Aku menunggunya, selalu menunggu
pengendara sepeda tua. Sepeda tua dengan merk Fongers, yang kurasa sepeda
tersebut merupakan barang tiruan. Mengapa aku bisa berkata seperti itu, karena terlihat
dari ukiran atau lambang emblemnya yang terdapat tempelan lambang sepeda
aslinya.
Pengendara sepeda itu
adalah seorang lelaki bertubuh kurus dengan pundak bidang serta otot-ototnya yang
terlihat pada lengan dengan kaos yang membelit tubuhnya. Wajah yang tirus
dengan sedikit bulu pada bawah hidungnya, mata yang terlihat mengantuk dan hal
yang paling selalu kurasa adalah sedikit aroma tembakau datang pada pagi saat pertama kali kedatangannya. Senyum khas
yang tidak terlalu manis selalu menjadi awal sapaan ketika bertemu denganku.
Kehadirannya memberikanku
sepotong roti adalah salah satu keajaiban yang hadir dalam hidupku. Makanan
yang diberikannya menjadi penyemangatku untuk bertahan hidup dan selalu menantikan
kehadirannya. Kedatangannya dengan roti itu membuatku tidak perlu repot-repot
mangais-gais tempat sampah, tempat yang membuatku berharap ada orang baik yang
sengaja kenyang terlebih dahulu sebelum makanan yang dibelinya habis dilahap.
Kadang ada satu waktu dia
datang membawakan nasi, meski itu jarang sekali terjadi. Sebungkus nasi dengan
lauk sederhana seperti tahu tempe sambal sayur oyong. Makanan itu dia bagi
berdua denganku. Meski aku tahu masih ada rasa lapar pada dirinya dan aku pun
tahu bahwa aku tidak menyukai nasi, namun aku pun tetap malahapnya. Karena kebaikan
hatinya begitu terasa dalam tiap makanan yang kumakan.
Kadang ada satu waktu
pula dia datang dengan sebuah cerita dan sebungkus permen, permen dengan rasa
yang terlalu manis buatku, yang kadang rasanya membuatku mual. Namun kupaksa
memakannya semata-mata karena aku tak ingin dirinya kecewa bila pemberiannya
aku abaikan. Pada beberapa waktu ketika ada orang lain yang lewat dihadapanku
atau ketika aku melihat ada orang lain yang membuang bungkus permen yang
serupa. Aku mencuri dengar, dan aku mengetahui bahwa permen yang dia berikan
adalah permen yang cukup mahal. Sesungguhnya aku ingin kamu tidak perlu
repot-repot memberiku permen yang sangat keterlaluan manisnya itu. Sayang
sekali bila uangnya dipakai hanya untuk membeli permen yang banyaknya tidak
seberapa itu.
Kadang disuatu waktu dia
datang tanpa makanan, dia hanya menceritakan sebuah kisah yang membuatknya
tertawa-tawa. Tentang betapa bodohnya ia ketika teman-temannya mengucapkan ayam
kentucky namun dia mendengarnya kentang
hati. Atau sebuah cerita ketika dia begitu semangat membuat mie kemasan, namun
saat air sudah dituangkan ternyata air dispensernya tidak panas. Sesungguhnya
aku tidak mengerti cerita-ceritanya, yang aku mengerti adalah ketika dia
tertawa disitu terlihat begitu bahagianya dan aku pun ikut bahagia. Aku baru
sadar ternyata bahagia itu menular.
Hari itu tidak seperti
biasanya, langit tidak memaparkan sinarnya dengan terik. Sudah beberapa hari
ini aku tidak melihatnya, tidak seperti biasanya. Selama apapun dia pergi tidak
pernah selama ini. Andai dia tahu ada rindu yang tiada lagi dapat kubendung. Aku
selalu berdoa pada Tuhan, semoga dia tidak ada apa-apa. Sayang doaku pada Tuhan
tidak dikabulkan-Nya. Dia datang menjawab rinduku, tapi Tuhan tidak menjawab
doaku. Aku melihatnya dari jauh, suara khas bell nya terekam jelas dalam
ingatanku. Aku berlari memutar menyambut dengan riang kedatangannya. Semakin
mendekat aku merasa aura kehadirannya begitu suram. Tanpa makanan dan tanpa cerita, dia datang
dengan suara isak tangisnya. Tangis yang begitu memilukan, dia memandangku
dengan begitu iba, seolah aku menjadi hal yang perlu dikasiani. Padahal aku
tidak perlu dikasiani, karena aku tidak merasakan kesedihan sekalipun, aku
hidup sendirian. Cukup lama dia menangis, belum sempat aku bertindak untuk
menghibur, dia telah melenggang pergi tanpa aku mengerti sakit seperti apa yang
dirasanya dengan tangis yang begitu perih.
