"Aku harus menelponnya, aku harus menelponnya"
Kalimat itu terus mengalir dalam pikirannya. Sudah hampir dua jam Raka mondar mandir dalam ruangannya yang hanya berluaskan tiga kali tiga meter. Ada rasa cemas terlukis ada wajahnya. Ada rasa khawatir tercipta dari sikapnya.
Dua jam yang lalu .......
"Araa," teriak Raka yang tengah berlari mendekati wanita telah dikejarnya dari ujung jalan. Salah satu gang yang biasa dilewatinya sehari-hari. Gang dimana kelak menjadi saksi sejarah dalam hidupnya.
Wanita yang bernama Araa itu berhenti berjalan, kemudian menoleh melihat siapakah yang tengah memanggilnya.
"iya Raka," ucapnya ketika Raka telah berada di hadapannya.
Nafas Raka terengah-engah. Pertanda mungkin ia telah cukup lama berlari. Araa membiarkan raka mengatur nafasnya. Menunggunya untuk bicara. Nafas Raka perlahan kembali teratur. Lima menit waktu telah berlalu. Namun tiada suara kecuali hanya nafasnya yang sesekali menghirup udara lebih banyak.
Araa mulai jengah dan membalikkan badan hendak meninggalkan Raka yang masih terdiam tak bicara.
"aku sedang terburu-buru, kalau ada yang ingin dibicarakan katakan nanti saja." ucap Araa sebelum membalikkan badannya membelakangi Raka.
"Araa aku suka kamu," kalimat itu akhirnya terucap. Meski tidak berlari kini nafasnya seakan sesak dan detak jantungnya berdegup lebih kencang.
"Makasih," hanya kalimat tersebut yang terucap. Araa berjalan meninggalkan Raka yang masih terdiam, "tapi maaf sekali aku sedang terburu-buru. Nanti dua jam lagi setelah urusanku selesai. Aku akan segera menghubungimu,"
Araa melanjutkan perjalanannya. Meninggalkan Raka yang masih terpaku. Mencoba mencerna kalimat-kalimat yang diucapkan Araa.
Raka masih saja mondar mandir. Tangannya menyilang saling mengait.
"Aku harus menelponnya, aku harus menelponnya."
Kalimat komat kamit itu keluar kembali. Seolah kalimat itu seperti mantra yang harus diucapkan agar ketenangan terjadi. Namun sayangnya bukan ketenangan yang didapat melainkan kerisauan.
"baiklah aku akan menelponnya dan memastikan jawabanny"
Raka mengambil ponselnya diatas rak buku. Mencari nama seseorang diponselnya. Araa, wanita yang tengah dirisaukannya saat ini. Sebelum tombol dial ditekanya. Telepon dari Araa masuk. Secepat kilat Raka pum menjawabnya.
"ya Araa, bagaimana?"
Raka berusaha agar suaranya sewajar mungkin, berharap tiadak ada rasa berharap begitu besar padanya.
"Maaf, ini benar Raka ya? Ini tante Ka."
Raka mencoba mengenali suara yang kini tengah berbincang dengannya. Ini adalah ibunya Araa.
"iya tante, ada yang bisa Raka bantu?"
"begini Ka, kamu bisa kerumah tante nggak sekarang? Ada yang ingin tante bicarakan tapi tante tidak bisa membicarakannya lewat telpon"
"bisa tante," Raka menjawab spontan dan itu memang jawaban jujur dalam hatinya. Meskipun dalam hati Raka bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
Setelah perbincangan selesai. Raka dengan tergesa-gesa bersiap-siap menuju rumah Araa.
Perjalanan menuju rumah Araa tidaklah sulit, hanya melewati beberapa gang dan beberapa belokkan. Waktu yamg bisa ditempuh 20 menit dengan berjalan kaki santai. Dalam waktu sepuluh menit Raka telah sampai dirumah Araa.
Raka pun mengetuk pintu rumah Araa. Tidak lama ibu Araa pun membukakan pintu.
"Silahkan Ka, masuk. Maaf nih jadi merepotkan, kamu sampai sengaja berlari kesini."
Ibu Araa mempersilahkan Raka duduk, dan memberinya segelas air.
"Begini Ka, tadi Araa menitipkan pesan kalau jam 3 sore tante harus menghubungi kamu dan memberikan ini untukmu."
Ibu Araa, memberikan sekotak bungkusan ke Raka.
Rara membukanya, dan memandang kue yang ada dihadapannya dengan perasaan bingung.
"Red valvet,"
"ah apa tante, tante barusan bilang apa?"
"itu nama kue yang ada dihadapanmu. Aneh, Araa tidak pernah menyukai kue ini. Tapi kenapa memberikannya untukmu. Apa ini kue kesukaanmu?"
Raka ridak menjawab pertanyaan ibu Araa. Tapi dia mencoba mencerna kalimat yang baru saja meluncur dari ibunya. Jika kue yang tidak disukainya diberikan padaku, artinya dia telah menolakku.
Saat kesedihan melandanya. Ada kertas terselip pada kotak kuenya. Raka mengambil kertas itu dan membacanya.
"tidak menyukai sesuatu bukan berarti harus membencinya. Bukan berarti pula tidak menyayanginya. Hanya saja kita perlu waktu untuk memperjuangkannya. Dan ijinkan aku untuk berjuanh bersamamu"
26 Februari 2015
10:46 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar