Senin, 27 Januari 2014

Harusnya Kau Memilih Aku

Saat akan memasuki rumah, aku melihat mama setengah badannya sudah ada di antara pintu. Melihatku ke arahnya, langkahnya berbalik masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya. Mama memberikan segelas air mineral. Rutinitas yang selalu mama lakukan, ketika aku pulang kerja. Aku memperhatikan wajahnya. Astaga!!

“wajah mama kenapa? Di pukul lagi sama lelaki berengsek itu??” tanyaku emosi.

Aku menyentuh wajah mama, Namun di palingkanlah wajahnya itu.

“jangan kamu bilang dia lelaki berengsek. Dia itu papa kamu.” Jawab mama mulai menanggis.

“ papa?? Papa tiri iya, dan aku tidak pernah menganggapnya sebagai papa. Dia itu nggak jauh beda, sama orang gila satu itu. Selalu nyakitin mama. Mau sampe kapan sih, mama ngebela dia??” suara ku mulai meninggi.

“mama sayang papa tirimu. Mama …..”

“ma, kalo dia emang sayang nggak gini caranya. Mukul mama, terus nanti tiba-tiba datang baik-baikin mama. Dia sayko ma, kenapa sih mama nggak pernah mau dengerin aku.”

“sayang, dia nggak seburuk yang kamu pikir.” Mama lebut menyentuh rambutku. Namun aku tepis.

Semakin lama berdebat dengan mama. Membuatku kehilangan kendali. Aku memutuskan masuk ke dalam kamar. Pintu kamar ku banting sekeras-kerasnya. Bukti kalau aku sudah bosan dengan obrolan semacam ini.
Aku menanggis. Jujur saja, sebenernya aku juga tidak ingin membentak mama seperti itu. Aku sedih mama mendapat perlakuan seperti itu. Tapi sepertinya mata mama sudah buta pada lelaki berengsek itu. Aku menanggis, memukul diriku sendiri. Hingga akhirnya aku terlelap dalam tidurku.

Sinar mentari itu masuk lewat celah jendela kamarku. Menyentuh mataku, memaksaku untuk segera beranjak dari tempat tidur ini. Aku berjalan ke kamar mandi membasuh wajahku dan menyikat gigi. Aku keluar kamar. Aku mencari mama, namun setiap sudut ruangan yang aku cari. Aku tidak berhasil menemukannya. Pasti lelaki berengsek itu sudah menjemputnya. Kenapa sih mama, mudah sekali terbujuk. Apakah cinta itu begitu membutakan. Menganggap perlakuan kasar itu bentuk dari cinta ?

Aku mengambil air mineral di kulkas dan mulai meneguknya. Aku mulai mengingat-ingat. Bagaimana bahagianya mama, ketika pertama kali mengenalkan lelaki itu padaku. Aku tidak sanggup merusak kebahagiaannya, meski aku tidak ingin memiliki papa tiri. Aku tidak butuh papa, aku sanggup membiayai hidup mama. Bila itu adalah alasan, mengapa mama ingin menikah lagi. Namun kalimat itu tidak pernah lancar aku ucapkan pada mama.

Mereka menikah ketika aku lulus sekolah menengah pertama. Aku menolak, untuk tinggal bersama ketika mereka memintanya. Aku lebih memilih tinggal di rumah peninggalan nenek, dengan alasan ingin merawat rumah yang sudah tidak terurus. Mama tidak setuju, tapi aku selalu meyakinkan tidak alasan lain selain alasan itu. Lelaki itu, adalah satu-satunya alasan terbesar aku menolak tinggal bersama mama. Meski setiap malam aku selalu menanggis, rindu pelukkan mama.

Mama sering menjenggukku. Datang membawakan makanan kesukaanku. Atau kita kadang suka menghabiskan akhir pekan bersama. Memasak, berkebun atau sekedar bercerita di taman belakang. Aku sering bertanya, ketika mendapati lebam pada bagian tubuhnya. Mama selalu bilang, lebam itu karena dia kurang hati-hati. Sehingga sering terjatuh. Aku ingin mempercayainya, tapi hatiku terus menyangkalnya.

Itensitas kedatangan mama, semakin lama semakin berkurang. Kadang beberapa kali akhir pekan, aku sering melewatinya sendirian. Pernah suatu hari, begitu besarnya rinduku pada mama. Aku mendatangi rumah mereka. Aku sengaja tidak memberitau mama, aku membelikan makanan kesukaannya. Dengan riangnya, aku bernyanyi sepanjang perjalanan ke rumah mama. Sesampainya di rumah itu, aku mengetuknya. Sengaja tidak mengucapkan salam, karena ingin memberikan sedikit kejutan.

Pada ketukanku yang kesekian. Pintu terbuka. Mama di hadapanku. Wajahnya terkejut, sama terkejutnya seperti wajahku. Ada jeda sesaat, saat mata ini saling menatap.

“aku rindu mama. Aku datang membawa makanan kesukaan mama.” Kalimat itu akhirnya aku luncurkan.
Mama menangis, memelukku. Aku membalas memeluknya.

