Kamis
itu ingin sekali aku jadikan hari wajib kita untuk bertemu. Aku sadar, bahwa
itu hanya mimpi. Kamu pun menyadarkannya, bahwa itu memang hanya mimpi.
Perkenalan kita mungkin tidak memiliki arti. Mungkin juga tidak meninggalkan
kesan yang bisa kamu kenang. Semua biasa, mungkin termasuk perasaanmu padaku.
Biasa.
Kita
bertemu, tanpa terencana. Termasuk berkenalan denganmu. Dan menjadikan obrolan kala senja itu menjadi
istimewa.
“Terimakasih
ya, untuk bincang-bincangnya sore ini. Sungguh menarik. Tidak menyangka
menemukan teman ngobrol semenarik kamu.” Ucapku tulus. Kala perpisahan mulai
mengakhiri pembicaraan kita.
“Sama-sama,
senang juga berkenalan sama kamu.” Kamu tersenyum, berpamitan dan beranjak
pergi. Meninggalkan sisa-sisa tawa yang masih terngiang.
Aku
bisa melihatnya. Bertemu dan berkenalan denganku adalah hal yang biasa bagimu. Termasuk
berbincang denganku. Aku masih diam, duduk dan mulai menghabiskan sisa kopi
yang telah mendingin.
Pandangan
ku alihkan ke langit. Gelap. Seperti inikah hatiku. Aku melihat ke sekitar.
Sepi. Seperti inikah suasana diriku. Sepertinya itu sebelum bertemu denganmu. Pertemuan
pertama denganmu, sungguh menarik perhatianku. Inikah, jatuh cinta pada
pandangan pertama. Sesuatu yang ku kira, mungkin hanya mampu terjadi dalam
cerita.
Aku
memandang jauh ke depan. Begitu banyak kerlipan lampu kota menghiasi
pemandangan di café ini. Kegelapan
yang mengindahkan. Mungkin ini yang tengah aku rasakan saat ini. Bisakah aku
menemuimu sekali lagi. Ah, tidak. Aku ingin menemui sebanyak waktu yang di
sajikan Tuhan untukku bernafas di dunia.
Aku
beranjak dengan malasnya, meninggalkan tempat perbincangan aku dan kamu. Berjalan dengan perasaan hangat menuju kasir,
melakukan pembayaran.
“Maaf
permisi, ada yang tertinggal. Ini sepertinya catatan penting, tadi saya
menemukan di meja yang anda duduki.” Pelayan café itu menyerahkan secarik kertas padaku. Aku menerimanya.
Sepertinya ini catatan milikmu. Senyumku mengembang. Benarkan, Tuhan memberikan
jalan untuk kita.
Kamu, kenangan di penghujung senja.
Bolehkah aku bertanya. Mengapa
waktu, tidak pernah menjadikan kebersamaan kita bertahan lebih lama dari sisa
usiaku. Mengapa waktu, tidak pernah mengijinkan aku untuk memiliki kenangan
lebih banyak bersamamu. Tawaku, sedihku ikut hilang bersamamu. Hatiku, jiwaku
ikut pergi bersamamu. Namun Kau selalu diam, membiarkan aku terdiam disini
merasakan kehampaan.
“Tuhan
apa yang sedang terjadi pada hatimu. Kehilangankah dirimu ?”
Aku
melipat kertas itu kembali. Menyimpannya baik-baik, agar kelak bisa menjadi
alasan menyapa. Ketika Tuhan mengijinkan pertemuan tercipta di antara kita.
Aku
meninggalkan café itu, menuju
pelataran kendaraanku terparkir. Aku membalikkan tubuhku sebentar, menatap café itu kembali.
“semoga ini tidak menjadi yang pertama dan
terakhir pula, aku bertemu denganmu. Wahai pemilik kenangan senja.”
*********
Empat minggu kemudian, masih di
hari kamis……
“Kamu,
yang waktu itu ngobrol bareng-bareng sama aku kan?” Suara itu membuyarkan
lamunanku.
Aku
menoleh ke asal suara itu. Ada kamu. Seseorang yang aku tunggu kehadirannya
beberapa minggu ini. Seseorang yang mampu menggetarkan hatiku sejak pertama
kali bertemu. Seseorang yang membuatku, mungkin jatuh hati padanya.
Aku
menatapnya. Masih mata yang sama. Masih senyum yang sama. Ah, senangnya kamu
masih mengingat aku. Sudah berpuluh kali aku mengunjungi café ini, berharap bertemu denganmu. Berharap aku memiliki
keajaiban itu.
“Kok
benggong sih ?” kamu bertanya kembali. Mungkin heran melihat reaksiku.
“Ah,
iiyaa. Aku yang waktu itu. Ma..aaf.” Sial, mengapa aku jadi gugup begini.
Kira-kira apa yang kamu pikirkan dengan sikapku yang kaku ini.
“Maaf
buat apa? Kamu aneh. Boleh dong, aku ikut gabung. Sendirian kan?” Kamu
memandang bangku kosong di sebelahku.
“Silahkan,
aku selalu sendirian bila kamu datang menghampiri mejaku.” Astaga, lancang
sekali aku. Di pertemuan ke dua sudah berani merayumu. Aku melirik wajahmu,
mencoba menebak seperti apa reaksimu.
Wajahmu
terlihat datar. Seolah tidak menanggapi godaanku. Dan sungguh aku memang tidak
sedang menggodamu. Kamu menarik kursi di sebelahku. Kamu kini duduk di
hadapanku. Dan aku bisa memandang wajahmu lebih lama lagi. Aku tersenyum.
Kamu
memandang langit yang mulai berjingga. Mentari perlahan-lahan mulai menyembunyikan
dirinya. Memberikan kesempatan untuk sang bintang. Melindungi masing-masing
manusia yang hidup di bawah gelapnya malam.
“Kenapa
tidak mencari teman ? Menikmati senja seindah ini sendirian, apakah itu sudah
lengkap menurutmu?” tanyamu tanpa memandangku.
“Bukankah
hari ini aku sudah memiliki teman, yang menemaniku menikmati senja.” Aku
memandang wajahnya. Menunggu reaksinya. Aku tidak peduli lagi, kamu akan
mengira aku menggombal. Aku hanya ingin menciptakan kenangan, bersamamu.
Kamu
tidak menjawabnya. Kamu hanya tersenyum. Senyum yang manis, membuat bibirku pun
ikut mengulumkan senyum. Senyum yang melatahkan senyumku.
“Kamu
sendirian saja?” Kali ini aku yang belik bertanya.
“Menurutmu?”
Sial.
Kamu balik bertanya padaku. Ah, biarlah. Aku menikmati kebersamaan ini.
Kita
bercerita tentang banyak hal. Tentang aku. Tentang kamu. Seperti teman lama
yang sedang menikmati kenangan. Saling tertawa, saling bergurau. Kebersamaan
yang sungguh menyenangkan. Kebersamaan yang tercipta dengan natural. Lepas,
tanpa beban.
Beberapa
waktu, kita saling terdiam. Mungkin sibuk dengan pemikiran masing-masing. Kamu
dengan pikiranmu, entah membayangkan apa. Aku dengan pikiranku, sibuk
membayangkan kamu. Membayangkan kamu berlama-lama menemaniku di sini.
“Apakah
ini kertas milikmu ?” tanyaku sambil menyodorkan kertas yang kulipat rapih dan
selalu ku simpan di tempat yang aman. Kertas yang tempo hari, di berikan
pelayan untukku. Kertas yang katanya tertinggal di tempat kita pertama kali
berbincang.
Kamu
mengambil kertas itu, dan mulai membuka lipatan-lipatannya.
“Ini
memang milikku, pasti tidak sengaja tertinggal saat kita bincang-bincang waktu
itu ya? Terima kasih.”
