Hari
itu aku berjalan, mengikuti kemana kaki ini ku langkahkan. Menyusuri sepanjang
jalan yang di teduhi pohon-pohon cemara yang begitu gagahnya. Berdiri berjajar dengan
rapihnya. Semilir angin menyejukkan, membelai lebut pada kulitku. Sebuah kota
kecil yang tanpa polusi, masih segar ku hirup udara pagi ini. Begitu banyak ku cermati
orang-orang yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri. Sama seperti ku, yang
tengah sibuk dengan diri sendiri.
Aku
adalah manusia biasa saja, dengan kehidupan yang begitu datar. Sama seperti
harapan-harapan yang begitu datar pula. Aku bosan, aku jenuh selalu melakukan
hal-hal itu. Sejak aku masih kecil hingga saat ini sesungguhnya aku mampu untuk
memilih. Namun pada kenyataannya tak ada pilihan-pilihan yang mampu ku pilih.
Semua telah terencana dengan sangat rapih. Hingga aku merasa hidupku terlalu
monoton. Banyak yang iri dengan kehidupan yang aku punya. Banyak pula yang
mengatakan, “seandainya saja bisa aku
ingin sekali menggantikan posisi di hidupmu”. Andai mereka tau, betapa
hampa kehidupan yang aku jalani ini. Ingin aku juga mencoba menukar dengan kehidupan
mereka. Kita pun sama-sama tau hal seperti itu tidaklah mungkin.
“aduuuuuuhhh”.
Aku secara reflek menoleh ke asal suara tersebut. Aku melihat seorang gadis
tengah merintih, memegang lututnya. Aku menghampirinya, bermaksud menawarkan
pertolongan.
“kenapa
mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.
Wajah
itu menatapku heran, kemudian menatapku lebih tajam seolah sedang mengamati
setiap garis pada wajahku.
“
mbaaaaakk”, ucapku membuyarkan lamunannya.
“ahhh,
maaf.. gak usah saya bisa sendiri kok”. Dia berusaha bangun, dari tempat ia terjatuh,
namun usahanya gagal. Sepertinya luka di lututnya itu, membuat ia susah untuk
menggerakkan persendian pada kakinya. Aku dengan reflek membantunya berdiri,
tapi tanganku di tepisnya.
“saya
kan sudah bilang bisa sendiri, jangan sok baik sama saya” ucapnya ketus.
Aku
hanya diam mematung, dan memerhatikan tindakannya yang sedang berusaha untuk
berdiri namun gagal terus.
“udah
jangan belagu, aku baik sama kamu ada maksudnya kok. Jadi jangan seneng dulu”
ucapku kemudiam.
Aku
membantunya berdiri, dan membawanya ke tempat duduk yang berada 10 meter dari
tempat dia terjatuh. Meskipun dalam perbantuan itu mata tajamnya terus
menatapku, seolah aku adalah penjahat yang ingin mencelakainya. Namun aku tidak
memperdulikannya.
“kenapa sih mau menolong saja, susahnya minta
ampun” kataku dalam hati.
“jangan
menatapku seperti itu, risih tau” ucapku akhirnya, karena tatapan itu seolah
menghakimiku.
“maaf…baik
kamu mau apa dari perbuatan baikmu yang telah menolong saya?” Tanya nya ketika
aku telah membantunya duduk di bangku taman itu. Tidak lama dia pun mulai sibuk
mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
“aku
hanya ingin berbincang-bincang denganmu, menghabiskan waktu sore ini, boleh?”
Astaga
lancang sekali aku berbicara seperti itu padanya. Pasti dia mengira aku sama
saja dengan orang lain yang sengaja mengambil kesempatan untuk berkenalan. “dia pasti memakiku” ucapku dalam hati.
“baiklah,
tidak buruk juga sekalian saya menunggu pacar saya datang untuk menjemput”. Aku
terkejut, tidak menyangka responnya begitu baik. Mengingat sikap ketusnya di
awal pertemuan tadi.
“tapi
sebentar ya, saya telpon pacar saya dulu” ucapnya selanjutnya. Beberapa detik
kemudian dia tengah sibuk dengan ponsel genggamnya, menghubungi seseorang yang
katanya adalah kekasihnya. Aku menunggunya, sambil memerhatikan setiap
tingkahnya.
“kenapa
memandangi saya seperti itu?” tanyanya. Membuyarkan lamunanku, aku pun binggung
tak mengerti mengapa bisa bersikap seperti ini.
“maaf”
hanya itu yang keluar dari mulutku.
“kamu
ingin berbincang-bicang apa sama saya, kamu punya waktu 15 menit lagi sampai
pacar saya datang.” Dia pun mulai menatap mataku.
Aku
hanya membuang mukaku, mematahkan tatapannya dan mengarahkan tatapanku
memandang langit yang mentarinya mulai meredup.
“Sore
ini indah yah, kamu suka senja?” tanyaku kemudian.
Aku
melirik wajahnya, tatapan itu semakin tajam menatapku dengan wajah kebinggungan
dengan pertanyaanku.
“Aku
menikmati waktu senja.” Hanya itu jawaban singkatmu.
Aku
menghela nafas, “andai aku bisa menjadi senja, mungkin aku akan sedikit merasa
lebih hidup. Senja itu hadirnya sesaat namun bisa membuat bahagia di sekitarnya, pasti bahagia banget ya bisa menjadi senja”.
Aku diam, menunggu responnya. Dia hanya diam, aku meliriknya. Dia memandangku,
seolah menunggu lanjutan dari kalimatku.
“Sedangkan
aku seperti rotasi, yang selalu mengelilingi bumi tanpa bisa memilih untuk
sembunyi atau sekedar memilih untuk bisa menjadi diri sendiri. Hidupku terus
saja berjalan pada sesuatu yang sudah di persiapkan. Berputar terus, selalu
monoton. Ingin lepas tapi tidak bisa, aku terikat. Memutuskan ikatan, berarti
sama saja aku merusak dunia. Aku harus ada di setiap harinya, bukan untuk
diriku tapi untuk orang lain. Rasanya sungguh menjemukkan, namun aku
berkewajiban untuk menjalankannya.”
Aku
diam sesaat, menetralkan emosi yang tengah bergejolak pada perasaanku. Ingin
aku teriak, tapi aku tau aku tidak bisa. Aku melirikmu kembali. Kamu masih saja
diam tidak merespon ucapanku.
Beberapa
menit selanjutnya, masing-masing kita diam. Sibuk dengan pikiran yang
bergejolak. Aku dengan ketidaksyukuran hidupku dan kamu mungkin binggung dengan
segala ucapanku. Hingga waktu lima belas menit itu berlalu. Kamu ingin beranjak
dari bangku yang kita duduki tersebut, namun gagal. Persendian lututmu ternyata
masih lemah untuk di paksakan berjalan. Aku menawarkan diri untuk memapahmu,
dan kamu tidak menolaknya.
“maaf
ya saya jadi merepotkan kamu” ucapnya dalam perjalanan menuju tempat yang
katanya kekasihnya sedang menunggu.
“semua
hidup itu membosankan. Jangan kamu mengira hanya hidup kamu yang membosankan.
Masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih membosankan dari hidupmu. Kamu
hidup bukannya tidak bisa memilih. Kamu bisa memilih, dan kamu memilih untuk
menikmati kebosananmu itu. Atau lebih tepatnya membiarkan orang lain membantumu
untuk memilih hidupmu.”
Aku
tertegun, terdiam mendengar ucapanmu. Aku menatapmu, mencoba mencari kebenaran
di setiap ucapanmu. Matamu hidup, beda dengan mataku yang meredup.
“ok,
cukup di sini saja. Sebentar lagi juga pacar saya datang, tadi katanya sudah
sampai di lampu merah pertigaan yang di sana”.
Kita
berdiri di ujung jalan setapak. Menikmati semilir angin yang lewat.
Menyejukkan.
“kamu
jangan seperti daun, yang tidak bisa memilih untuk jatuh dimana. Posisi
jatuhnya daun, selalu di tentukan oleh angin yang menerbangkannya. Kamu mungkin
bisa saja bernegosiasi dengan angin ingin jatuh dimana. Tapi jangan lupa,
selalu ada hujan yang akan menghanyutkanmu. Membawamu pergi dari tempat yang
kamu inginkan. Kamu hanya perlu melakukan apa yang tidak pernah kamu lakukan, jangan
pernah takut mencicipi akan arus hal baru, maka disanalah kamu akan merasa
lebih hidup.”
Aku
kembali terdiam memandangmu. Aku mencoba mengartikan setiap kata yang kamu
ucapkan. Di ujung jalan terlihat sedan berwarna metalik merah. Sepertinya itu
kekasihmu sebab mobil itu perlahan, menghampiri kita yang tengah berdiri.
Seorang gadis keluar dari mobil itu, berjalan ke arah kita.
“tolong
ambilin barangku dulu di warung seberang sana ya, tadi aku menitipkannya
sebelum insiden ini.” Ucapmu pada gadis pembawa mobil tersebut.
Gadis
itu bergegas menghampiri warung yang di maksud tersebut.
“putuskanlah
segala hal yang kamu mau. Pilihlah menggunakan hatimu. Jangan takut untuk
salah, karena dari kesalahan kamu akan belajar bahwa mendapatkan yang terbaik
kita harus jatuh terlebih dahulu. Dan pilihan dari hatimulah itu semangatmu
untuk bangkit ketika kamu jatuh. Hidupmu itu tidak membosankan, hanya kamu
belum tau bagaimana caranya menikmati hidup”
Kamu
mengerlingkan matamu, sebelum aku melepas pelukkanku saat memapahmu. Gadis itu
memapahmu, masuk dalam kendaraan yang di kendarainya. Pintu itu tertutup,
kendaraan itu pun berlalu. Sementara aku masih diam, mencerna setiap
bagian-bagian kejadian yang terjadi sebelumnya.`Aku pun tersenyum, mulai
mengerti ucapanmu.
“terimakasih” ucapku kemudian.
01
Mei 2013
02:19
pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar