Saat
akan memasuki rumah, aku melihat mama setengah badannya sudah ada di antara
pintu. Melihatku ke arahnya, langkahnya berbalik masuk ke dalam rumah. Aku
mengikutinya. Mama memberikan segelas air mineral. Rutinitas yang selalu mama
lakukan, ketika aku pulang kerja. Aku memperhatikan wajahnya. Astaga!!
“wajah
mama kenapa? Di pukul lagi sama lelaki berengsek itu??” tanyaku emosi.
Aku
menyentuh wajah mama, Namun di palingkanlah wajahnya itu.
“jangan
kamu bilang dia lelaki berengsek. Dia itu papa kamu.” Jawab mama mulai
menanggis.
“
papa?? Papa tiri iya, dan aku tidak pernah menganggapnya sebagai papa. Dia itu
nggak jauh beda, sama orang gila satu itu. Selalu nyakitin mama. Mau sampe
kapan sih, mama ngebela dia??” suara ku mulai meninggi.
“mama
sayang papa tirimu. Mama …..”
“ma,
kalo dia emang sayang nggak gini caranya. Mukul mama, terus nanti tiba-tiba
datang baik-baikin mama. Dia sayko ma, kenapa sih mama nggak pernah mau
dengerin aku.”
“sayang,
dia nggak seburuk yang kamu pikir.” Mama lebut menyentuh rambutku. Namun aku
tepis.
Semakin
lama berdebat dengan mama. Membuatku kehilangan kendali. Aku memutuskan masuk
ke dalam kamar. Pintu kamar ku banting sekeras-kerasnya. Bukti kalau aku sudah
bosan dengan obrolan semacam ini.
Aku
menanggis. Jujur saja, sebenernya aku juga tidak ingin membentak mama seperti
itu. Aku sedih mama mendapat perlakuan seperti itu. Tapi sepertinya mata mama
sudah buta pada lelaki berengsek itu. Aku menanggis, memukul diriku sendiri.
Hingga akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
Sinar
mentari itu masuk lewat celah jendela kamarku. Menyentuh mataku, memaksaku
untuk segera beranjak dari tempat tidur ini. Aku berjalan ke kamar mandi
membasuh wajahku dan menyikat gigi. Aku keluar kamar. Aku mencari mama, namun
setiap sudut ruangan yang aku cari. Aku tidak berhasil menemukannya. Pasti
lelaki berengsek itu sudah menjemputnya. Kenapa sih mama, mudah sekali
terbujuk. Apakah cinta itu begitu membutakan. Menganggap perlakuan kasar itu
bentuk dari cinta ?
Aku
mengambil air mineral di kulkas dan mulai meneguknya. Aku mulai
mengingat-ingat. Bagaimana bahagianya mama, ketika pertama kali mengenalkan
lelaki itu padaku. Aku tidak sanggup merusak kebahagiaannya, meski aku tidak
ingin memiliki papa tiri. Aku tidak butuh papa, aku sanggup membiayai hidup
mama. Bila itu adalah alasan, mengapa mama ingin menikah lagi. Namun kalimat
itu tidak pernah lancar aku ucapkan pada mama.
Mereka
menikah ketika aku lulus sekolah menengah pertama. Aku menolak, untuk tinggal
bersama ketika mereka memintanya. Aku lebih memilih tinggal di rumah
peninggalan nenek, dengan alasan ingin merawat rumah yang sudah tidak terurus.
Mama tidak setuju, tapi aku selalu meyakinkan tidak alasan lain selain alasan itu.
Lelaki itu, adalah satu-satunya alasan terbesar aku menolak tinggal bersama mama.
Meski setiap malam aku selalu menanggis, rindu pelukkan mama.
Mama
sering menjenggukku. Datang membawakan makanan kesukaanku. Atau kita kadang
suka menghabiskan akhir pekan bersama. Memasak, berkebun atau sekedar bercerita
di taman belakang. Aku sering bertanya, ketika mendapati lebam pada bagian
tubuhnya. Mama selalu bilang, lebam itu karena dia kurang hati-hati. Sehingga
sering terjatuh. Aku ingin mempercayainya, tapi hatiku terus menyangkalnya.
Itensitas
kedatangan mama, semakin lama semakin berkurang. Kadang beberapa kali akhir
pekan, aku sering melewatinya sendirian. Pernah suatu hari, begitu besarnya
rinduku pada mama. Aku mendatangi rumah mereka. Aku sengaja tidak memberitau
mama, aku membelikan makanan kesukaannya. Dengan riangnya, aku bernyanyi sepanjang
perjalanan ke rumah mama. Sesampainya di rumah itu, aku mengetuknya. Sengaja
tidak mengucapkan salam, karena ingin memberikan sedikit kejutan.
Pada
ketukanku yang kesekian. Pintu terbuka. Mama di hadapanku. Wajahnya terkejut,
sama terkejutnya seperti wajahku. Ada jeda sesaat, saat mata ini saling
menatap.
“aku
rindu mama. Aku datang membawa makanan kesukaan mama.” Kalimat itu akhirnya aku
luncurkan.
Mama
menangis, memelukku. Aku membalas memeluknya.
“mama
juga rindu kamu sayang.” Ucapnya sambil menanggis terisak.
Aku
melepaskan pelukannya. Menatap wajahnya, membelai wajahnya, menghapus air
matanya.
“
apa karena ini ma, mama nggak mau datang menjenggukku ?” Aku membelai luka
lembam pada wajahnya. Mama meringis, mungkin sakit saat aku membelainya.
Mama
diam, tidak menjawab pertanyaanku. Aku sedih. Aku emosi. Namun aku berusaha
sebisa mungkin menahan emosiku. Aku tidak ingin membuat mama semakin sedih.
“sejak
kapan ma, dia mulai berlaku kasar seperti ini ? Apa yang terjadi pada
pernikahan kalian ?” pertanyaan ingin tahu ku bermuculan menanti jawaban.
“tidak
sayang, ini bukan karena dia. Ini karena….” Aku memotong ucapan mama.
“sudahlah
ma! Mama mau bilang, ini terjatuh karena mama nggak hati-hati. Aku sudah dewasa
ma, aku tau mana luka lebam karena jatuh. Mana luka penyiksaan.” Nadaku
berisikan emosi tertahan yang mencibir lelaki itu.
“nanti
ketika kamu sudah menikah, kamu akan mengerti sayang.” Jawab mama kemudian.
“aku
ngga akan menikah ma! Kalau pernikahan menghasilkan hal-hal seperti ini.”
Mama
terdiam. Mungkin terkejut dengan jawabanku.
“sini
aku bantu obati luka mama.” Aku menghiraukan ekspresi mama, mulai mencari kotak
P3K.
Sejak
mengetahui perihal tersebut. Aku diminta mama untuk berjanji. Agar tidak
menjengguknya lagi, mendatangi rumah itu. Aku mengiyakannya, asal mama tetep
menjenggukku meski dengan luka lebam sekalipun. Akhir pekanku tidak pernah
sepi. Mama sering menginap di rumah ini. Apalagi saat lelaki itu pergi sampai
berhari-hari. Entah apa yang di lakukan lelaki berengsek itu. Aku tidak peduli.
Aku selalu berdoa, agar lelaki itu tidak pernah hadir kembali dalam kehidupan
mama.
Beberapa
minggu terakhir ini. Aku melihat mama begitu bahagia. Luka-luka pada tubuhnya
pun kian berkurang. Aku kadang berfikr, sudah berubahkah lelaki itu. Tapi hati
kecilku berfikir berbeda.
“sayang
kamu nggak mau tinggal bareng sama mama di rumah itu ?” Tanya mama saat kita
sedang menikmati udara sore di taman belakang.
“bukannya
mama meminta aku berjanji untuk tidak ke rumah itu lagi ?” Aku menyenderkan
kepalaku pada bahu mama.
“aku lebih suka mama disini, bersamaku. Tanpa
lelaki berengsek itu” jawabku dalam hati.
“sayang,
kamu tidak usah takut melanggar janji. Kita sudah pindah rumah, lagi pula
papamu sudah banyak berubah. Dia sudah tidak mengasari mama lagi.“
“dia
bukan papaku. Dia papa tiriku.” Ucapku tegas.
Mama
memberikan secarik kertas padaku. Aku mengambilnya, mengeja, membaca alamatnya.
“aku
tau alamat ini ma, aku sering maen ke daerah sini. Tapi aku lebih suka di sini
ma. Kalau aku bersama mama, rumah ini tidak ada yang mengurus. Aku tidak ingin
nenek sedih.”
Alasan
klise. Mungkin mama juga sudah tau, alasan utama aku tidak bersama mereka
adalah aku tidak bisa menerima lelaki itu menjadi papaku.
Hari-hari
indah bersama mama seperti berakhir. Mama jadi jarang datang kembali. Aku
berfikir mungkin sibuk dengan pekerjaannya yang baru. Aku pun juga sibuk dengan
pekerjaan dan kuliahku. Hingga tadi malam, aku melihat wajah mama. Aku mengerti
alasan mengapa mama tidak pernah datang ke rumah. Lelaki berengsek itu mulai
berulah.
Aku
meneguk lagi air mineral itu. Aku berjalan ke kebun belakang. Duduk di gazebo.
Menikmati angin semilir. Menatap pohon kamboja putih. Pohon yang aku tanam
berdua dengan mama.
“ma,
aku sayang mama. Tapi kenapa mama lebih memilih bersama lelaki berengsek itu.
Lelaki yang sudah jelas-jelas tidak menyayangi mama. Kalau dia memang sayang
sama mama. Dia tidak akan melakukan perbuatan seperti ini ke mama.”
Air
mataku menetes. Menangisi setiap kejadian yang di alami mama.
“mama….
mengapa kamu begitu menyukai sekali berteman dengan kesakitan. Padahal aku
punya banyak kebahagiaan untuk mama.”
Titik-titik
air itu datang beriringan. Membasahiku, membangunkanku yang tidak sengaja
tertidur. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Hujan yang sangat deras, mendatangi
sore ini.
24 September 2013
Sumber foto : www.wishingbaby.com
1 komentar:
Arghhhh aku sebel ma perempuan semacam Mama ini :-b
Posting Komentar