Aku pulang, temui aku ditempat
biasa ya, aku rindu padamu.
Sebuah pesan singkat yang akhirnya mengantarku pada tempat
kenangan ini. Tempat dimana tersimpan cerita kita. Tempat yang mungkin banyak
orang mengubrisnya, hanya karena sebuah sudut yang tidak begitu menarik. Sebuah
sudut yang terletak di sisi gedung yang menjulang. Sebuah sudut yang sisi
lainnya adalah jalan yang dilalui begitu banyak orang, namun sering dilupakan, tapi tidak untuk kita.
Bulan Januari, bulan dimana tidak seharusnya hujan turun. Hujan
yang seharusnya masih tersimpan hingga nanti dimunculkannya pada bulan
September. Hujan, mengapa kamu harus hadir pada hari ini? Tidakkah ingin
berbeda untuk menemaniku menyambut kehadirannya? Hal-hal itu hanyalah angan yang tak terwujudkan..
Rasanya sungguh tidak percaya, kamu kembali menemuiku.
Setelah begitu banyak peristiwa, hingga akhirnya kamu memutuskan untuk pergi
dari kota tempatmu tinggal. Tempat yang pula memuat banyak cerita untukku,
perihal tentangmu.
Seperti apakah rupamu kini, masih seperti terakhir aku
melihatmu kah. Atau wajahmu kini tengah menirus, karena rindu-rindu perpisahan
kita yang saling menyakiti.
Ditempat ini, disisi gedung tinggi yang menjulang. Di tepi
jalan kendaraan berlalu lalang. Kita bertemu untuk pertama kali, pernyataan itu
yang terucap olehmu pada perbincangan kita yang kesekian kalinya. Sayangnya aku
tidak pernah berhasil mengingat satu kejadian itu, pertemuan pertama kita.
Sesungguhnya tempat ini adalah tempat kesukaanku untuk
mengamati sekitar. Tempat dimana aku bisa melihat begitu banyak kejadian yang
terjadi. Termasuk hujan yang menciptakan pertemuan kita dalam
kebisuan.
Jangan salahkan aku yang tidak dapat mengingat dengan begitu
baik. Jangan pula salahkan dirimu yang kala itu tidak mampu membuatku melirik
dan mengingat bahwa yang tiba-tiba tersenyum itu adalah kamu. Tidak sedikit yang
berteduh disisi tempat ku berdiri, tidak sedikit pula orang yang datang dan
berganti. Tidakkah aku terlalu rajin bila orang yang berteduh bersamaku harus
aku kenali wajahnya satu persatu. Bila ingatanku sehebat itu, aku rasa tidak
perlu begitu banyak kebetulan yang Tuhan ciptakan untuk dapat menciptakan
kebersamaan diantara kita.
Katamu kala itu, tatapan mataku seolah menatap hujan, namun nyatanya
bukan hujan yang sesungguhnya dilihat. Tapi entah apa yang aku pandang kala
itu, seperti menatap jauh lebih kedepan. Atau seperti entah membayangkan apa
atau memikirkan apa. Hingga akhirnya aku tersenyum kemudian berlari menerobos
gerimis yang tak kunjung mereda. Sementara kamu masih berdiri dengan segenggam
payung yang awalnya ingin kamu tawarkan untuk bisa berkenalan denganku.
Sayangnya takdir berkata lain pada perjumpaan pertama itu.
“Kei,”
Lamunannya terbuyar, dengan cepat Kei menoleh ke sumber
suara itu berasal. Kei memandang sosok yang memanggil namanya. Hanya sejenak,
tidak dalam hitungan menit, hanya beberapa detik. Kei kecewa, Kei mengira yang
memanggilnya adalah dia yang tengah ditunggunya. Dia yang menyimpan semua harapan-harapan masa depannya. Pandangan Kei kembali menatap
kedepan, menatap hujan atau menatap entah apa atau membayangan entah apa jua.
“Kamu sudah empat jam berdiri disitu, dibawah gerimis.
Tidakkah kamu…”
“Aku tidak dibawah gerimis, ada payung hitam ini melindungi
tubuhku,” kalimat yang belum selesai terucap itu terpotong oleh Kei. Ada nada
tidak suka dalam suaranya. Mungkin karena seseorang itu telah mengganggu
lamunannya.
“Oke diralat. Kamu tengah berdiri di bawah payung. Ini hujan
angin Kei, kamu nggak kedinginan ?”
“Bagaimana bisa aku merasa kedinginan, bila rindu yang ku
punya tetangnya begitu membara.”
“Kamu sudah gila, Kei. Dia telah mengacaukan kewarasanmu.”
“Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kewarasan. Bila
kehadirannya telah menghilang dariku. Bagaimana pula kewarasan bisa hadir, bila
tiba-tiba dia menghubungiku mengatakan ingin bertemu denganku. Melepas rindu,”
“Pulanglah Kei, tunggulah ia dirumah,”
“Tidak, kamu saja yang pulang,”
“Aku bilang, aku tidak ingin pulang Brim!” Kei menepis
tangan yang ingin membawanya pergi dari tempat ia menunggu.
“Kamu sakit Kei, badanmu begitu panas,”
“Ini belum seberapa Brim, dibandingkan sakit yang Koma
rasakan. Aku ingin….”
Sebelum kata selanjutnya terucap, tubuh Kei melemas dan
hampir menyentuh bumi. Namun dengan sigap Brima menadang tubuh Kei dengan lengan kanannya. Sentuhan kulit yang terjadi membuat Brima khawatir,
karena suhu tubuh Kei semakin panas. Tidak memerlukan waktu yang lama, Brima
pun menggendong dan membawa Kei pulang.
29 Januari 2015
1 komentar:
Feb, nih siklus musim dari wiki http://id.wikipedia.org/wiki/Musim_hujan Januari sudah masuk musim penghujan. September sendiri masuk ke musim kemarau (bulan pancaroba) http://id.wikipedia.org/wiki/Musim_kemarau .
ini link mengenai di sebagai preposisi (kata depan) http://id.wikipedia.org/wiki/Preposisi
ini link mengenai di sebagai prefiks (kata hubung/kata awalan) http://id.wikipedia.org/wiki/Awalan
pelajari!
Posting Komentar