Kamu
tersenyum. Kamu mulai merobek kertas itu. Aku binggung, mengapa tulisan sebagus
itu harus di robek. Tapi aku tidak bertanya. Aku lebih memilih untuk diam. Aku
hanya terus memperhatikan. Kamu.
“Kadang
hal sebagus apapun, bila waktunya telah berlalu. Hanya akan tetap menjadi
kenangan, bukan? Tidak mungkin menjelma kembali ke masa nanti.”
Usai
mengatakan kalimat tersebut. Kamu tersenyum kembali. Menatap senja yang semakin
indah. Kita pun kembali terdiam dalam waktu yang lama.
Kamis-kamis
berikutnya. Menjadi rutinitas kita. Bertemu, bercerita dan tertawa. Dari sekian
banyak hari, entah mengapa selalu hari kamis. Perjumpaan kita sering tercipta.
Mungkin karena aku hanya datang pada hari kamis ke café itu.
********
“Namamu
siapa ?” Aku bertanya padamu. Kala perjumpaan kita yang kesekian kalinya. Masih
di café yang sama. Masih di hari yang
sama, kamis.
“Seberapa
penting sih, arti sebuah nama buat kamu ?” kamu tersenyum.
Senyum
yang selalu aku suka.
“Penting
sekali. Bila aku bertemu denganmu selain di tempat ini aku bisa berteriak
memanggil namamu. Tidak dengan sebutan eh
eh eh. Siapa tau dengan mengetahui namamu, aku bisa mengajakmu lebih lama
berbincang di sini. Tidak untuk saat ini saja, tapi juga esok dan seterusnya.
Siapa tau namamu bisa aku ukir di hatiku.”
Seusai
mengatakan pengakuan itu. Kamu menatapku lebih lama dari biasanya. Mungkin
mencoba mencari kejujuran dari setiap kata yang aku ucapkan. Atau mungkin
sedang mencari kebohongan dari setiap kata yang aku utarakan.
Kamu
terdiam lama sekali, kemudian tersenyum. Kamu memalingkan wajahmu menatap
langit yang kini mulai merona.
“Kamu
percaya yang namanya keajaiban. Atau kamu percaya dengan yang namanya takdir.
Biarlah Tuhan memberikan jalan. Apakah kita memiliki takdir yang sama. Ataukah
keajaiban kita, memiliki jalan yang berbeda. Aku, kamu dan takdir. Biarlah
dipertemuan selanjutnya, aku yang akan bertanya siapa namamu. Saat itu, takdir
kita yang akan menentukan.”
Aku
terdiam, mencoba mencari-cari jawaban dari rangkaian kata-kata yang kamu
ucapkan. Sebelum aku menyadari sesungguhnya makna ucapanmu. Kamu telah
berpamitan untuk beranjak dari bangku bincang kita. Aku hanya mengangguk dan
tersenyum, mengantar kepergianmu. Hilang, meninggalkan punggung yang tidak
pernah ku lihat kembali sosoknya. Untuk esok, lusa dan seterusnya.
*******
Masih
di café yang sama. Masih dalam
suasana yang sama. Aku menunggumu, sesuai pesan yang kamu sampaikan pada
pelayan kala aku datang waktu itu. Mencarimu.
Aku
menunggumu. Hari ini. Belum ada kamu. Hanya ada aku. Diam, menikmati senja dan
kenangan kita yang sesaat.
Aku
masih menunggumu. Hingga senja itu perlahan lenyap dalam pandanganku. Berganti
gelap. Memunculkan cahaya lampu kota dari kejauhan.
“Permisi
mbak, ada titipan surat buat mbak.” Pelayan café
itu memberikan selembar kertas yang terlipat rapih di bungkus dengan amplop.
“Dari
siapa?” tanyaku heran. Seperti jaman dulu saja, mendapat surat.
“Dari
orang yang sering ngobrol berdua sama mbak di sini tempo hari itu, katanya kalo
mbak datang ke sini tolong surat itu di kasi ke mbak.” Ujar pelayan itu
memberikan penjelasannya.
Aku
menerima surat itu. Membukanya perlahan dan mulai membacanya.
Kamu, kenangan di penghujung senja.
Bolehkah aku bertanya. Mengapa
waktu, tidak pernah menjadikan kebersamaan kita bertahan lebih lama dari sisa
usiaku. Mengapa waktu, tidak pernah mengijinkan aku untuk memiliki kenangan
lebih banyak bersamamu. Tawaku, sedihku ikut hilang bersamamu. Hatiku, jiwaku
ikut pergi bersamamu. Namun Kau selalu diam, membiarkan aku terdiam disini
merasakan kehampaan.
Aku
tersenyum. Kalimat itu masih saja kamu ingat. Kalimat tentang kenangan laluku.
Kalimat yang pernah kamu baca. Kala kertas itu tertinggal saat perjumpaan
pertama kita.
“Kamu
mau bermain teka teki denganku ya ?” Ucapku dalam hati.
Aku
melanjutkan kembali membaca suratmu.
Aku percaya kamu datang, mencariku.
Masih melihat senja yang sama. Senja yang sering kita lihat bersama. Aku
menunggumu, selalu. Hingga aku sadar, waktu ku tidak lagi banyak. Bila senja
telah lenyap, dan aku tidak datang. Aku menitipkan surat ini, untuk di
berikannya padamu. Surat ini pengganti kehadiranku. Aku kini hanyalah debu.
Terhempas udara, melayang, terdapar. Entah mendarat dimana. Tapi aku selalu
berdoa kepada Tuhan. Lewat udara, biarkanlah debu ini terhisap masuk kedalam
paru-parumu. Agar aku bisa bermukim lama dalam tubuhmu. Menyatu bersama jiwamu.
Mengukir namaku di sanubarimu.
Membicarakan takdir dan keajaiban.
Kamulah keajaiban yang di hadirkan Tuhan untukku. Tapi takdir Tuhan tidak
berpihak padaku. Dia tidak pernah membiarkan aku mengetahui namamu. Nama yang
selalu ingin aku sebut dalam tiap mimpiku. Aku tidak ingin egois dan membuatmu
penasaran. Bila kamu ingin mengetahui namaku. Kunjungilah aku, di pemakaman
utara dekat pohon kamboja putih. Disana aku melihat senja yang sama dengan yang
kamu lihat hari ini.
Aku, debu diantara senja.
Air
mata ini menetes tanpa bisa aku cegah.
Mengapa
harus begini Tuhan, mengapa harus aku mengalaminya lagi. Aku meninggalkannya karena
aku ingin percaya, pertemuan dengannya tidak berarti apa-apa. Tapi aku salah,
pertemuan singkat dengannya memiliki arti. Aku hanya meninggalkannya sebentar. Aku
hanya ingin percaya takdir dan keajaiban ada untuk aku dan dirinya. Meski aku
tidak mengatakan begitu padanya. Aku hanya ingin mencoba meyakinkan hatiku. Bahwa
dengannya aku mampu melepaskan masa lalu ku. Bahwa dengannya, aku mampu membuka
lembar baru tanpa menjadikannya pelarian. Hingga aku telah memantapkan hatiku. Aku
ingin berkata padanya, “aku tyas,
Seraningtyas. Mengijinkan kamu, untuk mengukir namaku di hatimu.” Namun
kalimat itu hanya angin, yang tak sempat aku ucapkan padanya.
06:14 pm
25 Juli 2013
catatan :
Cerpen ini tadinya ingin di ikuti dalam #1bulan1cerpen pada @klubbuku, tapi nggak jadi. Karena ketika menanyakan pendapat teman. Cerpen ini tidak pada tema penyesalan, tapi ke tema jual mahal. Aku hanya tersenyum mengingatnya, dan membiarkannya tetap ada di blog ku :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar