“Semesta pada bilik hidupku mungkin enggan menceritakan hal-hal yang serupa. Pada seseorang yang tengah ku kirimi kalimat ini. Pada angka ke delapan di purnama kedua belas, aku menanti seseorang yang ku kasihi sejak lama. Di tempat penuh cerita pada kartu ini. Datanglah! Hanya itu pintaku.”
Baiklah, sepertinya
semua sudah sempurna. Rasanya aku seperti seseorang manusia yang begitu
romantis. Dan aku rasa dia tidak akan pernah menyangka, bahwa aku yang begitu slengean bisa memperlakukannya begitu
romantis. Aku pun tersenyum-senyum sambil memandangi kartu pos. Kartu yang baru
saja kutulisi dengan kalimat bermakna. Tidak sabar rasanya, melihat wajahnya
yang tengah merona dan terkejut mendapati hari perayaan hubungan ini begitu
berbeda.
Kata Rendi, seseorang
teman sepermainanku. Wanita suka sekali dengan hal-hal yang romantis. Maka dari
itu, aku berencana akan membuat kejutan untuknya. Dan ide ini pun mengalir dari
Rendi.
“Mengapa kartu
pos, sederhana saja. Wanita suka sekali penasaran, seperti siapa sih yang
mengiriminya bunga, coklat dan hadiah-hadiah lainnya. Dengan catatan, pemberian
itu tidak tercantum nama pengirimnya. Bunga, coklat itu udah biasa. Menulis
kalimat pada sebuah kartu juga biasa. Tapi tidak bila di poskan. Dan lebih
istimewanya, dalam selembar kartu pos kita hanya bisa menuliskan beberapa
kalimat pada sisi sebelahnya dan sisi sebelahnya alamat yang dituju. Menarik
bukan ?”
Begitulah Rendi
dengan antusiasnya memaparkan idenya. Ketika aku menanyakan, hal seperti apa
yang harus ku lakukan untuk sebuah kejutan di hubunganku yang kesekian dengan
Lena. Mendengar penjelasannya tersebut, aku
hanya mampu menganggukkan kepala. Anggukan pertama, sejujurnya aku sendiri
tidak tahu kartu pos itu seperti apa bentuknya. Dan anggukan kepala ku yang
lain adalah imbalan bahwa ide darinya, sepertinya begitu hebat. Dan aku pun
melaksanakan ide tersebut.
Kini di
hadapanku telah ada beberapa kartu pos dengan pemandangan yang sama. Sebuah gedung
kuno nan megah, yang terletak di Jalan Asia Afrika. Sebuah jalan dimana pada
masa sekarang begitu terkenal. Sering menjadi tempat duduk-duduk berbincang
atau sekedar untuk berfoto. Dengan jejeran tiang bendera menghiasinya, yang biasanya
tiang-tiang itu berisi bendera negara-negara di dunia. Mengapa aku memilih
tempat tersebut, sederhana saja. Di tempat tersebut tidak perlu bermodalkan
uang banyak, bila lapar ataupun haus. Karena di seberangnya ada penjual makanan
ringan yang cukup murah meriah. Baiklah itu hanya becanda, aku tidak sepelit
itu.
Kertas berserakkan
berbentuk bulatan tidak sempurna, begitu mendominasi ruangan dengan ukuran empat
kali lima meter. Kertas-kertas itu menjadi saksi, betapa sulit menulis beberapa
kalimat pada dinding kartu pos ini. Ternyata menjadi pujangga tidak semudah
melemparkan kata-kata. Bukan sembarang kata, namun rangkaian kata yang memiliki
makna. Entah berapa ratus menit telah berlalu tanpa ku hitung. Kata demi kata
telah ku susun menjadi kalimat nan indah (menurut diriku). Beginikah rasanya, sebuah
perasaan bangga ketika sebuah kerja keras telah di lalui. Meski perasaan bangga
itu hanya menyusun beberapa kalimat. Aku cukup berbahagia.
Kalimat-kalimat
itu ku tulis kembali dengan rapih, pada sisi sebelah kiri di balik gambar
pemandangan gedung itu. Sisi kanannya ku tulis alamat rumahmu. Alamat yang ku
dapat dari tanya jawab dengan satpam penjaga lingkungan rumahmu. Jujur saja,
aku memang sering ke rumahmu. Namun aku tidak tahu dengan pasti alamat lengkap tempat
kamu dan keluargamu tinggal.
Sempurna! Dengan
sedikit sentuhan perangko berangka lima ribu rupiah kartu pos ini siap aku
kirimkan. Menurut prediksiku, kartu pos ini akan sampai seminggu kemudian. Atau
selambat-lambatnya dua minggu. Mengingat jarak yang akan di tempuh kartu pos
ini masih dalam kota yang sama. Meskipun harus menunggu, tapi tidak apalah.