Itulah terakhir kali aku
melihatnya, esoknya, lusanya dan hari-hari selanjutnya terlalui tanpa aku
melihat lagi kehadirannya. Aku mencarinya kesetiap sudut yang kurasa dia
berada, namun enggan aku lakukan. Aku takut ketika aku pergi dia datang
mencariku. Aku bertanya pada setiap pengendara sepeda yang lewat hanya untuk
sekedar tahu tentang kabarnya, namun pertanyaanku tidak ada yang menggubrisnya.
Aku tidak memperdulikannya, aku tetap bertanya meskipun hasilnya nihil.
Setiap aku melihat
sepeda sejenis Fongers, aku mengira itu dirinya. Saat melewatiku dan tidak
berhenti dihadapanku aku mengejarnya, berteriak berharap yang mengendarai
sepeda itu menoleh dan itu adalah dia. Atau juga ketika ada pengendara sepeda
dengan postur yang mirip tubuhnya aku pun mengejarnya meski sepeda yang
dikendarainya berbeda. Aku salah semua pengendara sepeda itu bukan dia
******
Siang yang menyebalkan, pagi
yang mengesalkan. Semoga sore nanti tidak menjadi menyeramkan. Hari ini
sepertinya tidak ada yang menyenangkan, pagi ini pekerjaan yang sudah
kuselesaikan dengan terjaga semalaman. Rasanya menjadi sia-sia karena tidak
sengaja tersenggol oleh anak-anak yang lewat di depan tempat tinggalku. Ingin
marah, namun kumerasa menjadi hal yang sia-sia. Apakah dengan marah bisa
mengembalikan sesuatu seperti belum terjadi apa-apa. Tidak ada yang seperti itu
didunia ini.
Ku redakan amarahku
dengan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kurapihkan kembali
tugas yang menjadi kacau balau ini. Tinggal kupasrahkan saja untuk siap-siap
mengulang tahun depan. Aku belajar bahwa melampiaskan amarah pada mereka yang
tidak mengetahui kesalahan mereka, atau marah pada mereka yang tidak sengaja
menyenggol hal tersentitif dalam diri kita. Itu adalah hal yang sia-sia selain
bisa menyakiti perasaan orang lain namun bisa juga menjadi beban pikiran untuk
diri sendiri.
Setelah merapihkan tugas
kampusku. Aku bersiap-siap untuk menuju kampus memberitahukan dosenku bahwa
tugas yang diperintahkannya tidak jadi kubuat. Meski aku tahu bahwa untuk
menginfokan sesuatu di jaman sekarang ini begitu mudah, Tinggal menekan angka-angka
pada ponsel dan terhubunglah dengan orang yang ingin kita ajak bicara. Itu
memang perihal mudah, namun aku berprinsip untuk sesuatu hal yang sangat
penting, harus dikatakan dengan bertatap muka, yakni membicarakannya secara
langsung.
Aku adalah mahasiswa
tingkat dua, yang kadang bekerja sampingan sebagai pekerja harian di sebuah
kafe. Aku gemar bersepeda, meski sekarang yang bersepeda dilakukan oleh
orang-orang yang memfokuskan untuk olah raga, bagiku tidak. Pergi ke kampus,
pergi ketempat kerja, berkendara sepeda menjadi kendaraan andalanku. Bukannya
aku merasa hebat atau sedang mengikuti kebiasaan terkini atau apapun itu, tapi lebih
karena jarak antara kos, kampus dan tempat kerja yang tidak begitu jauh, Bukankah
juga lumayan untuk menghemat pengeluaran.
Sepeda yang kumiliki
adalah sepeda dengan merek Fongers, sebagian orang yang mendengarnya pasti
merasa takjub karena pada jamannya merek tersebut cukup terkenal. Meski begitu,
sayangnya Fongers yang aku punya imitasi alias hanya tiruan. Mengapa aku
mempertahankan sepeda yang usianya melebihi usiaku, bukan karena aku menyukai barang
antik, bukan pula karena aku tidak mampu untuk membeli sepeda yang lebih baru.