“mama juga rindu kamu sayang.” Ucapnya sambil menanggis terisak.

Aku melepaskan pelukannya. Menatap wajahnya, membelai wajahnya, menghapus air matanya.

“ apa karena ini ma, mama nggak mau datang menjenggukku ?” Aku membelai luka lembam pada wajahnya. Mama meringis, mungkin sakit saat aku membelainya.

Mama diam, tidak menjawab pertanyaanku. Aku sedih. Aku emosi. Namun aku berusaha sebisa mungkin menahan emosiku. Aku tidak ingin membuat mama semakin sedih.

“sejak kapan ma, dia mulai berlaku kasar seperti ini ? Apa yang terjadi pada pernikahan kalian ?” pertanyaan ingin tahu ku bermuculan menanti jawaban.

“tidak sayang, ini bukan karena dia. Ini karena….” Aku memotong ucapan mama.

“sudahlah ma! Mama mau bilang, ini terjatuh karena mama nggak hati-hati. Aku sudah dewasa ma, aku tau mana luka lebam karena jatuh. Mana luka penyiksaan.” Nadaku berisikan emosi tertahan yang mencibir lelaki itu.

“nanti ketika kamu sudah menikah, kamu akan mengerti sayang.” Jawab mama kemudian.

“aku ngga akan menikah ma! Kalau pernikahan menghasilkan hal-hal seperti ini.”

Mama terdiam. Mungkin terkejut dengan jawabanku.

“sini aku bantu obati luka mama.” Aku menghiraukan ekspresi mama, mulai mencari kotak P3K.

Sejak mengetahui perihal tersebut. Aku diminta mama untuk berjanji. Agar tidak menjengguknya lagi, mendatangi rumah itu. Aku mengiyakannya, asal mama tetep menjenggukku meski dengan luka lebam sekalipun. Akhir pekanku tidak pernah sepi. Mama sering menginap di rumah ini. Apalagi saat lelaki itu pergi sampai berhari-hari. Entah apa yang di lakukan lelaki berengsek itu. Aku tidak peduli. Aku selalu berdoa, agar lelaki itu tidak pernah hadir kembali dalam kehidupan mama.

Beberapa minggu terakhir ini. Aku melihat mama begitu bahagia. Luka-luka pada tubuhnya pun kian berkurang. Aku kadang berfikr, sudah berubahkah lelaki itu. Tapi hati kecilku berfikir berbeda.

“sayang kamu nggak mau tinggal bareng sama mama di rumah itu ?” Tanya mama saat kita sedang menikmati udara sore di taman belakang.

“bukannya mama meminta aku berjanji untuk tidak ke rumah itu lagi ?” Aku menyenderkan kepalaku pada bahu mama.

aku lebih suka mama disini, bersamaku. Tanpa lelaki berengsek itu” jawabku dalam hati.

“sayang, kamu tidak usah takut melanggar janji. Kita sudah pindah rumah, lagi pula papamu sudah banyak berubah. Dia sudah tidak mengasari mama lagi.“

“dia bukan papaku. Dia papa tiriku.” Ucapku tegas.

Mama memberikan secarik kertas padaku. Aku mengambilnya, mengeja, membaca alamatnya.

“aku tau alamat ini ma, aku sering maen ke daerah sini. Tapi aku lebih suka di sini ma. Kalau aku bersama mama, rumah ini tidak ada yang mengurus. Aku tidak ingin nenek sedih.”

Alasan klise. Mungkin mama juga sudah tau, alasan utama aku tidak bersama mereka adalah aku tidak bisa menerima lelaki itu menjadi papaku.

Hari-hari indah bersama mama seperti berakhir. Mama jadi jarang datang kembali. Aku berfikir mungkin sibuk dengan pekerjaannya yang baru. Aku pun juga sibuk dengan pekerjaan dan kuliahku. Hingga tadi malam, aku melihat wajah mama. Aku mengerti alasan mengapa mama tidak pernah datang ke rumah. Lelaki berengsek itu mulai berulah.

Aku meneguk lagi air mineral itu. Aku berjalan ke kebun belakang. Duduk di gazebo. Menikmati angin semilir. Menatap pohon kamboja putih. Pohon yang aku tanam berdua dengan mama.

“ma, aku sayang mama. Tapi kenapa mama lebih memilih bersama lelaki berengsek itu. Lelaki yang sudah jelas-jelas tidak menyayangi mama. Kalau dia memang sayang sama mama. Dia tidak akan melakukan perbuatan seperti ini ke mama.”

Air mataku menetes. Menangisi setiap kejadian yang di alami mama.

“mama…. mengapa kamu begitu menyukai sekali berteman dengan kesakitan. Padahal aku punya banyak kebahagiaan untuk mama.”

Titik-titik air itu datang beriringan. Membasahiku, membangunkanku yang tidak sengaja tertidur. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Hujan yang sangat deras, mendatangi sore ini.


24 September 2013


Sumber foto : www.wishingbaby.com

1 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Arghhhh aku sebel ma perempuan semacam Mama ini :-b

Posting Komentar