Masih suasana yang merindukan, pada ruangan ini. Lantai yang berwarna cokelat muda, dinding cream yang teduh dan atap ruangan berbahan kayu. Warna
coklat begitu mendominasi ruangan 5 x 8
meter yang terisi kenangan tentang kita. Langit-langit ruangan ini masih sama, masih
berhiaskan benda-benda berbentuk bintang. Benda yang akan terlihat bersinar
ketika lampu di ruangan ini di matikan.
“Seperti melihat hamparan bintang
nan luas, tidakkah kamu menyukainya ?” ucapmu kala itu
Di sudut ruangan ini, terdapat kursi
kayu panjang. Kursi yang letaknya berdampingan dengan rak penuh buku-buku
kesayanganmu. Tempat kesukaanmu membaca ketika hari mulai sore. Diantara rak-rak
yang penuh buku, terdapat sebuah jendela. Dimana di balik jendela terdapat pemandangan taman belakang rumahmu. Bunga-bunga nan indah dapat terlihat jelas melalui jendela ini. Satu-satunya pembatas dimana cahaya mentari senja masuk tanpa permisi. Mengunci setiap
kegiatan kita. Dimana kita akan sama-sama membisu memandang senja hingga
tenggelam dan bergantikan malam.
“Kapan kamu datang Kom ?”
Dengan reflek tubuhku berbalik kearah suara itu berasal. Ada
kamu yang tengah melihatku dengan tatapan tidak percaya. Aku hanya mampu
tersenyum.
“Aku rindu kamu.” Kalimat itu mengalir dari bibir mungilmu, saat kamu merangkulku demikian erat.
“Kei, kamu demam ya ?” aku memeriksa keningnya.
“Tidak, ini adalah aura bahagia karena telah berjumpa
denganmu. Saat kamu datang, mengapa tidak membangunkanku ?”
“Maaf, aku memang sengaja tidak membangunkanmu. Sepertinya
kamu tengah lelap dan bermimpi indah.“
Bibirmu bergerak membentuk senyuman. Senyum yang akan selalu ku rindu. Senyum yang mampu menyirami hatiku yang tengah kemarau.
“Mengapa kamu baru pulang sekarang Kom. Tidakkah kamu
merindukan aku?”
Tatapan itu, tatapan sayumu. Rasanya aku tidak tega
memberikan alasan, mengapa aku baru bisa kembali. Tolong jangan menatapku seperti
itu Kei, kamu membuatku merasa lebih bersalah. Aku memalingkan wajahku,
melepaskan tatapanmu dari mataku.
“Maafkan aku baru bisa kembali hari ini. Maaf juga aku belum bisa
menepati janji-janji yang pernah kita sepakati sebelum aku pergi. Maafkan aku Kei.” Aku berucap
tulus, perlahan pelukan itu mulai merenggang.
“Tidak apa-apa. Aku tidak perlu janji-janji itu. Aku hanya
butuh kamu di sini Kom.”
Kamu mengajakku duduk, pada bangku dekat jendela. Tempat dimana
kita bisa memandang dengan begitu indah bunga-bunga di luar sana. Tempat dimana
kita saling berbagi cerita tentang apa saja.
Andai saja aku bisa mengajakmu bersama ku Kei.
******
“Kei, sedang apa disitu ?” kepala
Brima muncul di balik pintu yang telah dibukanya.
Aku menoleh reflek kearah Brima. Menghentikan
pencarian buku yang ingin aku tunjukkan ke Koma. Brima adalah saudara tiriku.
Anak dari ayah tiriku. Meskipun kita tidak lahir dari aliran darah yang sama,
namun aku merasa bahwa dia adalah saudara kandungku.
Aku menghampiri Brima.
“Brim sini aku kenalin dengan
temanku Koma” aku menoleh kearah tempat Koma berada. Koma tidak ada di sana. Hanya
ada bangku kayu panjang yang kosong. Bercahaya di terpa sinar senja, dengan angin
menggoyangkan kain yang menjadi penutup jendela itu sendiri.
“Pasti dia pergi lagi lewat
jendela. Kamu sih Brim, tiba-tiba saja masuk tanpa harus permisi. Koma kan jadi
pergi. Pasti karena takut sama kamu.” Aku menahan kesal pada Brima.
“Mungkin kamu hanya berhalusinasi Kei, demammu belum jua mereda kan.“
Brima meletakkan tangannya di keningku. Memeriksa suhu tubuhku.
“Tidak mungkin aku berhalusinasi, aku tadi
memeluknya. Hangatnya masih terasa di jemariku Brim.”
Aku mulai kesal. Mana mungkin aku
berhalusinasi. Jelas-jelas tadi aku berbincang dengan Koma. Aku mulai
mengingat-ingat, kegiatan apa saja yang tadi aku lakukan bersama Koma.
Sayangnya tidak ada bukti nyata yang menjelaskan bahwa Koma bersamaku sejak
siang tadi.
“Koma itu orang yang beberapa
bulan lalu pergi meninggalkan kamu tanpa kabar kan ? orang yang menyebabkan kamu menjadi pemurung seperti ini kan ? benar Koma yang itu Kei ?” pertanyaan
beruntun pun hadir dari mulut Brima.
“Iya Brim, memangnya ada Koma yang lain ?”
Brima memegang kedua pundakku dengan tangannya.
“Kei”
“Ya”
Brima tiba-tiba saja memelukku demikian erat membuat dadaku
sesak sulit bernafas.
“Ada apa sih Brim ? sesak tau!” protesku sambil melonggarkan
pelukannya.
“Aku tidak tega mengatakannya padamu Kei.” Suaranya kini terlihat
sedih.
“Katakanlah”
Hening yang cukup lama. Pasti dia akan memulai aksi jahilnya. Aku tidak boleh
tertipu lagi olehnya.
“Kei..." Brima menarik napasnya begitu dalam. "Bagaimana bisa Koma ada bersamamu, sementara 3 jam yang
lalu Koma telah meninggal di tempat karena kecelakaan dalam perjalanannya ke sini" Brima menarik napasnya kembali sebelum kalimat berikutnya meluncur. "Baru saja temanmu Adham memberitahukannya Kei.”
Aku memandang Brima, melihat ke dalam matanya. Mencari-cari
kejujuran di balik ucapannya. Mata Brima terlihat sayu, seperti mata yang
tengah mengasihani seseorang. Benarkah ucapanmu Brim ?
“Tidak mungkin Brim, tidak mungkin!” tubuhku melunglai, bulir-bulir
air mulai keluar dari mataku.
“Demi Tuhan Kei, aku tidak berdusta untuk kabar ini. Koma mu
telah di jemput oleh Tuhan Kei.”
“TIDAK BRIM, TIDAAAAK!!”
04:31
pm
08
Juni 2014
4 komentar:
Duh kak :-(
Turut berduka untuk Koma :-(
Menguci apa kak?
mengunci itik maksudnya, thank you yah infonya (f)
=))
Posting Komentar