita tentang kita pun dimulai.

“Hari ini, harusnya ada rapat koordinator nih,” kamu membuka suara.

“Terus, kok nggak ikutan ? apa mau pulang saja, nggak apa-apa kok. Nanti Na anter.”

Aku memelankan kendaraanku, bersiap berbalik arah. Sebelum perjalanan semakin jauh dari jalan utama.

Nggak lah, siapa suruh rapatnya dadakan. Ang kan udah janjian jauh-jauh hari sama Na.”

Aku menggerakkan kaca spionku. Berharap aku bisa melihat ekspesimu saat mengatakan hal itu, sayangnya aku tidak bisa melihatnya. Pastinya ada rasa di hati yang tengah berdendang karena kalimatmu. Aku tersenyum.

Terlalu singkat rasanya perjalanan menuju Taman Bunga ini. Aku memarkirkan kendaraanku, sedangkan kamu telah turun terlebih dahulu untuk mengantri membeli tiket. Aku menghampirimu, saat kendaraanku sudah terparkir dengan manisnya.

“Berapa ? ini duitnya,” Aku menyodorkan uang lima puluh ribu, untuk mengganti tiket yang telah dibeli olehmu.

Nggak usah, simpan saja. Ang traktir,” kamu pun bergegas berjalan menuju pintu masuk taman.

Aku mengikutimu dari belakang, “seriusan ih.” Aku tetap memaksa, menyodorkan uang untuk mengganti tiketnya.

“Beneran, nggak usah. Nanti saja gantian Na yang traktir.”

“Ya sudah kalau nggak mau,” aku memasukkan kembali uang tersebut di saku celana.

Kita berjalan-jalan menikmati warna-warni bunga yang menghias taman tersebut. Sesekali kita duduk, untuk berfoto. Mengabadikan hal-hal yang mungkin kelak, kita sendiri sama-sama akan melupakannya. Kita saling bertukar cerita, bertukar canda. Kamu bercerita tentang segala hal yang kamu alami, pekerjaanmu, tingkah lucu ibumu sampai perihal bunga-bunga yang mulai tumbuh di pekarangan rumahmu. Tidak terasa waktu bergulir dengan cepatnya, mentari pun tengah gagah berada di atas kepala kita.

“Beli souvenir dulu yuk sebelum pulang.”

Kamu berlari kecil ke toko yang letaknya sejajar dengan pintu keluar. Kamu masuk ke dalam toko tersebut, aku mengikutimu dari belakang.

Aku melihat-lihat souvenir yang ada di dalam toko tersebut. Ada kaos bertuliskan ‘Taman Bunga Nusantara’ dengan ditemani gambar taman bunga berwana-warni. Ada pula pajangan-pajangan yang aku tebak bukan merupakan ciri khas souvenir taman ini. Ada pula topi-topi lebar yang sering aku lihat dipakai oleh wisatawan-wisatawan dari korea. 

Aku melirik ke arahmu, kamu tengah sibuk memilih dan memilah gantungan kunci. Aku berjalan ke arahmu, ikut melihat gantungan kunci yang tengah kamu pilih. Gantungan-gantungan kunci itu terbuat dari kaca, dimana di dalamnya terdapat bunga kering dengan tulisan ‘Taman Bunga Nusantara’.

“Pilih Na mana yang bagus,” ucapmu. Matamu tak lepas dari gantungan kunci itu.

Aku melihatnya, ikut mencari yang kira-kira menurutku menarik. Namun nihil, “Nggak ada yang bagus.”

“Ayo dong dipilih, Ang kan pengen kita punya gantungan yang samaan.”

Aku terbengong, mencoba mencerna kata-kata yang barusan diucapkannya.

“Kok bengong, ayo dipilih. Cari yang warna sama bentuknya samaan ya," ucapmu. Mengembalikan kesadaranku.

Aku pun dengan reflek ikut memilih gantungan kunci itu. Sayangnya tidak ada yang bentuknya sama, hanya warna pada gantungannya saja yang sama. Akhirnya pilihan jatuh pada bentuk oval dan bentuk hati. Kamu membayar souvenir yang telah terpilih.

“Na mau yang mana ?” Kamu menyodorkan padaku bentuk oval dan bentuk hati.

Aku mengambil gantungan kunci berbentuk oval, ‘biarlah hati itu ku titipkan padamu.’

********

“Mbak tiket transformernya dua, untuk yang jam lima ya,” ucapku pada mbak petugas loket bioskop.

Kamu membuka dompetmu, mengambil uang seratus ribu hendak membayar. Tangan kiriku menggenggam tangan kananmu, mencegah uang itu mendarat mulus pada tangan petugas loketnya.

“Ini mbak uangnya,” aku menyerahkan uang lima puluh ribu dua lembar kepada petugasnya.