Asal moment yang ku rencanakan ini
menjadi istimewa. Senyum ini pun tidak bisa lepas saat membayangkan
kebingunganmu ketika menerima kartu pos ku ini. Aku menggelangkan kepalaku
beberapa kali, mencoba membuyarkan lamunanku. Dan Aku pun berbegas ke kantor
pos untuk mengirimkannya.
Dua bulan kemudian……
“Kamu disni
sudah lama? Sejak pagi aku mencarimu.” Kamu duduk di sebelahku tanpa ku suruh,
setelah berhasil berlari saat menyebrangi jalanan yang terlihat lenggang dan
menghampiriku.
“Kamu mencari aku
?” Aku tidak melihat wajahmu. Mataku menerawang menatap jalanan dengan mobil
yang lalu lalang.
“Iya dong, masa
di hari jadian kamu menghilang. Aku menghubungi rumah mu, tapi nggak ada. Aku tanya
Rendi, dia hanya senyam senyum dan bilang kalau aku pasti bisa menemukanmu. Aku
berfikir kemungkinan kamu ke sini. Jadi aku coba menyusul dan ternyata benar
kamu ada di sini.” Jelasmu panjang kali lebar sambil memandang tiang-tiang
tempat berbarisnya tiang-tiang bendera.
“Aku nggak menyangka,
kamu masih ingat tempat kita pertama kali bertemu. Kamu ternyata romantis juga,
tapi nggak pake acara menghilang gitu juga dong.” Rengekmu manja.
Aku tersenyum.
“Maaf yah membuatmu khawatir”.
Kami pun saling
bercerita tentang masa-masa yang pernah terlewati bersama. Tentang tempat yang
tidak hanya menjadi tempat pertemuan pertama. Namun juga menjadi tempat
menciptakan cerita dan tentunya kenangan indah. Ku sadari satu hal, romantis
itu tidak perlu bersusah payah. Mengingat hal-hal kecil di awal perkenalan
ternyata tidak kalah mengesankan. Kartu pos yang ku kirimi itu pun tidak ku
tanyakan.
Tidak terasa senja
pun telah berlalu, mengulang cerita-cerita telah memakan banyak waktu. Dan
rasanya waktu itu terlalu sedikit untuk menikmantinya. Kami pun beranjak,
perlahan menjauh meninggalkan tempat kenangan. Aku pun mengantarkannya pulang.
**********
“Pos pos.”
teriak seseorang di balik pagar rumahmu. Kala aku sedang duduk, menunggumu
tengah bersiap-siap untuk acara pergi hari ini.
Aku pun beranjak
dan menghampiri pintu gerbang kecil yang terletak di ujung taman rumahmu.
“Iya pak.” Balas
sapaku.
“Benar mas,
disini rumahnya Lena Purnayosi ?”
“Iya benar pak.”
“Mas ada kartu
pos nih untuknya.”
Pak pos pun
mengeluarkan kartu pos itu pada tumpukan kartu pos lainnya dan menyerahkannya
padaku. Melihat kartu pos yang di serahkan pak pos itu. Aku seperti
mengenalinya. Astaga! Itu kan kartu pos ku.
“Yang mengirim
kartu pos itu sepertinya tidak tahu daerah yah mas ?” ujar pak pos itu sambil
merapihkan surat-surat yang hendak di kirimkannya kembali. Lamunanku pun
terbuyar.
“Maaf pak, maksud
bapak?.” Aku seolah tidak mengerti alur pembicaraan bapak pos ini.
“Iyah, soalnya
sang pengirim menulis Tangerang-Jawa Barat padahal kan seharusnya kota
Tangerang itu masuk provinsi Banten.” Pak pos itu pun berlalu setelah permisi
kepadaku yang masih terbengong-bengong.
11:00 pm
28 Mei 2014
2 komentar:
Sekali lagi, Febi, ada seorang yang pernah bilang sama aku ; sebrilian apapun ide cerita yang ditulis seseorang kalau penyajiannya berantakan (eyd dan tanda baca dan sebagainya) sama saja tulisannya tidak bagus.
Tujuanku buat Kamisan ini, selain agar kita semua bisa konsisten menulis juga agar kita bisa saling belajar satu sama lain. Gimana caranya? Karna selain menulis kita juga rutin membaca. Penulis yang baik juga perlu bacaan yang banyak. Juga, lewat tulisan teman-teman Kamisan yang lain kita bisa ikut belajar bagaimana penyajian tulisan yg baik.
Bukan begitu?
Keep nulis.
iyah tant Ar, d coba lagi, nanti aku edit lagi tant Ar *sembah sesepuh*
Posting Komentar