Aku mempertahankannya karena hanya itulah satu-satunya peninggalan ibuku,
satu-satunya kenangan yang masih kupertahankan untuk mengenang segala hal
tentangnya.
Aku tidak pernah
mengingat dengan jelas bagaimana rupanya, tidak ada satu fotopun yang menyimpan
wajahnya, Dalam kenangan yang kumiliki hanyalah punggungnya yang masih kuingat.
Kala pagi itu aku dan ibuku berkendara ke pasar untuk membeli makanan yang akan
dimasaknya. Waktu itu aku masih balita, kerusuhan tahun 1997 membuatku
kehilangannya hampir segalanya, keluarga maupun tempat tinggal. Hanya tersisa
sepeda ini yang ketika terjadi sepeda itu tengah dipinjam oleh paman.
Seperti biasa pagi ini
aku mengayuh sepeda kesayanganku. Menikmati semilir angin, berharap dapat
meluruhkan kekesalan yang sempat mampir. Seketika rasanya seperti hari itu,
hari dimana aku bersama ibuku mengendarai sepeda keliling kota atau hanya
sekedar pergi kepasar. Udara ini, sinar matahari ini membangkitkan euforia yang
lama kusimpan.
Di pagi yang sama, di
sudut taman aku pertama kali bertemu dengannya. Seekor kucing bermata hijau,
dia menghampiriku yang sedang makan sambil menimati pemandangan taman. Kuberi dia
sepotong roti, sebenernya aku tahu kucing tidak ada yang suka pada roti karena
kucing jaman sekarang jangankan roti di kasih tulangpun enggan, meskipun tulang
itu ada sedikit potongan dagingnya. Diluar dugaanku kucing itu memakannya. Kucing
yang sungguh menarik, pikirku.
Seketika aku merasa
jatuh hati pada kucing itu. Hal sederhana itu membuatku lebih sering mengunjunginya,
meskipun pergi ke taman merupakan salah satu rutinitasku dikala jenuh pada
dunia. Kadang aku menjumpainya, tuk sekedar memberinya makan roti, kadang aku memberinya
nasi atau bahkan memberinya permen. Aku mengira dia tidak menyukainya, tapi pemikiranku
salah. Kucing special ini menyukai apapun pemberianku, Aku tidak tahu apakah dia
memang pemakan segala, meskipun tidak sedang lapar. Ataukah karena lapar dia
menyukai apapun yang diberikan orang lain sehingga tak peduli apapun makanannya
asal bisa mengganjal perut. Apakah itu cocok dilidah ataupun tidak, sudah tidak
menjadi persoalan.
Sesekali waktu aku
menjumpainya hanya dengan tangan hampa. Hanya sebuah cerita bahagia yang aku
sendiri tak tau mengapa aku harus menceritakam padanya. Kadang aku merasa
kasihan, namun aku berjanji untuk pertemuan berikutnya aku akan memberikan
makanan yang cukup enak. Dan sepertinya dia tak hanya menyukai makanan bahkan
untuk sebuah cerita dia terlihat begitu senang. Itu terlihat ketika dia
bergeliat manja di kakiku saat pantatku baru saja merapat dengan bangku taman.
Benarkah aura kebahagiaan itu bisa terasa bagi orang sekitarnya termasuk kucing
yang sering kutemui ini?
Pertemuan dengannya
seperti candu, seperti air yang menyapa musim yang kemarau, seperti awan yang
memeluk mentari agar selalu teduh. Meskipun hanya seekor kucing, bukankah
sebuah rasa itu hadir tanpa bisa dicegah, walaupun kita tidak bisa memilih
kepada siapa rasa itu menepi.
Aku memiliki rencana
untuk membawanya meneduh seatap bersamaku. Agar ketika musim hujan tiba, dia
tidak perlu berlari untuk menghindarinya, atau merasakan dingin yang menusuk.
Sayangnya tempat kosan aku tinggali tidak memperbolehkan memelihara hewan peliharaan.
Meskipun aku menaruhnya didalam kamar dan tidak merepotkan kamar-kamar
disebelahku. Tapi peraturan, tetaplah peraturan.
Selama beberapa bulan
aku tidak menemuinya ditaman, bukan karena tidak ingin. Namun tugas kampus dan pekerjaan
sampinganku yang sengaja kutambah menjadi penghalangnya. Aku bekerja sampingan
lebih banyak agar bisa pindah kekosan yang memberikan ijin untuk memelihara
hewan peliharaan. Sayangnya uang yang aku kumpulkan masih belum cukup untuk
merealisasikannya.
Aku sedang beristirahat,
ketika ada yang menghampiriku saat aku tengah duduk disebuah warung dekat
tempat bekerjaku.
“Bang yang punya sepeda
itu ya ?” tanya seseorang yang akhirnya aku tahu kalau orang tersebut adalah
anak dari bos tempatku bekerja.
Aku mengangguk, menjawab
pertanyaannya.
“Sepedanya dijual tidak?
Atau mau tukar tambah dengan sepeda saya?” Dia menunjuk sepedanya yang
posisinya berada disebelahku. Sepeda keluaran cukup anyar dengan keranjang
didepannya .
“Sepeda saya bukan
sepeda asli, rasanya tidak sepadan bila tukar tambah dengan sepeda anda.” Jawabku
sejujurnya.
Disatu sisi aku
membutuhkan uang, agar janji itu bisa terpenuhi untuk membawa kucing itu
tinggal bersamaku. Disatu sisi aku merasa kenangan ibuku ada disana. Apakah ini
saatnya aku untuk merelakan?
“Saya tahu, buat saya
tidak menjadi masalah. Atau begini saja, bagaimana bila saya menyewa sepeda
kamu selama beberapa bulan. Sebagai jaminannya kamu bisa menggunakan sepeda
saya.”
Seperti inikah alam
bekerja, memberikan keajaiban ketika merasa seperti tidak ada jalan keluar. Ataukah
ini adalah hadiah dari sebuah usaha ketulusan. Aku merasa tidak ada penawaran
yang lebih menggiurkan dari ini. Aku mendapatkan uang sewa dari sepedaku, dan
aku dapat pengganti sementara sepedaku yang disewa.
Tanpa memikirkannya
lagi, aku merasa tidak ada penawaran yang begitu semenyenangkan ini. Aku
berjabat tangan dengannya, sembari melanjutkan cerita tentang kenangan sepeda
yang aku miliki.
Seperti tidak ingin
menyia-nyiakan waktu, setelah selesai aku bekerja dan menyelesaikan pernjanjian
penyewaan itu. Aku mengaayuh sepeda pinjaman itu, untuk menemuinya. Bell yang
terpasang pada sepedaku, telah kupindahkan pada sepeda baru ini. Bell itu
sengaka aku pindahkan, agar kenangan dengan ibuku tidak benar-benar menghilang
selama sepedaku disewakan.
Rindu ini cukup
menggebu, lama tak melihatnya membuatku semakin cepat mengkayuh sepeda. Sampai ditaman
itu, aku tertenggun ketika aku mendapati dia telah tak bernyawa. Aku menangis
terisak tanpa suara, mengapa ada yang tega membunuhnya. Mengapa ada yang tega membiarkan
tubuhnya tergencet tak tertolong. Mengapa tak ada yang menyayanginya, apakah
karena hanya seekor kucing jalanan. Apakah tidak pantas untuk seekor kucing
jalanan hidup dengan layak?
Aku peluk tubuhnya yang
tak lagi berbentuk. Aku berlari menjahui tempat tubuhnya kutemukan. Aku buatkan
lubang di salah satu sudut taman itu,. Aku kubur dia, dengan hati terperi. Aku
melepasnya. Aku coba merelakannya. Ada penyesalan dalam diriku, ketika selama
itu tidak menjumpainya. Ada kekesalan yang begitu sesak untuk kupertahankan.
Aku berteriak sejadi-jadinya ditaman itu, aku sudah tidak memerdulikan
orang-orang tengah melihatku. Mungkin mereka menganggapku seperti orang gila.
Aku sungguh tidak memerdulikannya, pertahananku untuk amarah dan kekesalan pun
akhirnya hancur.
Kau tau kepergianku
bukan karna meninggalkanmu, jalanan terlalu kejam untuk kesendirianmu. Maafkan aku
yang tak bisa membawamu secepatnya. Maafkan aku yang terlambat untuk hadir.
Terkadang kebahagiaan itu beralas tipis dengan kesedihan.
27 September 2018
4 komentar:
Kok sedih aku :(((
Panutanku, kamu memang hebat love Bu Amika😘
Paragraf ke-6 gak asing ya wkwkkw
Nyeduh mie kemasan dengan air dingin, kentucky jadi kentang ati 😂
Fighting untuk tulisan2 berikutnya
Kecee bgt, bisa buat aku terhanyut ke dalam cerita nya.. Uuhhhh...
Posting Komentar