“Na ngapain pegang tangan Ang ?” kamu membuka suara, ketika tanganku tak jua melepaskan tanganmu.

Aku melepaskan genggaman tanganku pada pergelangan tanganmu.

“Maaf. Kamu juga ngapain pegang duit, mau bayar tiket ?” aku balas bertanya.

Kamu mengangguk.

Nggak, dari tadi itu kamu udah bayarin Na. Gantian dong,” ucapku tegas.

Kamu terdiam dan memasukkan kembali uang tersebut dalam dompetmu. Aku mengambil tiket yang di berikan penjaga loket beserta dengan uang kembaliannya.

Menunggu pintu theater dibuka, kita pun mencari tempat untuk duduk. Sofa di lorong pintu masuk film yang akan kita tonton, menjadi pilihannya. Kita pun mulai mengomentari film-film yang posternya tengah terpampang pada dinding. Dari film yang sudah pernah ditonton maupun film yang belum pernah sama sekali dilihat thiller nya. Menyenangkan sekali, untukku.

“Na, Ang ke toilet dulu ya,” Aku mengangguk, tanda menyetujuinya.

Kamu pun berlalu pergi, namun tidak lama kamu pun kembali.

“Tiketnya mana ? takutnya di toilet lama, jadi kalau sudah mulai Na masuk ke dalam saja duluan.”

Aku pun menyerahkan potongan tiket bagianmu sebelum kamu berlalu pergi.

Aku mengambil kamera digitalku dari dalam tas, mulai melihat foto-foto kita. Foto-foto kita sewaktu di Taman Bunga. Ada kamu tengah bergaya di kebun yang penuh dengan tumbuhan mawar. Ada pula foto kita yang tengah bergaya dengan jenaka. Aku tersenyum, sesekali tertawa kecil saat satu persatu foto itu aku lihat.

Nggak jadi ke toilet,” ujarmu saat mendaratkan tubuhmu di sofa di sampingku.

Aku memandangmu, mematikan kameraku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Kepada para penonton yang telah memiliki karcis theater 2, diharapkan segera masuk ke theater karena film akan segera di mulai. Terima kasih

Suara petugas informasi menggema memenuhi lorong bioskop. Itu adalah panggilan untuk setiap film yang akan dimulai. Aku memandang tiket film kita. Theater dua, adalah tempat untuk kita menonton film yang sudah terpesan tadi. Kita pun beranjak menuju pintu theater tersebut.

Saat durasi film tengah berjalan lima belas menit, petugas bioskop datang menghampiri bangku yang menjadi tempat kita menikmati film. Petugas itu memberikan dua kotak makanan.

“Maaf mas, saya tidak pesan,” ucapku pelan pada petugas itu.

“Ang yang pesen Na, makasih ya.” Kamu pun mengambil dua kotak makanan itu.

Kamu membuka penutup makanannya, harum kentang goreng memenuhi udara menyentuh penciumanku.

“Kapan pesannya ?” tanyaku heran. Mengingat-ingat kapan kamu memesan makanan ini.

“Tadi pas bilang mau ke toilet. Makan nih, Na belum makan dari pagi kan ?” Kamu menyodorkan satu kotak makanan yang sudah terbuka itu ke arahku.

Rasanya begitu melambung, aku tidak menyangka sebegitu besar perhatianmu padaku. Aku memandang wajahmu di tengah kegelapan bioskop. ‘sial, aku tidak bisa melihat ekspresi wajahmu saat mengatakan hal itu,’ ucapku dalam hati.

“Makasih ya,” akhirnya hanya kalimat itu yang meluncur dari bibirku.

Sejujurnya aku tidak mampu berkonsentrasi sampai film itu usai kita tonton. Terlalu hangat perlakuan yang aku rasakan darimu. Seperti biasa, seusai nonton kita duduk di bangku café yang letaknya berada di beranda sebelah bioskop. Di beranda itu kita dapat melihat lampu-lampu kota dengan kerlap-kerlip mengagumkan. Kita mulai berbicara kembali tentang apa saja.

********
21 Februari 2014

Pada suatu senja aku dengan bergegas mengunjungimu. Melarikan motorku demikian lesat. Aku mendapati kabarmu tidak sedang baik, kamu tengah tertimpa musibah. Motor yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan, beberapa jahitan dengan manis telah mendarat dipelipis matamu. Aku sedih mendengar kabar itu. Tiga jam kemudian aku telah sampai pada rumahmu. Ada adik bungsumu membukakan pintu untukku, sesaat setelah salam aku ucapkan. Aku mendapatimu tengah tertidur lelap, dan aku hanya mampu memandang wajahmu tanpa berani membangunkan lelapmu.

Ada memar ungu memenuhi matamu sebelah kiri. Ingin sekali aku menyentuhnya, namun aku menahan diri. Aku menaruh ranselku pada sofa di ruang tamumu. Adikmu datang menghampiriku dengan segelas teh manis panas dan camilan kue kering.

“Silahkan kak,” ujarnya saat gelas dan cemilan itu bersentuhan dengan meja.

Aku menyesap hangat teh buatan adikmu.

“Kok bisa kakakmu kecelakaan, bagaimana ceritanya Nis ?”

Adikmu bercerita secara detail bagaimana kecelakaan itu terjadi. Saat itu kamu tengah mengunjungi salah satu acara di kantormu. Kamu yang belum terlalu lihai dan belum memiliki sim kendaraan bermotor pun, bermaksud memotong jalan untuk menghindari polisi. Sayang sekali jalan yang dia pilih ternyata memiliki liku jalur yang cukup berkelak-kelok, tidak mampu menahan keseimbangan. Akhirnya motormu terjatuh, dan menghasilkan luka di pelipis matamu dan beberapa memar di tubuhmu.

“Padahal dua minggu lagi kakak lamaran, kira-kira bisa hilang nggak ya lukanya,” ujar adikmu melanjutkan ceritanya.

Aku yang sedang minum teh tersendak mendengar kalimat yang baru saja ku dengar.

“Lamaran ?” aku mengulang kata itu, seolah ingin mencari penjelasan lebih.

“Iya”

“Dijodohin ?”

Nggak, mereka sudah pacaran setahun kok kak. Tanggal 16 kemarin kan kakak pergi sama keluarga calonnya ke Ancol. Memang kakak nggak cerita ?” Adikmu pun tidak kalah terkejutnya, mengingat aku begitu dekat sekali dengan kakaknya.

“Mungkin bercerita, tapi aku yang mungkin tidak menyadarinya, hehehe “ aku mencoba mencairkan suasana yang sempat beku. Meski hati ini perlahan-lahan ikut membeku.

Tubuhmu muncul di balik pintu tempat kamu terlelap tadi, “Na kapan sampai ?”

Aku menoleh ke arahmu, beranjak dan menghampirimu.

“Baru saja kok, udah istirahat di kamar saja nggak usah keluar”

“Bosen tidur terus, nanti kan jam empat ada periksa ke klinik,” ujarmu sambil merebahkan tubuhmu pada sofa.

Aku pun ikut duduk di sebelahmu, “ke sana sama siapa ?”

“Naik ojek mungkin, memangnya Na mau nganterin ?”

“Ok, Na anterin.” Ucapku mantab.

Kita pun berbincang-bincang, aku bertanya kembali bagaimana bisa kamu kecelakaan. Kamu bercerita dengan antusias. Aku suka sekali memerhatikan wajahmu yang tengah bercerita, sayangnya lagi-lagi matamu tidak pernah berani menatapku langsung. Tapi aku selalu menikmati hal-hal seperti ini.

Waktu mengantarkanmu pun telah tiba, kini kita berada dalam satu kendaraan. Tidak ada perbincangan, hanya suara kendaraan yang terdengar ketika berpapasan dengan motorku. Sesampainya di klinik, aku dengan setia menunggumu kala dokter tengah memeriksamu.

“Boleh aku memelukmu ?” ucapku ketika telah sampai kembali di rumahmu.

Kamu mengangguk, aku memelukmu demikian erat. Seolah rindu yang aku simpan telah tumpah pada pelukan ini.

“Aku sayang kamu Ang, semoga acara lamarannya lancar yah,” ucapku seraya melepaskan pelukanku.

Kamu terkejut mendengar ucapanku, wajahmu terlihat kaku, tanpa ekspresi.

Kamu terdiam cukup lama, “Na tahu dari siapa ?”

Aku menarik nafas panjang, “Na tahu dari Nis, adikmu. Kenapa nggak pernah cerita sih ?”

Kamu terdiam, tidak ada jawaban apa-apa keluar darimu. Aku yang melihat situasi menjadi tegang, akhirnya memilih untuk beranjak pulang.

“Na pulang ya Ang, salam buat ibu. Jaga diri baik-baik ya,”

Aku melambai ke arahmu, sebelum kendaraanku pergi meninggalkan rumahmu.


09:00 pm
29 Juni 2014


4 komentar:

jokbelakang mengatakan...

-.- -.- -.-

kecebonk mengatakan...

kenapa li?

Feti Habsari mengatakan...

"Jika akhirnya kita tidak bisa bersama, lepaskanlah aku dengan tersenyum... datang ya ke pernikahanku." Astaga ini kalimat keputer lagi:'( kak cebonk bikin cediiihh agiiihhh

Unknown mengatakan...

Tau Liebster Award? selamat buat kamu! coba deh cek http://coffee-philia.blogspot.com/2014/07/first-liebster-award.html *note: bukan iklan obat kurus

Posting Komentar