Ada rasa bersalah, menyesap dalam hatiku. Meski aku sadari, mungkin aku tidak sepenuhnya bersalah. Mungkin salahku adalah terlalu membentakmu, meminta kamu untuk segera melupakan seseorang yang kini tengah memenuhi hatimu. Aku hanya tidak suka, kamu terdiam, aku rindu senyum dan tawamu. Aku tidak egois bukan ? bukankah kamu yang egois yang menarik diri dan berdiam berjam-jam di dalam kamar.
Aku kini hanya bisa memandangi pintu, batas yang menjadi penghubung antara kegiatanmu dan penglihatanku. Masihkah kamu melamun tentangnya di dalam sana. Masihkah kamu menulis surat-surat yang tidak pernah bisa kamu kirimkan, karena alamatnya tidak bisa terjangkau oleh bintang sekalipun.
Malam itu, secara tidak sengaja aku terbangun dini hari. Rasa haus menyiksaku, membangunkan aku dalam tidurku yang tidak begitu lelap. Aku dengan sengaja melewati kamarmu yang berada di dekat taman. Harusnya malam itu menjadi malam-malam yang seperti biasa. Kamarmu yang gelap, kamar yang sering aku anggap kamu tengah terlelap. Kamar yang sering aku anggap, kamu tengah bermimpi tentangnya. Namun tidak seperti biasanya, malam itu kamarmu tiada lagi gelap. Ada cahaya redup yang bersinar. Cahaya yang bukan berasal dari sebuah lampu dengan tenaga listrik. Aku berjalan ke arah taman, mencoba melihat sedang apa dirimu lewat jendela yang menghubungkan kamarmu dengan taman.
Akhirnya aku mengetahui, cahaya redup itu berasal dari lilin yang menyala. Aku melihat bayangmu tengah duduk bersila di hadapan lilin tersebut. Sedang apa dirimu ? pikiran-pikiran bodohku pun mulai menyusup. Apakah kamu sedang berlajar ilmu voodo. Ilmu yang katanya bisa menghubungkan antara dunia kita dengan dunia arwah?
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, berharap gelengan itu akan membuyarkan atau menghilangkan pikiran bodohku tentangmu. Namun sayangnya gelengan kepala itu saja tidak cukup. Pikiran-pikiran bodoh itu semakin menusukku demikian tajam. Apa begitu mudah kamu melepaskan Tuhan yang demikian erat kamu kasihi.
Aku kembali ke kamarku, rasa haus yang seharusnya melanda, kini hilang seketika. Berganti dengan pikiran-pikiran bodohku tentang apa yang baru saja aku lihat. Malam itu rasa kantuk tidak hinggap sedikitpun dalam mata dan pikiranku. Aku tidak tertidur semalaman.
Aku keluar dari kamarku, rasa sakit pada kepala bagian belakang aku abaikan. Saat aku akan mengambil air di dapur, aku melihatmu tengah keluar dari kamarmu. Air dalam gelas digenggamanku pun, aku taruh di meja makan. Aku menyelinap masuk ke kamarmu yang kamu biarkan terbuka.
Pandanganku melihat ke segala penjuru kamar. Masih kamar yang biasa, kamar dengan jendela yang dibiarkan terbuka, kamar yang di mejanya banyak terdapat tumpukan kertas-kertas berisikan tulisanmu. Pandanganku tertuju pada suatu benda. Ini lilin yang aku lihat semalam. Aku menyentuh bagian sumbunya, masih basah. Sepertinya belum lama lilin ini dipadamkan.
"Kamu sedang apa Brim ?"
Aku dengan otomatis membalikkan tubuhku ke asal suara tersebut. Ada Kei di sana, beridiri diantara pintu kamarnya. Memandangku dengan alis di naikkan sebelah, sebuah tanda dia tengah heran mendapatiku ada di kamarnya. Kei berjalan ke arahku, astaga dia pasti akan marah besar karena kelancanganku ini. Sepertinya sudah tiada ada maaf lagi untukku, selepas kejadian waktu itu.
"Maaf ya Brim" ucapnya sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja ku dengar.
"Aku salah telah membentakmu tempo hari," suaramu kembali terdengar sesaat sebelum kata-kata dari mulutku mengudara. "Kamu benar, tidak seharusnya aku terlarut begitu dalam. Tidak seharusnya aku mengabaikan orang-orang yang telah dengan tulus menyayangiku, hanya karena seseorang yang kusayangi. Bila Koma melihatku seperti kemarin-kemarin, aku tau dia pun akan sedih. Maaf ya Brim."
Kei memelukku, ada sebuah perasaan hangat meresap dalam hatiku. Ah Kei, aku sungguh rindu kamu yang dulu.
"Kei,"
"Hmm,"
"Boleh aku bertanya sesuatu ?"
"Bebas Brim,"
"Apakah semalam mati lampu ?"
Pelukkan itu terlepas.
"Hahahahaha tidak Brim. Aku tahu kamu pasti bertanya mengapa ada lilin di kamarku kan?"
Aku terdiam, kemudian mengangguk. Kamu tersenyum. Begitu mudahkah, pemikiranku ini ditebak. Aku memandangmu, menanti kalimat selanjutnya meluncur dari bibir mungilmu.
Kata-kata yang kuharapkan dapat kudengar pupus. Kamu berjalan santai menuju rak buku yang bersebelahan dengan jendela kamarmu. Jendela dengan pemandangan taman yang indah. Bunga seruni yang tengah mekar.
"Aku sedang mencoba ini Brim," kamu tiba-tiba saja ada dihadapanku membuyarkan lamunanku. Kamu menyodorkan sebuah buku ke arahku.
Buku yang hampir seluruh covernya didominasi dengan warna biru. Ada gambar lilin pada pojok kiri bawah dan ada asap bergambar spiral pada tengah cover bukunya. Buku yang ditulis oleh Luh Ketut Suryani.
"Meditasi lilin," Aku mengeryitkan dahi, seolah tidak mengerti.
"Iya Brim, lilin itu aku gunakan untuk membantuku meditasi. Rasanya aku memerlukannya, untuk menenangkan jiwaku sejak kepergian Koma. Dan untuk orang disekitarku yang sudah aku abaikan."
Aku mengacak-ngacak rambutnya. Kei tersenyum, senyum yang sangat manis. Senyum yang entah kapan terakhir kali aku melihatnya.
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, berharap gelengan itu akan membuyarkan atau menghilangkan pikiran bodohku tentangmu. Namun sayangnya gelengan kepala itu saja tidak cukup. Pikiran-pikiran bodoh itu semakin menusukku demikian tajam. Apa begitu mudah kamu melepaskan Tuhan yang demikian erat kamu kasihi.
Aku kembali ke kamarku, rasa haus yang seharusnya melanda, kini hilang seketika. Berganti dengan pikiran-pikiran bodohku tentang apa yang baru saja aku lihat. Malam itu rasa kantuk tidak hinggap sedikitpun dalam mata dan pikiranku. Aku tidak tertidur semalaman.
Aku keluar dari kamarku, rasa sakit pada kepala bagian belakang aku abaikan. Saat aku akan mengambil air di dapur, aku melihatmu tengah keluar dari kamarmu. Air dalam gelas digenggamanku pun, aku taruh di meja makan. Aku menyelinap masuk ke kamarmu yang kamu biarkan terbuka.
Pandanganku melihat ke segala penjuru kamar. Masih kamar yang biasa, kamar dengan jendela yang dibiarkan terbuka, kamar yang di mejanya banyak terdapat tumpukan kertas-kertas berisikan tulisanmu. Pandanganku tertuju pada suatu benda. Ini lilin yang aku lihat semalam. Aku menyentuh bagian sumbunya, masih basah. Sepertinya belum lama lilin ini dipadamkan.
"Kamu sedang apa Brim ?"
Aku dengan otomatis membalikkan tubuhku ke asal suara tersebut. Ada Kei di sana, beridiri diantara pintu kamarnya. Memandangku dengan alis di naikkan sebelah, sebuah tanda dia tengah heran mendapatiku ada di kamarnya. Kei berjalan ke arahku, astaga dia pasti akan marah besar karena kelancanganku ini. Sepertinya sudah tiada ada maaf lagi untukku, selepas kejadian waktu itu.
"Maaf ya Brim" ucapnya sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja ku dengar.
"Aku salah telah membentakmu tempo hari," suaramu kembali terdengar sesaat sebelum kata-kata dari mulutku mengudara. "Kamu benar, tidak seharusnya aku terlarut begitu dalam. Tidak seharusnya aku mengabaikan orang-orang yang telah dengan tulus menyayangiku, hanya karena seseorang yang kusayangi. Bila Koma melihatku seperti kemarin-kemarin, aku tau dia pun akan sedih. Maaf ya Brim."
Kei memelukku, ada sebuah perasaan hangat meresap dalam hatiku. Ah Kei, aku sungguh rindu kamu yang dulu.
"Kei,"
"Hmm,"
"Boleh aku bertanya sesuatu ?"
"Bebas Brim,"
"Apakah semalam mati lampu ?"
Pelukkan itu terlepas.
"Hahahahaha tidak Brim. Aku tahu kamu pasti bertanya mengapa ada lilin di kamarku kan?"
Aku terdiam, kemudian mengangguk. Kamu tersenyum. Begitu mudahkah, pemikiranku ini ditebak. Aku memandangmu, menanti kalimat selanjutnya meluncur dari bibir mungilmu.
Kata-kata yang kuharapkan dapat kudengar pupus. Kamu berjalan santai menuju rak buku yang bersebelahan dengan jendela kamarmu. Jendela dengan pemandangan taman yang indah. Bunga seruni yang tengah mekar.
"Aku sedang mencoba ini Brim," kamu tiba-tiba saja ada dihadapanku membuyarkan lamunanku. Kamu menyodorkan sebuah buku ke arahku.
Buku yang hampir seluruh covernya didominasi dengan warna biru. Ada gambar lilin pada pojok kiri bawah dan ada asap bergambar spiral pada tengah cover bukunya. Buku yang ditulis oleh Luh Ketut Suryani.
"Meditasi lilin," Aku mengeryitkan dahi, seolah tidak mengerti.
"Iya Brim, lilin itu aku gunakan untuk membantuku meditasi. Rasanya aku memerlukannya, untuk menenangkan jiwaku sejak kepergian Koma. Dan untuk orang disekitarku yang sudah aku abaikan."
Aku mengacak-ngacak rambutnya. Kei tersenyum, senyum yang sangat manis. Senyum yang entah kapan terakhir kali aku melihatnya.
11:07 pm
07 Agustus 2014
2 komentar:
Alhamdulillah akhirnya bahagia :)
Kirain si Kei lagi jaga lilin dan Koma lagi ngepet :d
Posting Komentar