Dear Keii,
Masih seringkah kamu kesini? Masih seringkah kamu
memandang langit malam? Masihkah kamu dengan setia menunggu pagi menjelang.
Hanya untuk melihat benda semesta bernama bintang. Benda yang akan terlihat
berlimpah ketika malam menuju pergantian pagi.
Ingatkah kamu, kita sering melakukannya disini. Diatap
rumah lamamu. Duduk sejajarkan genting berwarna merah bata kekuningan. Kita
tidak saling melemparkan kata, maupun membuka suara, hanya suara desah nafas. Karena kita terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kala itu, asap menyebul dari bibir mungilmu, selenting
rokok terhimpit erat diantara jemarimu. Kamu tengah merebahkan tubuhmu diatas
genting. Aku masih mengingat jelas ritualmu. Matamu mulai terpejam. Sepersekian menit tanganmu bergerak,
mengarahkan rokok kedalam mulutmu dan kemudian menghisapnya erat-erat.
Menahannya sekian detik, lalu menghembuskannya secara perlahan. Asap berwana
violet pun menembus udara, menghilang terbawa angin.
Saat surat ini aku tulis, aku sedang berada di atap
yang sama, bila kamu ingin mengetahuinya. Atap dimana kita sering memandang
bintang, atau hanya sekedar untuk berdiam-diaman sambil melepaskan penat. Atap
yang menjadi salah satu saksi kebersamaan kita, yang tanpa banyak suara namun kita
betah untuk berlama-lama.
Maafkan aku yang seperti pecundang. Ketika kamu
membaca surat ini, dipastikan aku tidak sedang bersamamu. Karena apabila
bersamamu, terlebih dahulu aku akan mengambil surat ini dari tempat
persembunyiannya sebelum dirimu mengetahuinya. Kalaupun kamu sudah mengambil
surat ini dan hendak membaca, aku pasti akan merebutnya. Dan kamu akan membalas
untuk merebutnya. Kamu tahu hal yang aku lakukan adalah meremas kertas ini dan
memakannya. Agar aku tidak malu saat kamu membacanya dihadapanku.
Aku tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Ada
rasa yang begitu sakit didalam diriku, seolah aku sesak tidak bisa bernafas.
Padahal aku telah menghirup udara begitu banyak. Namun rasa sesak itu enggan
lenyap. Ada pula amarah yang begitu besar, hingga tangan ini bergetar. Ada air
yang timbul ditepian mataku, padahal aku tahu aku tidak sedang bersedih. Aku
merasa terluka entah pada apa dan siapa.
Maafkan aku Keii, sudah beberapa hari ini
mendiamkanmu. Membuatmu menghisap nikotin lebih banyak dari biasanya. Karena
aku tidak ada disaat masa-masa tersulitmu.
Maafkan aku Keii tidak bisa memberikanmu pelukan
terhangat, yang seharusnya bisa menenangkanmu. Yang seharusnya bisa meredakan
tangismu.
Sepertinya kamu tidak pernah kesini lagi, sejak
kepergian ayahmu. Aku tahu mungkin kamu ingin kesini, namun melihatku ada, kamu
bergegas pergi kembali. Atap ini sepi Keii tanpamu. Sepertiku.
Koma
Ada selembar
foto terselip diantara surat dalam amplop. Sebuah foto yang telah terobek
bagian atasnya. Foto yang tidak untuh itu hanya memperlihatkan bagian tubuh sepasang
wanita dan pria yang tengah berdiri berhadapan. Bagian tubuh dari pinggang hingga ke kaki.
*****
“Aku tidak
menyangka bila anak ayah angkatku adalah kamu,”
“Aku pun tidak
menyangka, bila kakak tiriku pun adalah kamu.”
“Dunia
sepertinya mempermainkanku, mengejar seseorang yang ternyata tidak lain adalah
adikku sendiri.”
Nafas itu terasa
berat terdengar, seolah ada beban berat yang tengah dirasakannya.
“Keii, bolehkah
aku memelukmu ?”
Ada hening
sesaat, seolah ada rasa ragu. Namun Keii pun mengangguk, dan mulai memeluknya.
“Keii, mulai
sekarang pandanglah aku sebagai kakakmu. Pandanglah aku sebagai saudaramu yang
akan melindungimu seumur hidupku. Dan aku kan mencoba untuk memandangmu tidak
lebih dari sekedar adikku. Ternyata takdir kali ini lebih memihak Koma.”
“Keii… Bima..”
Keii dan Bima
pun melepaskan pelukan. Ternyata itu adalah suara Alee yang tengah memotret.
11:51 pm
26
September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar